Rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terus menuai polemik. Sebagai pemegang kewenangan mengesahkan Rancangan Undang-Undang, Pemerintah dan DPR dalam posisi dilematis. Membiarkan pengesahan RUU KUHP terus tertunda selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1960-an, bukanlah opsi yang menguntungkan bagi upaya melahirkan suatu KUHP nasional.
Satu persatu guru besar hukum pidana yang mengepalai tim penyusun menghadap Sang Khalik tanpa melihat hasil karya mereka disahkan. Pilihan lain adalah mengesahkan RUU setelah memberikan kesempatan kepada publik untuk memberikan masukan dalam jangka waktu tertentu.
Opsi terakhir inilah tampaknya yang sedang ditempuh pemerintah. Setidaknya, ketika Presiden memanggil dan meminta masukan empat tokoh hukum, opsi itu disinggung. Keempat tokoh hukum itu adalah Moh. Mahfud MD, Maruarar Siahaan, Edy Hiariej, dan Luhut MP Pangaribuan.
Pertemuan keempat tokoh hukum dengan Presiden Joko Widodo empat tahun silam kembali diceritakan Luhut Pangaribuan dalam diskusi tentang RUU KUHP yang diselenggarakan program doktor ilmu hukum Universitas Trisakti, pertengahan Juli lalu. “Kami menyatakan setuju diundangkan dengan tetap memberi kesempatan perbaikan sebelumnya dengan batasan waktu,” kenang advokat senior itu dalam diskusi yang dilakukan secara daring.