Masalah Kontrak Jadi Isu Penting dalam RUU Migas
Utama

Masalah Kontrak Jadi Isu Penting dalam RUU Migas

Perlunya stabilization clause untuk memodifikasi perjanjian hukum dalam setiap kontrak migas.

FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: satyayudha.com
Foto: satyayudha.com
Kontrak Kerja Sama (KKS) menjadi isu penting dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Hal tersebut diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen di Jakarta, Selasa (17/3).

Menurutnya, selama ini kontrak di sektor migas bersifat lex specialis atau khusus. Sehingga, jika ada aturan seperti UU yang baru lahir setelah kontrak dibuat, tak bisa me-legitimate kontrak yang sudah ada. Ciri seperti ini telah ada dalam UU Migas. Menurutnya, kontraktor paling senang dengan sifat kontrak seperti ini.

“Jangan sampai kontrak bikin kebal atau lex specialis. Masalah kontrak jadi isu tersendiri, supaya kedaulatan semangatnya sama dengan yang diinginkan Mahkamah Konstitusi (MK),” kata politisi dari Partai Golkar ini.

Atas dasar itu, Satya menyarankan agar dilakukan stabilization clause untuk memodifikasi perjanjian hukum dalam setiap kontrak migas. Ia percaya, klausul ini dapat melindungi kepentingan investor jika terdapat UU baru. Tujuan klausul ini agar bisa menyeimbangkan manfaat atau mempertahankan keseimbangan ekonomi dari tanggal efektifnya kontrak.

“(Investor) Diberi hak untuk berbicara ke pemerintah, jika ada UU baru dan menyebabkan kontraknya tidak ekonomis lagi,” ujar Satya.

Tidak seperti yang sekarang berlaku. Menurut Satya, saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa sebelum kontrak migas tersebut berakhir. “Begitu diapa-apakan, diarbitrase sama dia (investor), pemerintah kita kalah. Tidak ada duduk bareng untuk renegosiasi,” katanya.

Selain isu kontrak, dalam pembahasan RUU Migas juga menyangkut mengenai perubahan status SKK Migas. Anggota Komisi VII Ramson Siagian mengatakan, perubahan status ini menjadi isu penting mengingat sistem yang dilakukan SKK Migas tak berjalan efektif. Hal ini terlihat dari penurunan lifting minyak domestik dari 1,4 juta barel per hari menjadi 780 barel per hari.

Ditambah lagi, pengguna BBM di Indonesia tak bisa menggunakan produksi domestik, sehingga harus impor. Akibatnya, impor terus bertambah dan mempengaruhi posisi rupiah. Hal ini semakin mengganggu ketahanan energi Indonesia.
“Kalau pada saat cadangan devisa menurun karena cadangan impor bisa mempengaruhi posisi rupiah. Kemudian ketahanan energi kita berkurang. Ini yang harus dilihat kalau mau merevisi UU Migas,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Direktur  Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rahmanto, sepakat bahwa status kedudukan peran dan fungsi SKK Migas menjadi isu penting dalam revisi UU. Menurutnya, bentuk badan di level hulu  menjadi ruh di UU Migas. Sektor hulu terkait dengan aspek penguasaan dan pengusahaan. “Kalau hilir justru lebih ke aspek pengaturan regulasi,” ujarnya.

Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi (FKTE) Universitas Trisakti itu menambahkan, peran fungsi dan kedudukan lembaga mesti memenuhi aspek konstitusi. Pasalnya konstitusi menginginkan penguasaan pada tingkat pertama. Indonesia memiliki aset sumber daya alam yang melimpah.

Itu sebabnya, lanjut Pri Agung, semestinya negara yang mengelola Migas, bukan pihak ketiga. “Yang kita perlukan hulu migas, bukan badan pengawas dan lembaga regulator, tetapi entitas otoritas usaha yang bisa dilakukan sendiri, atau kalau karena keterbatasan bisa kerjasama dengan pihak lain,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait