Masalah Hukum Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19
Berita

Masalah Hukum Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19

Dinilai banyak instrumen hukum yang salah digunakan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dua lembaga riset Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyebut Pemerintah melakukan salah langkah hukum mengenai Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19. Kesalahan ini diyakini menimbulkan dampak serius di kemudian hari. “Secara hukum, belum terjadi penetapan status darurat bencana sampai sekarang,” kata Qurrata Ayuni, Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI), kepada Hukumonline.

 

Ia mengacu isi Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia.

 

Keputusan tersebut merujuk dokumen sebelumnya yaitu Keputusan Kepala BNPB No.9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia. Padahal Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak berwenang melakukan penetapan status keadaan bencana. Penetapan status itu menjadi kewenangan Presiden untuk skala nasional dan masing-masing kepala daerah sesuai wilayah terjadinya skala bencana. “Bisa dilihat di Pasal 51 Undang-undang tentang penanggulangan bencana,” katanya yang biasa disapa Ayu.

 

Pasal yang dimaksud Ayu menegaskan bahwa penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. Penetapan untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.

 

Ayu berpendapat seharusnya surat keputusan yang dibuat oleh Kepala BNPB hanya bernilai di pernyataan internal BNPB, terutama terkait penggunaan dana siap pakai di BNPB. Namun melihat isi judul dan isi keputusan perpanjangan, tampak bahwa Kepala BNPB bertindak melakukan penetapan status keadaan bencana.

 

Ayu belum menemukan dokumen hukum yang diakui hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai penetapan status keadaan bencana. Presiden memang menerbitkan Keputusan Presiden untuk membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin Kepala BNPB. Keputusan Presiden yang kemudian diubah lagi itu pun sama-sama tidak menyebutkan sama sekali penetapan status keadaan bencana. “Silakan periksa tiap pasalnya, sama sekali tidak menyatakan penetapan status darurat bencana nasional. Itu hanya pembentukan kepanitiaan penanganan Covid-19,” kata Ayu.

 

Ia merujuk Keppres No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bertanggal 13 Maret 2020 yang diubah dengan Keppres No. 9 Tahun 2020 pada 20 Maret 2020.

 

Hal lain yang disoroti Ayu adalah rujukan pertimbangan konstitusional yang digunakan Presiden dalam kedua Keppres itu. “Pasal UUD 1945 yang dirujuk di bagian pertimbangan adalah Pasal 4 ayat (1) tentang kewenangan kekuasaan pemerintahan, bukan Pasal 12 tentang menyatakan keadaan bahaya,” ujarnya.

 

Pasal 4 UUD 1945 mengatur Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil Presiden. Sedangkan Pasal 12 UUD menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang.

 

Lalu apa bedanya? Pernyataan bahaya ini memberikan Presiden kewenangan ekstra secara khusus untuk menghentikan bahaya. “Berlaku hukum yang baru khusus dalam keadaan bahaya itu di luar dari hukum yang biasa. Nah rujukannya Perppu No. 23 Tahun 1959,” Ayu menambahkan.

 

Ia yakin seharusnya Presiden juga menggunakan Perppu tersebut bersamaan UU Penanggulangan Bencana. Perppu No. 23 Tahun 1959 mencabut UU No. 74 Tahun 1957 dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya sekaligus. Sejumlah 62 pasal di dalamnya yang berusia lebih dari 50 tahun itu masih berlaku hingga kini. Sayangnya baik pasal 12 UUD 1945 maupun Perppu Perppu No. 23 Tahun 1959 sama sekali tidak dirujuk.

 

Baca juga:

 

“Dampaknya serius. Segala pembatasan hak yang dilakukan oleh Pemerintah jadi tidak memiliki landasan atas dasar pasal 28J UUD 1945,” tegas Ayu. Tertera di pasal tersebut pembatasan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan dengan produk hukum undang-undang.

 

Padahal saat ini banyak beredar pembatasan aktivitas demi mencegah Covid-19 yang bukan dengan produk undang-undang. “Semua pembatasan itu jadi tidak punya landasan hukum. Beda cerita kalau sudah ada dokumen tertulis dari Presiden yang menyatakan keadaan darurat nasional merujuk pasal 12 UUD 1945 dan Perppu yang masih berlaku tadi,” kata Ayu.

 

Ia menilai pengumuman lisan Presiden pada 15 Maret 2020 di Istana Bogor bahwa terjadi bencana nasional nonalam belum cukup. “Faktanya memang ini terjadi bencana nasional, tapi secara hukum belum cukup. Harus tertulis ditandatangani Presiden,” ujar Ayu.

 

Kepastian siapa penanggung jawab penanggulangan bencana nasional ini menjadi tidak jelas. Seolah terjadi saling lempar peran antara Presiden dengan Kepala Daerah. Di satu sisi Presiden bisa mencegah kebijakan Kepala Daerah mengenai penanganan Covid-19. Misalnya saat mencegah Gubernur DKI Jakarta melakukan penghentian sementara kegiatan perkantoran.

 

Mengacu UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, nampak bahwa Pemerintah Pusat yang berwenang menerbitkan kebijakan karantina. Mulai dari penetapan status darurat kesehatan masyarakat hingga pelaksanaan teknis karantina menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Pasal 10 dan 11 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat. Selain itu, pemerintah Pusat  menetapkan dan mencabut penetapan pintu masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Teknis tata cara penetapan dan pencabutan status diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Ditegaskan lebih lanjut bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.

 

Penelusuran Hukumonline menunjukkan bahwa Presiden sudah menetapkan Covid-19 sebagai wabah sejak 4 Februari 2020. Hal itu dituangkan lewat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya. Hanya saja tidak ada penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat hingga sekarang.

 

Presiden seolah melakukan desentralisasi penetapan status darurat di masing-masing wilayah padahal kemampuan tiap daerah di Indonesia sangat berbeda. “Kalau DKI Jakarta anggarannya sangat besar, tetapi di daerah-daerah lain sangat berbeda. Ini sudah menyangkut ketahanan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,” Ayu menjelaskan.

 

Hukumonline membandingkan dengan surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.443/Kep.189-Hukham/2020 tentang Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Covid-19 di Jawa Barat. Surat ini diterbitkan 19 Maret 2020 untuk menjadi dasar bertindak sesuai UU Penanggulangan Bencana.

 

Hingga saat ini tidak ditemukan dokumen serupa dari Presiden. Bahkan surat Menteri Hukum dan HAM No.M.HH.PK.01.01.01-04 bertanggal 24 Maret 2020 kepada Jaksa Agung, Kepala POLRI, dan Ketua Mahkamah Agung tidak merujuk status darurat bencana nasional oleh Presiden dalam dokumen peraturan perundang-undangan.

 

Surat itu berisi permintaan penundaan sementara pengiriman tahanan ke Rutan/Lapas di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM hanya merujuk pengumuman Presiden pada 15 Maret 2020 di Istana Bogor bahwa telah terjadi bencana nasional nonalam.

 

Hal lain yang Ayu soroti adalah pengalihan anggaran dari APBN dan APBD. Tanpa status darurat bencana yang bersandar pada negara dalam keadaan bahaya, seluruh prosedur keuangan harus dengan cara normal. Padahal sangat mungkin ada kebutuhan dana ekstra yang harus menyedot dari pos anggaran lain di APBN atau APBD.

 

“Dana siap pakai itu pasti punya batas. Pada akhirnya butuh pembenaran untuk ambil dari pos lain di APBN. Sementara perubahan APBN harus dengan persetujuan parlemen,” ujar Ayu. Ia menilai Presiden harus mengantisipasi dengan dasar berlakunya prosedur hukum yang tidak biasa. Hal itu tidak bisa dipenuhi dengan langkah hukum yang digunakan Presiden Joko Widodo sejauh ini. Masalah hukum berkaitan penggunaan uang negara untuk semua kebijakan saat ini juga bisa terjadi.

 

Djarot Dimas Achmad Andaru, Peneliti di Center for Health Law and Policy Indonesia (Sentra Hukum Kesehatan dan Kebijakan  Indonesia) FHUI menyinggung UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah). Beberapa regulasi penting di UU Wabah tidak dilaksanakan dengan benar.

 

Ia merujuk dua tujuan pokok dalam UU Wabah sesuai penjelasan Pasal 5 ayat (1). Pertama, memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan. Kedua, membatasi penularan/penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak serta wabah tidak meluas ke daerah lain.

 

“Saat ini tumpang tindih. Harusnya terpusat oleh Menteri Kesehatan dengan koordinasi terbuka. Saat ini semua kementerian dilibatkan namun tetap berjalan lamban,” katanya kepada hukumonline. Kementerian Kesehatan harusnya lebih bisa memahami pendekatan yang tepat berdasarkan kebijakan kesehatan masyarakat.

 

Djarot mengingatkan bahwa skema berjenjang penanganan wabah seperti Covid-19 telah diatur dalam UU Wabah. Bahkan peraturan pelaksana dalam PP No. 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular pun masih berlaku.

 

Namun mulai dari pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hingga koordinasi dengan Pemerintahan Daerah justru tidak mengikutinya. “Salah menggunakan instrumen hukum berdampak upaya pencegahan tidak efektif. Selain itu menimbulkan dampak beruntun lebih buruk secara sosial dan ekonomi,” kata Djarot.

Tags:

Berita Terkait