Masalah Perlindungan Klien dalam RUU Advokat
Berita

Masalah Perlindungan Klien dalam RUU Advokat

‘Persoalan jasa hukum itu deal advokat dengan klien, tak bisa diatur-atur’.

Mys/M-14
Bacaan 2 Menit
Masalah Perlindungan Klien dalam RUU Advokat
Hukumonline

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) merilis empat catatan penting tentang RUU Advokat. Catatan ini dikeluarkan untuk merespon keputusan Rapat Paripurna DPR 12 Juli lalu yang menjadikan RUU Advokat sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Salah satu catatan PSHK adalah tentang perlindungan klien atau penerima jasa hukum.

PSHK menilai perlindungan klien dalam RUU Advokat masih minim. Misalnya, belum ada pengaturan tentang transparansi komponen biaya jasa hukum. Yang ada hanya hak advokat untuk mendapatkan honorarium berdasarkan kesepakatan dengan klien. Juga tidak ada mekanisme pengaduan oleh klien terhadap advokat yang bertindak tidak profesional (unprofessional conduct).

Jika hubungan advokat dan klien tidak dibingkai dalam suatu perlindungan yang memadai, PSHK khawatir profesionalitas, independensi dan akuntabilitas advokat tak terjamin.

Namun kritik PSHK itu ditepis advokat Munir Fuady. Ia menganggap perlindungan klien dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat sudah cukup kuat. Pasal 18 UU ini menegaskan advokat dalam menjalankan profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, dan latar belakang  sosial dan budaya. UU Advokat juga melindungi rahasia hubungan advokat dengan klien.

Pasal 4 Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) secara khusus juga memuat sebelas poin aturan hubungan advokat dengan klien. Mengenai biaya yang disinggung PSHK, misalnya, KEAI mengatur ‘advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu’.

Karena itu pula, Munir menilai sejak awal hubungan advokat dengan klien sudah transparan. Ada proses penawaran honorarium dan pembicaraan komponen biaya antara advokat dan klien.  “Persoalan jasa hukum itu deal advokat dengan klien, tak bisa diatur-atur,” tandas Munir Fuady.

Advokat yang menulis banyak buku itu membandingkan dengan dokter. Tidak ada tarif pasti bayaran ke dokter. Ada dokter yang mahal, ada yang murah. Tinggal bagaimana pasien memandang dan merespon besarnya biaya. Kadang, orang rela membayar dokter karena pelayanannya memuaskan. Kalau jasa advokat bagus, tidak masalah jika tarifnya mahal. Munir balik mengkritik keinginan mengatur besaran honorarium advokat. “Kalau itu mau diatur, salah besar,” tegasnya.

Kalaupun dalam hubungan dengan klien itu ada advokat yang bertindak tidak profesional, cukup dilaporkan ke Dewan Kode Etik.  Kalau pelanggaran perdata bisa menggugat ke pengadilan, dan kalau pidana bisa laporkan ke polisi. Munir justru melihat sebaliknya. Yang mendesak saat ini adalah perlindungan advokat di luar pengadilan. “Itu yang sangat mendesak yang harus diatur,” kata dia.

Berkaitan dengan pengawasan perilaku advokat, patut dicatat bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia sudah membentuk Komisi Pengawas Advokat. Dalam Surat Edaran Peradi No. 001 Tahun 2013 tentang Pengawasan Terhadap Advokat, Peradi mengingatkan antara lain larangan bagi advokat dan kantor advokat untuk mengizinkan atau mempekerjakan orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasihat kepada klien.

Tiga poin lain

Tiga poin lain yang menjadi bagian catatan PSHK adalah tentang pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN), penegasan hak dan status advokat, dan eksistensi advokat asing. Tujuan pembentukan DAN dalam RUU Advokat mengarah pada terbentuknya suatu bar council sebagai atap dari organisasi-organisasi advokat. Tugasnya meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan kemahiran, serta menetapkan standarisasi pendidikan advokat. Pertanyaan kritisnya, sejauhmana kapasitas DAN bisa melakukan konsolidasi seluruh organisasi advokat. Pengalaman selama ini membuktikan betapa sulitnya menyatukan seluruh advokat ke dalam satu organisasi.

Mengenai status dan hak advokat, anggota Komisi III DPR Nudirman Munir mengatakan RUU Advokat akan mempertegas status advokat sebagai penegak hukum. Selama ini, status sebagai penegak hukum cenderung sebatas di atas kertas. Namun PSHK mengingatkan agar berhati-hati merumuskan lebih lanjut status dan hak advokat sebagai penegak hukum. Jangan sampai dengan status itu, advokat bertindak sebagai perantara tindak pidana.

Mengenai advokat asing, RUU Advokat mengamanatkan pembentukan aturan teknis berupa Peraturan Pemerintah (PP). Masalahnya, ada hal penting yang mendesak untuk diatur yakni kehadiran dan kerjasama antara kantor hukum asing dengan kantor hukum Indonesia. Pengaturan ini penting karena Indonesia akan memasuki liberalisasi perdagangan yang sedikit banyak berdampak pada jasa hukum.

Tags:

Berita Terkait