Masalah Baru dari Putusan MA Kembalikan Aset ke Jamaah, Bagaimana Mekanismenya?
Utama

Masalah Baru dari Putusan MA Kembalikan Aset ke Jamaah, Bagaimana Mekanismenya?

Persoalan lain, jumlah korban yang begitu banyak berikut kerugian yang diderita tak sebanding dengan jumlah aset yang disita. Pemerintah diminta turut bertanggung jawab atas batalnya puluhan ribu orang calon jamaah umrah ini karena menyangkut hak fundamental menjalankan ibadah keagamaan.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) menyatakan aset jamaah First Travel harus dikembalikan kepada jamaah. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan aset jamaah harus disita oleh negara.

"Kabul," demikian bunyi amar putusan Nomor 365 PK/Pid.Sus/2022 yang dilansir situs MA yang diajukan oleh bos First Travel, Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Kiki Hasibuan alias Siti Nuraida Hasibuan, Kamis (5/1/2023).

Ahli Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai di satu sisi putusan MA untuk mengembalikan aset yang disita untuk jamaah sudah tepat. Sebab, memang dalam perkara ini tidak ada unsur kerugian keuangan negara, sehingga aset tersebut harus dikembalikan kepada jamaah.

Baca Juga:

Namun di sisi lain timbul masalah baru tentang bagaimana mekanisme pembagian aset. Mengingat jumlah korban yang mencapai 63.310 jamaah dan total kerugian yang diakibatkan mencapai Rp905 miliar menurut putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok.

"Hasil kejahatan tentu harus dikembalikan kepada korbannya. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah jumlah korban yang sangat banyak dan kerugian yang berbeda-beda, sementara hasil kejahatan yang tersisa jauh lebih kecil," ujar Pohan kepada Hukumonline.

Seperti diketahui, pada penyelidikan kasus tersebut, Bareskrim Polri menyatakan, aset First Travel yang terlacak mencapai Rp 50 miliar. Sedangkan, kuasa hukum Andika Surachman sempat menuturkan bahwa total aset kliennya yang telah disita mencapai Rp 200 miliar. Pada putusan Mahkamah Agung, taksiran aset menyusut menjadi tak lebih Rp30 miliar.

"Prinsipnya tentu harus dibagi secara proporsional kepada korbannya, tinggal mekanismenya bagaimana dan siapa yang harus melaksanakan. Menurut hemat saya, terkait dengan pengembalian hasil kejahatan lebih tepat dilakukan oleh JPU sebagai eksekutor," terang Pohan.

Pertimbangan MA

MA sendiri memberikan alasan kenapa aset First Travel dikembalikan kepada calon jemaah umrah. Dalam pertimbangannya, MA menetapkan aset First Travel dikembalikan kepada para jamaah adalah karena dalam kasus ini tidak terdapat hak-hak negara yang dirugikan.

"Pertimbangan pada pokoknya mengenai penentuan status barang bukti, Majelis PK tidak sependapat dengan putusan judex jurist tentang sebagian dan barang bukti berupa uang dalam rekening bank maupun aset-aset yang bernilai ekonomis tersebut dirampas untuk negara. Oleh karena dalam perkara in casu tidak terdapat hak-hak negara yang dirugikan," kata Jubir MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Kamis (5/1/2023) kemarin.

Menurut Andi, barang bukti perkara yang dimaksud dikembalikan kepada mereka yang memang berhak menerima dalam hal ini para calon jemaah umrah korban kasus penipuan First Travel.

"Akan tetapi, oleh karena barang-barang bukti yang akan disebutkan dalam amar putusan ini berasal dan calon jemaah umrah, maka sesuai Pasal 194 ayat (1) KUHAP harus dikembalikan kepada orang yang paling berhak terhadap barang bukti tersebut yaitu para calon jemaah umrah yang telah membayar kepada PT First Travel maupun rekanan-rekanan yang belum dibayar hak-haknya oleh Para Pemohon PK melalui PT First Travel yang mekanisme pembayarannya diserahkan kepada pihak eksekutor."

Sebelumnya, Penasihat Hukum pro bono jamaah korban First Travel, TM Luthfi Yazid juga mempertanyakan bagaimana mekanisme pengembalian dana jamaah umrah First Travel. “Akhirnya, melalui PK sebagai upaya hukum luar biasa, aset First Travel dikembalikan kepada jamaah. Tetapi bagaimana mekanisme pengembaliannya kepada puluhan ribu jamaah, pastilah rumit, dan ruwet,” ujarnya kepada Hukumonline, Jum’at (6/1/2023).

Dia menilai setidaknya ada enam alasan negara harus hadir dan turut serta bertanggung jawab dalam pengembalian aset tersebut ke jamaah. Pertama, pasca putusan PK, pengembalian aset First Travel ke jamaah menjadi kewenangan jaksa sebagai eksekutor.

Hal terpenting, kasus dengan korban puluhan ribu orang calon jamaah umrah itu berkaitan dengan hak fundamental warga negara yakni menjalankan ibadah keagamaan umrah yang berkelanjutan. Setidaknya, kerugian First Travel dengan 63.310 jamaah mencapai sekitar Rp 1 trilliun. Karenanya menjadi beralasan pemerintah turun tangan sebagaimana dalam kasus PT Lapindo Brantas, PT Bank Century, dan PT Jiwasraya dengan negara menalangi para korban.

Seperti dalam kasus PT Lapindo Brantas, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdasarkan Keppres No.13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Sembur Lumpur Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban lumpur sekitar Rp 751 miliar. Dalam kasus PT Bank Century pemerintah menalangi (bailed-out) para nasabah sekitar Rp 6,76 trilliun. Dalam kasus PT Jiwasraya pemerintah menalangi kerugian sekitar Rp 22 trilliun.

Untuk diketahui, Pengadilan Negeri (PN) Depok telah menjatuhkan vonis hukuman terhadap tiga bos First Travel bersalah melakukan penipuan terhadap calon jamaah umrah. Ketiga bos itu antara lain, Andika Surrachman, Aniessa Hasibuan, dan Kiki Hasibuan. Ketiganya divonis telah menipu dan menggelapkan uang milik 63.310 calon jemaah umrah dengan total kerugian mencapai Rp 905 miliar.

Namun, PN Depok menyatakan bahwa aset First Travel dirampas oleh negara sesuai Pasal 39 jo Pasal 46 jo Pasal 194 KUHP, bukan dikembalikan kepada jemaah yang telah merugi. Di tingkat kasasi, MA melalui Putusan Nomor 3096K/PID.SUS/2018 tertanggal 31 Januari 2019 juga memutuskan hal yang sama alias memperkuat putusan PN Depok.   

Tags:

Berita Terkait