Masukan Terhadap Arah Kebijakan Pemerintah di Sektor Energi dan Pertambangan
Berita

Masukan Terhadap Arah Kebijakan Pemerintah di Sektor Energi dan Pertambangan

Nilai lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) semestinya lebih diarahkan untuk memperbesar potensi kegiatan eksplorasi.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES

Pemerintah Jokowi jilid II dipastikan akan menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang di tahun 2019 dan 2020 diproyeksikan hanya tumbuh 3.2 % dan 3.5 %. Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi global juga masih dihantui dengan berbagai risiko ketidakpastian. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan kebijakan ekonomi dan moneter Amerika Serikat, perang dagang AS–Tiongkok, dampak Brexit dan dinamika peta geopolitik global serta potensi krisis di Timur Tengah.

 

Untuk itu, sejumlah langkah cepat harus dipersiapkan oleh pemerintah sejak sekarang. Hal ini bertujuan agar kinerja pemerintah dapat segera diakselerasi sejak awal. Di sektor energi dan pertambangan, terdapat sejumlah masukan strategis yang diberikan oleh para pemangku kepentingan kepada pemerintah. Salah satu isu yang tidak usai adalah terkait percepatan penyelesaian revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

 

“Persaingan global untuk mendapatkan investasi di sektor pertambangan dan sekaligus membangun industri pertambangan secara menyeluruh dari hulu ke hilir, tidak akan menjadi optimal tanpa Pemerintah dan Parlemen memberikan komitmen menyelesaikan Revisi UU Minerba,” ujar Ketua Indonesian Minning Institute, Irwandi Arief, dalam sebuah diskusi terkait arah arah baru kebijakan pemerintah di sektor energi pertambangan, Senin (19/8), di Jakarta.

 

Menurut Irwandy, revisi UU Minerba harus mampu menerjemahkan paradigma pertambangan untuk kepentingan economic growth, resources scarcity, environment degradation. Kebijakan Mineral dan Batubara Indonesia (Mineral & Coal Policy) yang telah diselesaikan oleh Tim Penyusun gabungan Asosiasi Profesi dan ESDM dan telah disosialisasikan ke stake holders, mestinya menjadi dasar bagi pemerintah dan DPR dalam merevisi UU Minerba. Tidak hanya itu, perlu juga dipikirkan agar pemerintah segera membentuk Dewan Pertambangan Nasional untuk dapat membantu pemerintah dalam menjaga arah dan manfaat pertambangan dengan optimal.

 

Untuk kepentingan strategis pembangunan nasional, Irwandy mengingatkan agar pemerintah segera membuat Road Map Pertambangan Indonesia atas tahapan-tahapan yang telah dipetakan sebelumnya. Road Map Pertambangan Indonesia akan menjadi langkah tahapan jangka pendek, menengah dan panjang. Setiap tahapan pengembangan komoditas tambang, dari eksplorasisampai hilirisasi secara paralel telah mempertimbangkan rencana pembangunan infrastruktur,industri, dan teknologi tinggi yang akan dikembangkan di Indonesia.

 

Mengingat investasi perlu didorong dengan maksimal serta kegiatan eksplorasi menjadi sangat dibutuhkan dalam mendorong kegiatan eksploitasi dan hilirisasi setelahnya. Nilai lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) semestinya lebih diarahkan pada untuk memperbesar potensi kegiatan eksplorasi. “Bukan sebaliknya nilai lelang menjadi target pemasukan bagi negara,” ujar Irwandy.

 

Untuk itu, langkah lain agar mendorong investasi, mengingat kondisi melemahnya harga komoditas dan ekonomi global maka semua level korporasi, baik skala besar atau kecil harus diberi ruang dalam menanamkan investasi pertambangan di Indonesia. Namun, Irwandy mengingatkan bahwa kaidah Good Mining Practice, tetap harus melekat pada apapun level perusahaan industri pertambangan.

 

Bahkan, perusahaan pertambangan junior harus didorong untuk dapat masuk ke bursa efek agar dapat menarik modal pihak kedua dalam mempercepat pemanfaatan pertambangan di Indonesia. “Competent Person Indonesia (CPI) harus dilibatkan dalam memperbesar potensi perusahaan tambang yunior yang masuk ke Bursa Efek Indonesia. Selain KESDM, Kementerian Kehutanan secara paralel harus mempermudah proses perijinan bagi perushaan tambang skala kecil,” terangnya.

 

Selain itu, Irwandy mendorong agar Kementerian ESDM segera menyusun rencana pertambangan nasional yang lebih komprehensif, rasional atas kondisi riil industri pertambangan nasional yang terbangun saat ini, dan sekaligus upaya terus mengangkat sektor pertambangan menjadi penggerak Rencana Pembangunan Ekonomi Nasional.

 

Dalam membuat aturan kebijakan fiskal dan non fiskal, khususnya terkait upaya menarik investor pertambangan, pemerintah (ESDM) harus melakukan perbandingan dengan negara lain dalam menarik investasi pertambangan. Setelahnya, komitmen atas konsisten kebijakan dalam membangun kepastian hukum, harus terus dijalankan, termasuk dalam menegakkan hukum atas korupsi atau suap yang terjadi di indsutri pertambangan.

 

Selanjutnya, terkait konsolidasi nasional dalam mengendalikan jumlah pelaku usaha pertambangan, dan arah pertumbuhan per korporasi menurut Irwandy harus dilakukan segera. Menurutya, karena wewenang kontrol Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang terpisah atas pengendalian Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Ijin Usaha Pertambangan (IUP), karena itu sangat urgent untuk segera dilakukan konsolidasi.

 

Kementerian ESDM sebagai kementerian teknik yang bertangung jawab atas pengelolaan minerba, diharapkan akan berada di depan dalam melakukan konsolidasi di tengah tekanan politik daerah yang berkepentingan atas eksistensi operasi IUP. Tanpa konsolidasi nasional yang harus segera diselesaikan, pemerintah akan dihadapkan munculnya masalah rusaknya lingkungan hidup di wilayah usaha pertambangan.

 

Dalam melakukan konsolidasi, pemerintah harus bekerja atas koordinasi antar Kementerian dan Lembaga Pemerintah. Koordinasi harus dibangun antar instritusi melalui Kementerian Koordinator,” ujar Irwandy.

 

Sementara itu, Direktur Indonesian Minning & Energi Forum (IMEF), Singggih Widagdo mengungkapkan, amanat UU No. 30/2007 tentang Energi yang meletakan paradigma sumber daya energi sebagai modal pembangunan nasional yang dijabarkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) belum secara utuh dijabarkan dalam kebijakan dan penataan energi nasional Indonesia.

 

(Baca: Urgensi Pembentukan RUU Energi Baru Terbarukan Dipertanyakan)

 

Pengejawantahan paradigma ini, menurut Singgih, seharusnya menjadi landasan dan arah pelaksanaan kebijakan energi di sektor migas, minerba, kelistrikan dan energi terbarukan di era pemerintahan Jokowi lima tahun mendatang. Dalam konteks tantangan risiko resesi ekonomi global dan kebutuhan energi domestik yang terus meningkat, implementasi paradigma menjadi langkah strategis yang harus segera direalisasikan.

 

Singgih menyebutkan bahwa era kejayaan minyak Indonesia telah habis, tapi konsumsi minyak untuk kebutuhan transportasi, industri dan kelistrikan diproyeksikan akan terus tumbuh. Dari proyeksi Dewan Energi Nasional (DEN), kebutuhan BBM akan mencapai 1.76 juta barrel per hari (bph) pada 2025.

 

Sementara itu kemampuan produksi minyak mentah domestik, dengan best effort and penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) ditargetkan di dalam RUEN hanya mencapai 568 - 676 ribu bph pada 2025-2030 (skenario optimistik SKK Migas Juli 2019: 700 - 800 ribu bph pada 2025-2030) dan kemampuan produksi BBM domestik 1,2 juta bph dengan program RDMP Pertamina pada 2025.

 

Kesenjangan antara kebutuhan pemakaian dengan produksi minyak mentah dan BBM domestik akan terus membesar dan dengan demikian impor minyak mentah dan BBM akan semakin meningkat (25-50% dari kondisi sekarang), yang perlu diantisipasi dalam konteks potensi defisit neraca perdagangan yang semakin besar.

 

Kebijakan Energi Nasional (KEN) hari ini masih memberikan porsi yang sangat besar pada minyak dan gas. Padahal sumber daya minyak semakin sedikit dan menjaga tingkat produksi saat ini saat sukar di tahun-tahun mendatang.

 

Penurunan minat investasi di sektor migas akibat ketidapastian kebijakan dan regulasi, menjadi salah satu kendalanya. “Oleh karena itu Pemerintah Jokowi-Ma’ruf, perlu segera merevisi komposisi Bauran Energi, dengan memperbesar porsi energi terbarukan dalam bauran energi pada 2020-2030,” terang mantang Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Purnomo.

 

Selanjutnya terus melakukan akselerasi pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan untuk penyediaan listrik dan substitusi BBM untuk transportasi darat. Harus disadari bahwa dalam lima tahun mendatang adalah waktu yang sangat krusial untuk membangun fondasi transformasi energi Indonesia dalam jangka panjang.

 

Tags:

Berita Terkait