Mas Achmad Santosa: Birokrasi Kita Serba Tertutup
Terbaru

Mas Achmad Santosa: Birokrasi Kita Serba Tertutup

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengusulkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu dari ketiga RUU itu adalah RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi. Jika UU ini berlaku, tidak ada halangan lagi bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi. Bahkan, ada sanksi bagi mereka yang menutup informasi.

Bacaan 2 Menit

Apa sebenarnya permasalahan akses informasi yang ada di Indonesia?

Problem besar di Indonesia  adalah budaya birokrasi kita yang serba tertutup. Informasi yang dimiliki oleh pemerintah tidak bisa di-share ke publik. Bahkan, kecenderungannya semua informasi yang dikelola oleh pemerintah diperlakukan sebagai hal yang rahasia. Jadi budaya birokrasi ini tidaklah mendukung keterbukaan terhadap informasi dan partisipasi publik.

Apakah dengan adanya UU ini, dalam praktek nanti para pejabat wajib memberikan informasi?

Yang ingin kami perkenalkan adalah ada informasi akses pasif dan akses aktif. Akses aktif ini maksudnya, baik diminta ataupun tidak diminta, ada kewajiban dari instansi pemerintah untuk men-dislose informasi-informasi tertentu kepada masyarakat.

Contohnya seperti notulensi-notulensi rapat departemen atau interdepartemen seperti rapat untuk pemberian HPH (Hak Penguasaan Hutan) dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan, sehingga kita dapat mengetahui proses dan tahapan-tahapan pemberian hak tersebut. Ada juga akses pasif yaitu jika tidak diminta tidak diberikan. Yang juga sedang kita diskusikan adalah masalah exemption atau pengecualian.

Kira-kira pengecualiannya akan seperti apa?

Saya pribadi berpendapat, pengecualian itu ada yang kategorikal dan ada yang konsekuensial. Konsekuensial itu misalnya suatu informasi dilarang apabila informasi ini dapat membahayakan. Untuk menentukan ini ada suatu tes, yaitu interest harm test.

Kategorikal ini lebih berbahaya karena orang dapat menginterpretasikan seenaknya yang pada akhirnya dapat menghambat akses informasi itu sendiri. Kategorikal itu semacam exemption class, yang mana dilarang dan tidak.  Batasannya harus jelas. Dan sifat exemption itu haruslah limitatif, tidak boleh pada akhinya menegasikan dari prinsip akses publik terhadap informasi itu sendiri.

Siapa yang akan melakukan pembuktian dan bagaimana pembuktiannya?

Beban pembuktian ada pada si penyedia informasi. Jadi kalau dikatakan bahwa ia tidak bisa me-release Undang-undang ini karena akan berdampak pada kelangsungan usahanya, maka ia harus membuktikan dengan cara memberikan argumen-argumen. Jika ia keberatan, bisa menggunakan internal review, yaitu mengajukan keberatan pada atasan pejabat yang bertanggungjawab untuk memberikan informasi tersebut. Kalau tidak ditanggapi, baru digunakan external review, yaitu melalui Komisi Informasi.

Pejabat yang menolak untuk memberikan informasi pun harus dapat membuktikan bahwa penolakan tersebut dilakukan untuk kepentingan publik. Tes untuk menilai pemberlakuan  exemption ini memang tidak mudah. Yang kita mau adalah seperti di Thailand, dimana ada training untuk seluruh pejabat-pejabat pemerintah yang bertugas untuk memberi informasi menegenai know-how-nya me-realease informasi dan sebagainya

Halaman Selanjutnya:
Tags: