Masih Adakah Privasi di Era Digital?
Utama

Masih Adakah Privasi di Era Digital?

“Data is the new oil”. Perilaku masyarakat yang gemar mempublikasikan aktivitas dalam media sosial semakin menambah rentan kebocoran data pribadi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi yang membahas tentang perlindungan data pribadi, Kamis (19/9). Foto: MJR
Acara diskusi yang membahas tentang perlindungan data pribadi, Kamis (19/9). Foto: MJR

Meski telah banyak sosialisasi dan diskusi mengenai data pribadi nyatanya belum mampu secara optimal menyadarkan masyarakat mengenai hal tersebut. Berbagai kasus pelanggaran dan kebocoran data pribadi masih terjadi dalam keseharian masyarakat. Bahkan, perilaku masyarakat yang gemar mempublikasikan aktivitas dalam media sosial semakin menambah rentan kebocoran data pribadi tersebut.

 

Kebocoran data pribadi sangat merugikan masyarakat sebagai pemilik data karena rawan disalahgunakan. Misalnya, melalui data pribadi tersebut pencuri data dapat mengakses kontak telepon pemilik data untuk menawarkan produk-produk tertentu. Bahkan lebih buruk, pencuri data dapat mengakses rekening bank pemilik data.

 

Lantas, masih adakah privasi seseorang dalam dunia digital saat ini? Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Samuel Abrijani Pangerapan menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada privasi di era digital. Dia menjelaskan saat seseorang mempublikasikan aktivitasnya secara otomatis terekam jejak digitalnya. Bahkan, saat seseorang bertransaksi secara online maka data pribadinya dipegang tiga pihak.

 

“Tidak ada privasi di internet. Dama satu transaksi saja akan ada tiga pihak yang pegang data pribadi seseorang,” jelas Samuel.

 

Hukumonline.com

 

Atas kondisi tersebut, Samuel mengatakan langkah paling mungkin dilakukan yaitu masyarakat lebih berhati-hati dalam menyebarkan data pribadi saat menggunakan media sosial maupun bertransaksi online.

 

Selain itu, kebocoran data pribadi ini juga semakin rentan karena belum memiliki Undang Undang. Pembahasan antara pemerintah dengan DPR RI menyusun RUU Perlindungan Data Pribadi tak kunjung rampung. Padahal, RUU tersebut mengatur berbagai aspek mulai tanggung jawab pengendali dan pemroses data hingga sanksi saat data pribadi masyarakat bocor.

 

“Maka itu perlu UU Perlindungan Data Pribadi. Kalau UU ini tidak cepat maka sangat rentan. Data pribadi itu hak pribadi, aset,” tambah Samuel.

 

Financial technology merupakan salah satu industri yang sangat bergantung dengan data pribadi. Perwakilan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asri Anjarsari, menjelaskan bisnis perusahaan fintech telah memiliki aturan mengenai perlindungan data pribadi. Menurutnya, kebocoran data pribadi terjadi pada industri fintech ilegal atau tidak berizin. 

 

“Asosiasi dengan Otoritas Jasa Keuangan sudah berkoordinasi. Masalah ini (kebocoran data pribadi) dilakukan fintech ilegal sehingga kami terkena imbas,” jelasnya.

 

Lebih lanjut, Asri menjelaskan data pribadi tersebut juga digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan atau fraud dari nasabah. Pasalnya, pengaksesan data pribadi dapat digunakan untuk menagih pinjaman pada nasabah. Dia juga menjamin perusahaan fintech legal akan mematuhi dalam aturan perlindungan data pribadi agar tidak bocor kepada pihak lain.

 

“Kami taat terhadap regulasi. Asosiasi sangat concern dengan ini,” pungkasnya.

 

Associate General Councel Data, Technology & IP, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek), Raditya Kosasih menambahkan keamanan data pribadi sangat memengaruhi kepercayaan konsumen terhadap perusahaannya. Sehingga, dia mengatakan pihaknya sangat menjaga kerahasiaan data pribadi konsumen agar tidak bocor.

 

“Dengan internet transaksi terjadi tanpa tatap muka sehingga dibutuhkan sekali trust dari konsimen dan pelaku usaha. Untuk bertahan usaha kami harus jaga trust dari konsumen. Karena data itu aset kami harus jaga nilainya jangan sampai data itu bocor,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait