Masukan Penting LPSK Atas Pembahasan RUU TPKS
Terbaru

Masukan Penting LPSK Atas Pembahasan RUU TPKS

Mulai non kriminalisasi korban, menjaga kerahasiaan identitas korban, restitusi, hingga wewenang pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelangnya untuk pembayaran restitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi korban kejahatan seksual
Ilustrasi korban kejahatan seksual

Percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terus berjalan. Internal pemerintah sedang menggodok penyusunan daftar inventasriasi masalah (DIM) RUU TPKS. Antara lain dengan menggelar konsinyering dengan melibatkan sejumlah kementerian/lembaga terkait. Seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward O.S Hiariej mengatakan penyusunan DIM RUU TPKS mesti rampung sebelum memasuki masa reses. Apalagi Presiden Joko Widodo telah meminta agar dapat segera merampungkan pembahasan RUU TPKS hingga pengesahan menjadi UU. “Ini artinya, Pemerintah juga harus cepat dalam menyelesaikan proses administrasi dan substansinya. Cepat tetapi penuh kehati-hatian,” ujarnya di Jakarta, Selasa (1/2/2022) kemarin.

Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM pada Kepala Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan konsinyering DIM RUU TPKS ditujukan agar menjamin keragaman berbagai sudut pandang terkait perlindungan korban kekerasan seksual, penegakan hukum, dan jaminan rehabilitasi terhadap korban menjadi lebih efektif.

Dia menerangkan KSP sejak 2021 telah menginisiasi pembentukan gugus tugas percepatan RUU TPKS. Tak hanya melibatkan kementerian/lembaga, namun juga berbagai unsur masyarakat sipil, akademisi dan media. Menurutnya, situasi darurat kekerasan seksual di Tanah Air mengharuskan negara hadir. Karena itu, pihaknya akan terus bekerja menyelesaikan DIM tanpa menunda sehari pun.

(Baca Juga: Hanya Fraksi PKS yang Menolak RUU TPKS Jadi Usul Inisiatif DPR)  

Sementara Wakil Ketua Komisi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo mengatakan setelah RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR mengharuskan pemerintah segera menyusun lebih detail melalui DIM. Harapannya UU TPKS nantinya mampu menjawab berbagai masalah dan tantangan dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, sehingga ada beberapa hal yang perlu dimasukan dalam substansi RUU ini.

Pertama, non kriminalisasi terhadap korban. Menurut Antonius, pengarusutamaan korban menjadi tantangan tersendiri yang mendasar. Sebab, pengarusutamaan menjadi ruh dalam proses peradilan yang lebih memperhatikan dan memprioritaskan korban. Karenanya, pola tersebut perlu tercermin dalam setiap tahapan proses peradilan.

Baginya, pengarusutamaan dapat terwujud sepanjang petugas memiliki pengetahuan dan kompetensi tentang perspektif korban. Termasuk hak-hak korban dalam regulasi.  Dia menilai, salah satu hak korban TPKS antara lain hak untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana atas kesaksian dan/atau laporan yang telah korban berikan.

“Kecuali jika kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman LPSK.

Menurutnya, bila terdapat tuntutan hukum terhadap korban atas kesaksian dan/atau laporan yang telah diberikannya, maka tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkannya telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Rumusan tersebut diatur dalam Pasal 10 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini agar menjamin kelancaran proses hukum atas tindak pidana yang menjadikannya korban.

Mantan Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta itu merujuk berbagai pengalaman yakni tuntutan hukum terhadap korban TPKS menjadi serangan balik bagi korban. Tujuannya agar melemahkan posisi korban meraih keadilan. Bila terdapat relasi kuasa antara korban dan pelaku, serangan balik dapat berupa mutasi korban ke tempat kerja lain, ancaman tidak lulus sekolah/kuliah, hingga ancaman melakukan pencemaran nama baik.

Nah, RUU TPKS perlu mempertegas hak korban agar tidak dikriminalisasi. Seperti mencantumkan perumusan non kriminalisasi terhadap korban sebagai asas pengaturan dalam draf Pasal 2 RUU TPKS. Menurutnya, prinsip non kriminalisasi terhadap korban telah diterapkan pada kasus human trafficking sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan ASEAN Convention against Trafficking in Persons, especially women and children (2015).

Kedua, menjaga kerahasiaan identitas korban. Baginya, korban memiliki hak dirahasiakan identitas pribadinya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 31/2014. Kemudian Pasal 17 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Serta Pasal 7 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers jo Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik yang  menentukan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Baginya, langkah melindungi identitas korban menjadi upaya menghindari re-viktimisasi terhadap korban dan ketidaknyamanan. “Privacy korban juga diatur dalam Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Bila korbannya anak, pengungkapan identitas korban bakal mengganggu keberlanjutan pendidikan anak dan bisa mengakibatkan putus sekolah karena merasa malu.”

Dia menegaskan RUU TPKS perlu mempertegas eksistensi prinsip kerahasiaan identitas korban. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan memasukan prinsip kerahasiaan identitas korban sebagai bagian integral dari asas kepentingan terbaik bagi korban sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 2 draf RUU. Bila perlu memasukkannya secara ekplisit ke dalam norma Pasal 17 draf RUU TPKS.  

“Prinsip kerahasiaan identitas korban perlu dipertegas kembali karena masih banyak ditemukan pelanggaran atas prinsip ini,” harapnya.

Ketiga, restitusi. Pengaturan restitusi alias ganti kerugian bagi korban diatur dalam Pasal 23-25 draf RUU TPKS. Pengajuan restitusi dapat dimohonkan sebelum atau sesudah pelaku dinilai terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Restitusi yang dimohonkan sesudah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. “Perlu diatur lebih rinci antara lain tentang bagaimana teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan restitusi tersebut,” ujarnya mengingatkan.

Dia berpendapat pengaturan yang lebih rinci perlu segera dituangkan dalam draf RUU TPKS. Sebab, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang dimandatkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban belum juga diselesaikan. Bila pengaturan rinci tidak dimuat dalam draf RUU TPKS nantinya berpotensi mengurangi pemenuhan hak korban atas restitusi.

Selain itu, dalam draf RUU TPKS perlu mengatur wewenang pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelangnya untuk pembayaran restitusi. Konsep ini mencontoh Pasal 50 ayat (3) UU No.21 Tahun 2007 tentang TPPO. Berdasarkan pengalaman LPSK melindungi korban TPPO, Pasal 50 ayat (3) UU No.21/2007 belum pernah diimplementasikan.

Hal lain dalam draf RUU TPKS perlu mengatur tentang kriteria dan mekanisme penentuan pelaku/terpidana tidak mampu membayar restitusi. Misalnya, ditentukan kriterianya berdasarkan keputusan pejabat daerah setempat dan mekanismenya berdasarkan permohonan jaksa atau LPSK. Hal ini membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan. “Masih ada waktu untuk menyempurnakan draf RUU TPKS demi menjawab masalah dan tantangan yang ada. Sekaligus memastikan UU tersebut nantinya dapat diterapkan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait