Maria Farida: Tanpa Pengesahan Presiden, UU Tidak Berlaku
Terbaru

Maria Farida: Tanpa Pengesahan Presiden, UU Tidak Berlaku

Belakangan ini, sejumlah undang-undang (UU) telah diundangkan tanpa pengesahan dari Presiden. Memang, semua UU yang tidak disahkan Presiden tersebut adalah UU yang kontroversial. Sebut saja UU Penyiaran atau UU Keuangan Negara. Pertanyaannya, apakah kekuatan mengikat UU tanpa pengesahan Presiden sama dengan yang disahkan (ditandatangani) oleh Presiden?

Bacaan 2 Menit
Maria Farida: Tanpa Pengesahan Presiden, UU Tidak Berlaku
Hukumonline

Pakar Ilmu Perundang-undangan Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto mengatakan bahwa masyarakat sebenarnya tidak perlu repot-repot mengajukan judicial review atas UU Penyiaran atau UU lainnya yang tidak disahkan Presiden. Alasannya, secara hukum UU tersebut tidak berlaku sah sebagai UU. Pendapat itu mungkin cukup ekstrim, tetapi Maria memiliki argumen hukum yang kuat untuk mendukung opininya.

Lahir di Solo 54 tahun lalu, Maria menyelesaikan program S-1 dan S-2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Pada Agustus 2002, Maria meraih gelar Doktor dari UI dengan disertasi berjudul "Kedudukan dan Materi Muatan Perpu, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI".

Di samping itu, Maria juga pernah mengikuti pendidikan legislative drafting di sejumlah universitas di luar negeri, yakni di Belanda pada Leiden University (1988) dan Vrije Universiteit Amsterdam (1990), serta di AS pada University of Nevada (2002) dan Boston University (2002).

Sejak 1982 hingga sekarang, Maria adalah staf pengajar mata kuliah Ilmu Perundang-undangan dan Teori Perundang-undangan di FHUI. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa fakultas hukum perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Selain mengupas habis masalah perundang-undangan, Maria juga mengungkapkan kekhawatirannya soal tidak dapat dieksekusinya putusan Mahkamah Agung sebagai Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review. Untuk lengkapnya ikuti perbincangan  hukumonline dengan Maria berikut ini.

Sejumlah UU diundangkan tanpa pengesahan dari Presiden, misalnya UU Penyiaran dan UU Provinsi Kepulauan Riau. Bagaimana hal ini jika dilihat dari ilmu perundang-undangan?

Dilihat dari ilmu perundang-undangan, sebenarnya kita tidak bisa melihat dari Pasal 20 ayat (5) karena sebetulnya di sini ada sesuatu yang tidak sinkron antara Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD '45. Kenapa? Kalau dulu Pasal 5 itu mengatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Tapi sekarang dikatakan Presiden berhak mengajukan RUU. Jadi Presiden itu tidak wajib, hanya berhak.

Kalau Presiden nggak ingin ada UU, ya Presiden tidak mengajukan RUU gitu kan. Beda kalau dulu dikatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR itu berarti kewenangan itu Presiden. Jadi, kalau Presiden dalam waktu masa jabatannya dia tidak membentuk UU, bisa dipertanyakan. Lha ngapain dia memerintah, karena pemerintahan itu adalah mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan itu sangat luas.

Nah, dalam amandemen pertama dan kedua kemudian kewenangan itu dilimpahkan kepada DPR. Kalau kita melihat Pasal 20 ayat (1) saja di sana dikatakan DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Berarti dari Pasal 20 saja yang harus membentuk UU adalah DPR. Tapi kalau kita lihat kemudian dalam ayat-ayat berikutnya, maka suatu RUU harus disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Kalau itu yang mengajukan DPR, kenapa harus disetujui juga oleh DPR kan masalahnya.

Kemudian, menjadi bias lagi setelah ada ayat (4) karena mengatakan Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU. Jadi untuk menjadi UU itu kan karena pengesahan Presiden dan pengesahan itu diwujudkan dengan penandatangan itu. Jadi, di sini kemudian kita bingung, kalau orang mengatakan lembaga legislatif itu Presiden atau DPR? Karena yang berhak mengesahkan untuk menjadi UU adalah Presiden.

Nah kalau kita hubungkan dengan Pasal 20 ayat (5), maka justru di sini ada pertentangan bahwa Presiden yang harus mengesahkan UU ini kemudian dia diberi kewenangan tidak mengesahkan. Karena ditulis dalam ayat (5), dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah menjadi UU.

Jadi, di sini Presiden juga bisa memakai kewenangan itu, ya kan? Ayat (4) memang mengatakan, saya (Presiden) harus mengesahkan RUU untuk menjadi UU, tapi ayat (5) kan ayat yang terbelakang. Jadi, kalau ayat yang di belakang sebetulnya kan mengeyampingkan ayat yang sebelumnya.

Dan kalau kita lanjutkan, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Ini menjadi suatu masalah. Pengundangan adalah menempatkan suatu UU yang sudah disahkan Presiden dalam suatu lembaran negara.

Jadi, adalah dua hal yang berbeda antara pengesahan dan pengundangan?

Ya. Kalau RUU itu keluar dari DPR itu belum disahkan. Dia baru disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Tapi, itu ada tandatangannya di sana. Jadi, hanya mengatakan disetujui, diketok palu, sudah, kita setujui, kita tingkatkan jadi UU, lalu kita kirimkan kepada Presiden. Jadi, belum ada pengesahan, adanya persetujuan antara DPR dan Presiden. Itu Pasal 20 ayat (2).

Nah, tapi kemudian RUU ini dikirimkan ke Presiden. Dikirimkan rancangannya hanya rancangan biasa, tidak ada tandatangan. Tandatangan Ketua DPR tidak ada, menteri pemrakarsa juga tidak ada, menteri yang mewakili Presiden tidak ada. Sedangkan, hanya ada surat dari pimpinan DPR bahwa kami menyerahkan RUU yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden, mohon Presiden untuk mengesahkan.

Jadi, surat ini kan mohon kepada Presiden sebetulnya harusnya ini mengikat kan? Tapi, Pasal 20 ayat (5) justru mengatakan, kalau Presiden tidak mengesahkan dia berlaku sebagai UU. Jadi, sebetulnya Presiden di sini tidak salah. Walaupun, sebetulnya secara etika Presiden tidak boleh tidak menandatangani karena dia sudah mengirimkan wakilnya, menteri-menteri, untuk berdiskusi.

Dan menteri itu juga harus lapor kepada Presiden bahwa kami telah membahas ini-ini, kemudian kami serahkan itu. Mestinya demikian. Tapi, karena kewenangan ini kemudian, ya Presiden bisa mengatakan, 'ya sudah, tidak saya sahkan saja, kan dianggap berlaku sebagai UU'.

Jadi, sebetulnya pengundangan pun menjadi masalah karena kalau sudah pengesahan baru diberikan nomor dan tahun. Nah, ini nomornya belum ada, tapi sudah diundangkan dalam lembaran negara.

Apakah UU yang tidak disahkan Presiden kekuatan mengikatnya sama dengan UU yang disahkan oleh Presiden?

Kalau secara perundang-undangan, dari segi hukum administrasi, tidak ada suatu keputusan yang tidak ditandatangani dia berlaku sah sebagai keputusan. Jadi, suatu keputusan itu hanya dinyatakan sah kalau dia ditandatangani oleh lembaga yang berwenang. Jadi, orang yang menandatangani itu belum pensiun, dia pada tempat yang dia berwenang juga.

Terkait dengan UU ini, kemudian sekarang yang tanggung jawab siapa? Karena pada dasarnya, UU itu dibuat dan untuk dilaksanakan. Nah, sekarang kalau Presiden tidak melaksanakan itu, Presiden bisa mengatakan dong, 'saya sendiri tidak tandatangan kok'.

Siapa yang harus bertanggung jawab menegur Presiden? DPR sebagai pengawas memang dia bisa menegur Presiden, tapi Presiden mengatakan, 'wong saya tidak tandatangan, kenapa saya harus melaksanakan itu'. Jadi, kewenangan ini jadi membingungkan. Presiden mengatakan saya tidaktanda tangan karena saya tidak bisa melaksanakan itu, tapi DPR saebagai pengawas bisa mengatakan UU telah disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR.

Di sini menjadi suatu yang bisa saling tuding. Dan sedangkan wajib diundangkan, ini juga sebetulnya, kok wajib? Ini juga suatu konstitusi. Itu kalau mengatakan wajib, berarti kalau tidak dilaksanakan ada sanksinya. Tapi, kalau di sini sanksinya apa? Mestinya, RUU tersebut sah menjadi UU dan diundangkan. Nah, mestinya kalau (redaksinya) "dan diundangkan", berarti memang harus diundangkan.

Sebetulnya bagaimana mekanisme pengundangan sebuah RUU?

Kalau dulu, jika DPR sudah menyetujui kemudian diserahkan kepada Presiden maka sudah disahkan, ada tanda tangannya, diberikan nomor dan tahun, kemudian dia dikirim. Dulu kalau dikirim, ke Percetakan Negara. Kalau dulu pengundangan itu ke Departemen Kehakiman, kemudian diambil ke Setneg. Kemudian yang mencetak lembaran negara itu adalah Percetakan Negara yang di Salemba itu.

Tetapi sekarang itu langsung di Setneg sendiri dan dengan suatu metode yang bagus, dengan komputer, format lembaran negara sudah ada. Jadi pada saat hari itu UU-nya disahkan, hari itu juga lembaran negaranya sudah bisa diterbitkan.

Pengundangan itu apakah cuma persoalan administratif, atau lebih dari itu?

Lebih dari itu karena pengundangan itu mempunyai efek bahwa UU itu bisa berlaku mengikat umum. Jadi, kalau hanya pengesahan saja itu tidak berlaku mengikat umum. Pada saat dia dinyatakan disahkan dia mengikat, tapi mengikatnya hanya pada lembaga-lembaga negara dan pemerintahan bahwa ini lho sudah ada UU. Tapi, mengikat umumnya belum.

Meskipun di konstitusi dikatakan, telah sah secara otomatis 30 hari setelah disetujui DPR belum berlaku mengikat umum kecuali telah diundangkan?

Ya. Jadi sah berlaku, dia berlaku sebagai UU. Jadi, ada UU Penyiaran, tapi mengikat umum belum karena belum diundangkan. Tapi, begitu diundangkan maka KPI, misalnya, itu bisa langsung dibentuk. Tapi, kalau hanya berlaku saja, belum. Jadi, orang tidak perlu ribut-ribut kenapa mesti membentuk Komisi Penyiaran. Tapi begitu sudah mengikat umum, berarti UU itu siapa yang boleh menjadi anggota Komisi Penyiaran. Nah, itu sudah berlaku.

Belakangan beberapa UU dianggap bertentangan dengan UUD, sehingga dimohonkan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) yang sementara ini melaksankan tugas Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana kalau yang dinilai inkonstitusional ini bukan UU, tetapi misalnya, Perda, PP, Kepmen?

Dalam UUD itu dinyatakan, kalau yang diajukan judicial review pada MA itu peraturan-peraturan di bawah UU. Pasal 24A, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Jadi kalau ada Perda, Keputusan Bupati, Kepmen, PP bertentangan dengan UU, maka pengajuan judicial review-nya itu pada MA.

Tapi kalau yang bertentangan itu UU terhadap UUD, maka diajukan judicial review pada MK. Selama MK tidak ada, menurut Aturan Peralihan Pasal III dalam konstitusi, MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangan dilakukan oleh MA. Jadi, sekarang judicial review yang diajukan terhadap UU Penyiaran, UU Antiterorisme itu diajukannya kepada MA sebagai MK.

Kalau Keppres, PP bertentangan dengan konstitusi tetap judicial review-nya pada MA karena kalau bertentangan dengan konstitusi, maka dia bertentangan juga dengan UU. Karena, UU itu adalah kewenangan yang melaksanakan lebih lanjut ketentuan konstitusi itu. Jadi kalau ada itu, maka di sini dikatakan bahwa dia harus dilaksanakan oleh MA.

Seperti apa kira-kira putusan MK atas permohonan judicial review dan siapa yang berwenang mencabut, katakanlah, UU yang terbukti inkonstitusional?

Kalau judicial review terhadap peraturan di bawah UU, itu kan pelaksanaannya berdasarkan Perma No.1/1999. Perma No.1/1999 putusannya itu mengabulkan gugatan atau menolak gugatan itu, saya rasa ada dua lagi. Kalau menolak, berarti dianggap peraturan di bawah UU itu memang benar, sah.

Tapi kalau dia mengabulkan, berarti gugatannya itu dianggap bahwa memang peraturannya itu memang bertentangan dengan UU. Di sana dikatakan bahwa mengabulkan gugatan dan menyatakan itu tidak sah. Tapi kemudian dia juga harus memberikan suatu perintah pada lembaga yang membentuk itu untuk mencabut peraturan itu. Kemudian ada pasal yang lain mengatakan, apabila 90 hari peraturan yang diminta untuk dicabut itu tidak dicabut oleh lembaga yang membentuk maka dia batal demi hukum atau dianggap tidak berlaku. Itu ada di dalam Perma No.1/1999.

Sedangkan untuk judicial review yang diajukan kepada MK itu sekarang sementara diatur dalam Perma No.2/2002. Dia bisa mengatakan putusanya menolak atau mengabulkan, tapi tidak ada jenis materi keputusannya itu apa. Menolak gugatan saja dan mengabulkan gugatan, jadi apa yang harus dilakukan lebih lanjut itu tidak ada.

Nah, secara norma Pasal 20 ayat (5) itu memang betul, tapi dalam implementasinya itu tidak mudah dan tidak bisa dilaksanakan kalau terjadi seperti judicial review itu. Tapi kalau kemudian rakyat, ya sudahlah tidak disahkan dengan tandatangan Presiden kita laksanakan saja, itu tidak masalah. Tapi, kalau kemudian rakyat mau ikut dengan UU itu karena tidak ada tandatangan Presiden kok, yang tanggung jawab siapa?

Anda mengkhawatirkan putusan MK, terutama bila mengabulkan judicial review, tidak dapat dieksekusi?

Ya, justru bentuk keputusan itu sendiri, materinya itu apa selain mengabulkan judicial review? Kalau mengabulkan, berarti kan harus ada tindak lanjutnya. Kalau hakim mengatakan, Anda dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 15 tahun begitu. Terdakwanya sudah ada. Kalau ini dikatakan mengabulkan gugatan penggugat, terus apa? Karena dalam Perma No.2/2002 tidak disebutkan apa yang harus dinyatakan dalam pengabulan itu. Sebetulnya, ini merupakan suatu ujian bagi Pasal 20 ayat (5) dan Perma No.2/2002.

Lalu, pencabutan UU atau penghapusan pasal tertentu dalam UU yang di-judicial review bagaimana pelaksanaannya?

Kalau pencabutan UU berarti dicabut semua, berarti semuanya. Atau pencabutan dengan penggantian. Kalau kita ngomong pencabutan itu hanya dua, pencabutan tanpa pengaturan kembali, jadi dicabut dan tidak diatur lagi. Tapi, pencabutan dengan pengaturan kembali. Berarti semua dicabut dan diatur kembali, walaupun pengaturan kembali ini semua pasal dalam UU yang lama bisa dimasukkan di situ. UU baru bentuknya. Tapi kalau perubahan, maka perubahan itu bisa hanya sekian pasal atau menambah pasal atau mengganti rumusan pasal itu atau menghapuskan pasal itu.

Artinya, semua itu harus dilakukan dengan UU yang baru?

Harus dengan UU yang baru dan prosedurnya juga dengan prosedur yang berlaku. Jadi, kalau prosedur membuat RUU biasa itu harus ada permohonan prakarsa lebih dahulu atau kalau DPR dari komisi atau gabungan komisi atau sepuluh orang anggota Baleg membuat RUU itu kemudian harus diajukan. Prosedurnya sama. Kalau sekarang pakai Keppres No.188, kalau di DPR pakai Tata Tertib DPR No.3A itu. Kalau sudah itu kemudian oleh Setneg diberikan kepada DPR, disetujui bersama dalam dua sidang, diserahkan kepada Presiden, disahkan dan diundangkan. Prosedur itu harus ada.

Masih terkait dengan judicial review, bagaimana jika UU bukanlah bertentangan dengan UUD tapi dengan Tap MPR, seperti kasus gugatan judicial review UU No.30/2002 oleh KPKPN. Bagaimana pandangan Anda?

Nah, oleh karena kita tidak hanya melihat pada aturan yang sudah tertuang dalam konstitusi ini. Tapi kita harus kembali pada sejarah hukum ketatanegaraan, sejarah pembentukan peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia. UUD ini dibentuk bahwa bagaimana kalau UU bertentangan dengan UUD saja. Karena pada dasarnya, visinya anggota MPR ini atau gagasan MPR ke depan itu keputusan MPR tidak ada lagi dalam hirarki aturan hukum Indonesia.

Jadi, tidak ada kenapa mesti UU-nya melanggar Tap MPR. UU hanya bisa melanggar konstitusi. Jadi, di sini kita harus melihat pada UU KPTPK (UU No.30/2002) itu dari adanya Tap MPR No.11 itu karena pada waktu itu secara sejarah ketatanegaraan memang MPR berwenang membuat keputusan-keputusan MPR yang namanya keputusan atau ketetapan MPR.

Jadi, setiap judicial review atas UU yang dianggap bertentangan Tap MPR dapat diajukan ke MK?

Ya, karena sebetulnya apa yang dirumuskan di dalam Tap MPR adalah semua kebijakan-kebijakan garis-garis besar daripada haluan negara untuk melaksanakan konstitusi itu. Kalau konstitusi itu hanya mengatur garis besar saja kemudian diberikan tugas kepada Presiden karena Tap MPR sebetulnya hanya mengikat Presiden. Nanti, kalau tidak ada Tap MPR, Presiden langsung melaksanakan UUD diatur lebih lanjutnya dalam UU.

Ke depan, Tap MPR sudah tidak ada lagi. Artinya, MPR sudah tidak lagi menerbitkan Tap MPR?

Tap MPR itu kalau dia mempunyai kekuatan mengatur ke luar dari lembaga MPR itu pada dasarnya tidak bisa karena MPR itu hanya mengatur Presiden saja. Tapi kalau Tap MPR itu pengangkatan Presiden, pengangkatan wakil Presiden itu kan mestinya pakai apa? Karena, yang melantik Presiden dan wakil Presiden kan MPR. Apakah bentuknya hanya berita acara pelantikan saja atau dituangkan dalam Tap MPR. Itukan bisa juga.

Kemudian, mestinya ada Tap MPR juga yang memilih Presiden. Kalau Pasal 8 dikatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil Presiden selambat-lambatnya dalam 60 hari MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Jadi, yang memutuskan MPR juga, kemudian MPR melantik juga nantinya.

Kemudian, kalau ayat (3), jika Presiden atau wakil Presiden mangkat, berhenti dan diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan pelaksanaan tugas Presiden dilaksanakan Menteri Dalam Negri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan wakil Presdien dari dua calon pasangan yang telah lulus pemilu.

Jadi, Tap MPR masih bisa dianggap sebagai sumber hukum?

Sebetulnya tidak. Kalau sumber hukum berarti UU mengacu pada Tap MPR ini, ya nggak karena itu Tap pengangkatan biasa.

Artinya, Tap MPR nantinya sudah di luar hirarki perundang-undangan?

Dari awal memang Tap MPR sebetulnya di luar hirarkhi perundang-undangan karena sifatnya aturan-aturan dasar negara. Dia hanya memberikan perintah kepada Presiden. Jadi, Tap MPR sebenarnya aturan-aturan dasar yang tidak mengikat langsung kepada masyarakat sendiri. Tetapi, ada Tap-Tap MPR yang kemudian isinya mengatur umum, itu salah sebetulnya.

Bagaimana implikasi hukum dari dicabutnya Tap MPR, mengingat banyak Tap MPR yang penting, misalnya Tap MPR mengenai Sumber Daya Alam (SDA)?

Tap-Tap ini, kalau Tap soal SDA itu sebetulnya dalam Pasal 6 memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk mengubah semua peraturan perundang-undangan yang mengatur di bidang sumber daya alam dan pembaharuan agraria. Itu semua UU dan peraturan pelaksanaannya diubah. Jadi, Tap ini memberikan kewenangan kepada Presiden dan DPR untuk membentuk UU dan peraturan pelaksanaannya. Semua yang ada harus diubah sesuai dengan kondisi sekarang. Maka Tap ini sebetulnya kalau dicabut jadi rawan. Ya, kalau UU-nya sudah ada, kalau ini belum ada kan menjadi sulit.

Secara perundang-undangan bisa dinyatakan Tap ini bisa berlaku sampai kalau semua UU dan peraturan pelaksanaanya sudah dirubah. Siapa nanti yang mencabut Tap ini? Secara lembaga, MPR yang akan datang bisa mencabut Tap ini. Karena dia toh tap MPR, walaupun keanggotaannya berubah. Jadi kalau dalam hukum administrasi itu lembaganya bisa berubah tapi fungsinya itu masih ada. Fungsi ini harus dilaksanakan.

Dalam disertasi Anda dinyatakan bahwa Tap MPR tentang Tata Urutan Perundang-undangan bertentangan dengan UUD. Bisa Anda jelaskan dengan ringkas?

Tap III (Tap MPR No.III/2000, red) itu mengatakan bahwa letak Perpu itu berada di bawah UU. Sedangkan, baik Tap III maupun Tap No.XX/MPRS/1966 itu meletakkan Tap MPR di bawah UUD. Jadi, kalau Tap MPR itu letaknya di bawah UUD berarti dia tidak boleh bertentangan dengan UUD itu sendiri. Dalam UUD '45 itu, walaupun sudah direvisi empat kali, Pasal 22 itu tidak pernah diubah sama sekali.

Dalam Pasal 22 dikatakan, dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden membentuk Perpu. Dan, penjelasannya mengatakan Perpu itu dibentuk dalam keadaan noodverordeningsrecht Presiden yang kekuatannya sama dengan UU. Jadi otomatis kalau UUD sendiri tidak mengubah itu kenapa Tap MPR yang letaknya di bawah UUD dia mengubah kedudukan itu, mengubah hirarkhi Perpu di bawah UU. Jadi, yang harus di-judicial review pertama kali pada MK kan Tap ini sebetulnya.

(Amr)

 

Tags: