Maria Farida Indrati: Pantang Berhenti Mengasah Ilmu
Edsus Akhir Tahun 2010:

Maria Farida Indrati: Pantang Berhenti Mengasah Ilmu

Sempat bercita-cita menjadi guru musik.

ASh
Bacaan 2 Menit
Prof. Maria Farida Indrati, pantang berhenti <br>mengasah Ilmu. Foto: Sgp
Prof. Maria Farida Indrati, pantang berhenti <br>mengasah Ilmu. Foto: Sgp

Melakoni profesi sebagai hakim konstitusi bagi Prof Maria Farida Indrati merupakan prestasi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pasalnya, sejak kecil ia bercita-cita ingin menjadi guru musik lantaran hobinya memainkan alat musik yang digeluti hingga SMA.

 

Namun, atas saran ayahnya (alm), yang seorang wartawan kantor berita Antara kala itu, Maria mengurungkan niatnya untuk menjadi guru musik. Alhasil, selepas SMA ia memilih masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada tahun 1969 untuk jurusan hukum tata negara.

 

Usai ujian skripsi pada tahun 1975 dilewati dengan baik, ia langsung ditawari sebagai Asisten Dosen (Asdos) untuk mata kuliah hukum administrasi negara (HAN) oleh Prof Prajudi Padmo Sudirdjo, yang menjadi dosen pengujinya. Setelah berpikir sejenak, tawaran itu ia terima.    

 

“Selain Asdos HAN, tahun 1982, saya juga diminta menjadi Asdos mata kuliah Ilmu Perundang-undangan oleh Prof Hamid Attamimi. Sejak saat itulah saya menekuni profesi sebagai dosen. Saya lebih suka mengajar karena ilmu yang dimiliki akan terus terasah,” ujar perempuan yang pernah meraih predikat mahasiswi teladan  FHUI bersama Mochtar Arifin, mantan Wakil Jaksa Agung era Abdul Rahman Saleh pada tahun 1975.              

 

Putri, pasangan Raden Petrus Hendro dan Veronica Sutasmi itu sempat berkeinginan untuk menjadi dosen di Universitas Sebelas Maret lantaran mau ikut suaminya, yang juga berprofesi sebagai dosen seni rupa. Lantaran satu tahun tidak diproses, ia ditarik kembali oleh Dekan FHUI kala itu. “Awalnya saya mau ikut suami, tetapi setahun tidak diproses akhirnya kembali lagi ke FHUI,” ujar perempuan kelahiran Solo, 14 Juni 1949.

 

Ternyata, pilihannya menekuni profesi dosen khususnya untuk jurusan ilmu perundang-undangan merupakan pilihan yang tepat. Pasalnya, ia kerap dipercaya lembaga negara atas keahliannya sebagai legal drafter. Misalnya, Maria pernah dipercaya menjadi anggota tim perumus dan penyelaras Komisi Konstitusi MPR pada 2003-2004 dan anggota tim pakar hukum Departemen Pertahanan pada 2006-2008.

 

Berkiprah cukup lama di dunia hukum itulah yang mengatarkannya terpilih menjadi hakim konstitusi perempuan pertama di Mahkamah Konstitusi (MK). Keinginan menjadi hakim konstitusi lantaran dorongan dari teman-temannya di kalangan kampus, seperti Saldi Isra dan Denny Indrayana. Sebab, Maria dianggap ahli hukum tata negara yang paling senior di antara mereka.  

 

“Saat seleksi hakim MK periode penggantian, banyak teman yang menginginkan saya untuk jadi hakim konstitusi, saat itu presiden mendengarkan usulan pencalonan hakim konstitusi. Selanjutnya, salah seorang Watimpres meminta saya agar mau mengikuti fit and proper test, akhirnya saya mau meski saya sebenarnya tak tertarik menjadi hakim konstitusi,” ujar perempuan yang juga menjadi Ketua Komisi Perundang-undangan, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Tingkat Pusat.       

 

Pencalonannya menjadi hakim konstitusi sempat ada ketidaksetujuan dari anggota keluarganya. “Sebelum saya masuk sini (MK) suami saya setuju, tetapi anak saya ragu-ragu, alasannya kalau jadi pejabat seringkali dicap koruptor, masak nggak percaya sama Ibu,” jawab Maria meyakinkan sang anak.       

 

Misinya untuk menjadi hakim konstitusi adalah berusaha memberikan putusan yang bisa memberikan keadilan bagi masyarakat. “Misi saya berusaha untuk memutuskan sesuatu yang menurut hati nurani saya adalah kebenaran dan keadilan,” katanya. “Sejak dulu prinsipnya saya ingin mengabdi, kalau di kampus bagaimana saya memberikan pelajaran dengan baik, sedangkan di MK bagaimana memberikan putusan yang adil bagi masyarakat.”  

 

Ia merasa pengalaman sebagai dosen sangat membantu profesinya sebagai hakim konstitusi terutama untuk kasus pengujian UU. Menurutnya, ilmu yang didapat dan dikembangkan di universitas dapat menjadi masukan dalam putusan-putusan MK. “Ini mengharuskan dan memaksa saya selalu membaca untuk memahami permasalahan, seperti Pengujian UU Minerba, UU Kehutanan, masalahnya apa?”

 

Nampaknya, dunia mengajar sudah menyatu dalam jiwa ibu tiga orang anak itu. Pasalnya, di sela-sela kesibukannya sebagai hakim konstitusi, ia masih menyempatkan diri untuk mengajar di FHUI dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM).  

 

“Untuk program S-1 di FHUI Depok, saya biasanya ngajar hanya pembukaan dan penutupan kuliah, selebihnya yang memberikan perkuliahan dua asisten saya. Tetapi, saya intensif mengajar di STHM di Matraman dan program S-2 di FHUI Salemba,” ujar peraih penghargaan SK Trimurti Award 2010 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia lantaran konsistensi dan integritasnya dalam membela demokrasi dan menegakkan hukum.  

 

Hal yang menjadi perhatian khusus Maria adalah masih banyaknya rancangan peraturan perundangan-undangan yang semestinya tidak layak menjadi UU. Seperti RUU Keolahragaan, RUU Kepemudaan, RUU Pramuka, RUU Pembantu Rumah Tangga. “Apakah kita bisa setiap orang memaksakan harus ikut pramuka, apakah ada sanksinya?” Kita punya menteri olahraga, kenapa tidak diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Buat apa kita membuat UU, tetapi tak bisa dilaksanakan.”

 

Satu hal tak pernah dilupakan selama Maria menjadi hakim konstitusi ketika MK membatalkan sistem penetapan caleg berdasarkan nomor urut dalam UU Pemilu Legislatif. Putusan MK ini dinilai merugikan kaum perempuan. Kala itu, ia memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda).

 

Menurutnya, semestinya selain suara terbanyak posisi perempuan harus tetap ada karena adanya affirmative action sesuai Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu yang mendorong jumlah perempuan lebih banyak di parlemen. Jika hanya didasarkan sistem suara terbanyak keterwakilan perempuan bisa hilang. “Saya dikatakan membela perempuan, padahal dari segi perundang-undangan atau rumusan norma seperti itu.”     

    

Pandangan soal kiprah perempuan, ia menilai semakin hari semakin banyak perempuan yang berkiprah di dunia hukum. Tetapi, dari perspektif yang lain, di DPR mulai banyak anggota DPR perempuan. “Banyak anggota DPR dan pengusaha yang sukses adalah perempuan, advokat, notaris juga banyak yang perempuan. Seperti di UI, kebanyakan mahasiswi teladan ada perempuan karena umumnya perempuan itu lebih tekun.”

 

Kini, peminat jurusan hukum tata negara sudah mulai meningkat. “Dengan adanya perubahan UUD 1945, UU Pemda, jurusan hukum tata negara sudah banyak diminati,” ujarnya berharap kelak ada hakim konstitusi perempuan lain yang bakal mengikuti jejaknya.       

 

Meski demikian, ia memandang peranan perempuan di kelembagaan negara/publik masih minim. “Menteri perempuan hanya empat orang, di MK hanya satu hakim konstitusi, di MA baru ada lima orang hakim agung perempuan.”

 

Ia berprinsip tekun dan setialah kepada satu profesi yang diyakininya, niscaya akan berhasil. “Saya mau tekuni dan mendalami ilmu perundang-undangan, akhirnya seperti ini,” katanya, yang pesan itu diperolehnya dari orang tuanya yang dianggap sebagai tokoh panutan.    

 

Namun, ia mengingatkan setinggi apapun kedudukan setiap perempuan, ia harus sadar akan kodratnya sebagai perempuan. “Ini harus, kalau dia dibutuhkan di rumah untuk masak ya harus masak atau nyuci, jangan pernah merasa terpaksa,” pesan wanita yang pernah mengikuti pendidikan legal drafting di Univeritas Leiden Belanda dan Boston School of Law Amerika itu.

 

Tags:

Berita Terkait