Masukan PSHK Terkait Pembentukan Badan Regulasi Nasional
Berita

Masukan PSHK Terkait Pembentukan Badan Regulasi Nasional

Niat dari keberadaan lembaga ini sendiri harus berangkat dari keinginan untuk menyelesaikan berbagai hambatan peraturan perundang-undangan di level eksekutif.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

(Baca: PSHK: Setengah Hati Reformasi Regulasi, Lemah Penegakan Hukum)

 

Untuk mewujudkan gagasan ini, PSHK menawarkan sejumlah fungsi yang nantinya akan dilaksanakan oleh lembaga ini. Fungsi tersebut meliputi: perencanaan Peraturan Perundang-undangan; kemudian Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan Peraturan Perundang-undangan; Pengundangan Peraturan Perundang-undangan, Publikasi, dan Edukasi Regulasi; Harmonisasi dan Sinkronisasi; Pusat Data, Penelitian dan Pengembangan; Monitoring dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan; Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Terkait dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; serta Litigasi Peraturan Perundang-Undangan. 

 

Menurut Fajri, delapan fungsi tersebut merupakan cerminan dari struktur kelembagaan yang nantinya akan dibentuk. Lebih jauh, PSHK menggagas agar lembaga ini dibentuk setingkat Kementerian, dengan Kepala Badan setara Menteri. Kesekretariatan lembaga dipimpin oleh pejabat setingkat Eselon Ia (sekretaris utama). Kepala BRN dibantu oleh Deputy setingkat eselon I sesuai dengan tugas dan fungsi BRN. Selain itu, BRN berwenang membentuk instansi vertikal sampai Kabupaten/Kota. 

 

Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik mengungkapkan kesepakatan yang sama dengan PSHK. Menurut Akmal, saat ini dibutuhkan lembaga independen yang bertugas mengawal pelaksanaan Undang-Undang. “Butuh otoritas untuk mengkontrol Kementerian/Lembaga untuk sinkron,” ujar Akmal. 

 

Terkait sinkronisasi peraturan perundang-undangan di lingkungan eksekutif, Akmal mengakui selama ini ada persoalan. Ego sektoral di lingkungan eksekutif terutama menjadi penyebab persoalan ini. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang selama ini telah ada pun menurut Akmal tidak cukup efektif untuk menyelesaikan persoalan ini.

 

Dari sisi efektifitas, praktisi hukum Ahmad Fikri Assegaf menilai banyak persoalan yang ditemui di lapangan akibat ketidaksinkronan peraturan yang ada. Dari sisi pelaku usaha, Fikri melihat begitu banyak bidang usaha yang selama ini menghadapi persoalan akibat ketidakkonsistenan peraturan yang satu dengan yang lain.

 

“Kalau menurut saya rencana Jokowi itu sudah imperatif. Harus segera dilaksanakan karena biaya yang ditimbulkan dari semua ketidakpastian sangat mahal harganya,” ujar Fikri.

 

Ia mengungkapkan sebuah hasil studi yang pernah dilaksanakan yang menggambarkan bahwa dari sisi kemudahan berusaha, problem ketidaksinkronan peraturan membuat waktu yang dihabiskan masyarakat untuk mendirikan Perseroan Terbatas sangatlah lama dan juga mahal. Dalam setahun jumlah PT yang didirikan, kemudian waktu yang dihabiskan, dihitung berdasarkan basis UMR dan dikalikan waktunya hampir Rp1 triliun.

 

“Harusnya masyarakat tidak menanggung biaya yang sangat besar,” pungkas Fikri.

 

Tags:

Berita Terkait