Pakar Ilmu Perundang-undangan Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto mengatakan bahwa masyarakat sebenarnya tidak perlu repot-repot mengajukan judicial review atas UU Penyiaran atau UU lainnya yang tidak disahkan Presiden. Alasannya, secara hukum UU tersebut tidak berlaku sah sebagai UU. Pendapat itu mungkin cukup ekstrim, tetapi Maria memiliki argumen hukum yang kuat untuk mendukung opininya.
Lahir di Solo 54 tahun lalu, Maria menyelesaikan program S-1 dan S-2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Pada Agustus 2002, Maria meraih gelar Doktor dari UI dengan disertasi berjudul "Kedudukan dan Materi Muatan Perpu, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI".
Di samping itu, Maria juga pernah mengikuti pendidikan legislative drafting di sejumlah universitas di luar negeri, yakni di Belanda pada Leiden University (1988) dan Vrije Universiteit Amsterdam (1990), serta di AS pada University of Nevada (2002) dan Boston University (2002).
Sejak 1982 hingga sekarang, Maria adalah staf pengajar mata kuliah Ilmu Perundang-undangan dan Teori Perundang-undangan di FHUI. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa fakultas hukum perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Selain mengupas habis masalah perundang-undangan, Maria juga mengungkapkan kekhawatirannya soal tidak dapat dieksekusinya putusan Mahkamah Agung sebagai Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review. Untuk lengkapnya ikuti perbincangan hukumonline dengan Maria berikut ini.
Sejumlah UU diundangkan tanpa pengesahan dari Presiden, misalnya UU Penyiaran dan UU Provinsi Kepulauan Riau. Bagaimana hal ini jika dilihat dari ilmu perundang-undangan?
Dilihat dari ilmu perundang-undangan, sebenarnya kita tidak bisa melihat dari Pasal 20 ayat (5) karena sebetulnya di sini ada sesuatu yang tidak sinkron antara Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD '45. Kenapa? Kalau dulu Pasal 5 itu mengatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Tapi sekarang dikatakan Presiden berhak mengajukan RUU. Jadi Presiden itu tidak wajib, hanya berhak.