Manfaat Pembiayaan Karya Pelaku Ekonomi Kreatif yang Menjadi Jaminan
Kolom

Manfaat Pembiayaan Karya Pelaku Ekonomi Kreatif yang Menjadi Jaminan

Contoh negara yang sangat populer dalam memanfaatkan sektor kekayaan intelektual adalah Amerika Serikat sebagai negara dengan penerimaan atas hak kekayaan intelektual terbesar di dunia.

Bacaan 6 Menit
Ardhiyasa (kiri) dan Kelvin Aditya Pratama (kanan). Foto: Istimewa
Ardhiyasa (kiri) dan Kelvin Aditya Pratama (kanan). Foto: Istimewa

Kita dapat memahami bahwa Indonesia memiliki banyak sekali pelaku ekonomi kreatif penghasil kekayaan intelektual yang perlu dimanfaatkan untuk menjadi nilai tambah dalam memajukan kesejahteraan. Pemerintah pun turut bertanggung jawab untuk menciptakan dan mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing global guna tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.

Semangat pemerintah dalam upaya menggairahkan ekonomi kreatif terlihat pula lewat cara pemerintah menapaki prospek bahwa kekayaan intelektual yang merupakan salah satu kekayaan bukan benda di Indonesia sebagai bentuk objek jaminan ke lembaga pembiayaan untuk mendapatkan kredit. Seperti contoh negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkannya. Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah tersebut, terlebih agunan yang dapat dijadikan jaminan merupakan karya yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi kreatif. Meskipun hal tersebut acapkali dianggap sebelah mata karena dinilai secara ekonomi sulit untuk diperjualbelikan.

Setahun yang lalu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana UU Ekonomi Kreatif Tahun 2019 (PP No. 24/2022) di mana kekayaan intelektual dapat dijadikan jaminan permodalan ke lembaga keuangan bank atau non-bank. Tentu ini menjadi kabar gembira bagi pemilik kekayaan intelektual seperti sineas film, rumah produksi, seniman, penyanyi, musisi dan lainnya.

Baca juga:

Ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan Youtube bisa menjadi jaminan fidusia tentu hal tersebut menjadi berkah tersendiri bagi para pemilik channel Youtube. Di masa yang akan datang praktik ini akan menjadi tidak asing lagi, bahwa punya channel Youtube tidak hanya sebagai media mempromosikan karya-karyanya, namun juga dapat memiliki valuasi sebagai sebuah objek jaminan.

Berdasarkan PP No. 24/2022, yang harus digarisbawahi adalah kekayaan intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang baru dapat berlaku bagi pencipta asalkan karya milik pencipta tersebut memiliki sertifikat kekayaan intelektual yang dalam contoh di atas adalah pemilik channel Youtube. Jika tidak memiliki lembar sakti tersebut, maka jelas gugur pengajuan pinjaman kredit ke bank dan non-bank.

Lalu, apa cukup hanya bermodalkan dengan surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual saja? Dalam PP No. 24/2022, untuk dapat menerapkan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, yaitu terdapat persyaratan lain yang terdiri atas proposal pembiayaan, memiliki usaha Ekonomi Kreatif, dan memiliki perikatan terkait Kekayaan Intelektual produk Ekonomi Kreatif. (Vide Pasal 7 ayat (2) PP No. 24/2022).

Selanjutnya dijelaskan dalam PP No. 24/2022 bahwa lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non-bank harus melakukan beberapa proses terlebih dahulu sebelum memberikan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, yaitu:

  1. verifikasi terhadap usaha Ekonomi Kreatif;
  2. verifikasi surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual yang dijadikan agunan yang dapat dieksekusi jika terjadi sengketa atau non sengketa;
  3. penilaian Kekayaan Intelektual yang dijadikan agunan;
  4. pencairan dana kepada Pelaku Ekonomi Kreatif; dan
  5. penerimaan pengembalian Pembiayaan dari Pelaku Ekonomi Kreatif sesuai perjanjian.
  6. (Vide Pasal 8 PP No. 24/2022).

Proses di atas menjadi amat penting karena bank harus melakukan appraisal atau penaksiran harga sebelum kekayaan intelektual tersebut dijaminkan. Terlebih, sudah menjadi praktik umum bahwa lembaga pembiayaan dalam melakukan usahanya menggunakan prinsip kehati-hatian dan wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah atau debitur untuk melunasi utangnya dan mengembalikan kredit atau pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

PP No. 24/2022 bukan merupakan peraturan pertama yang mengatur mengenai kekayaan intelektual atau hak cipta sebagai sebuah jaminan fidusia. Jauh ke belakang, Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) menyebutkan bahwa hak jaminan atas benda bergerak berwujud dan tidak berwujud dapat dibebani hak tanggungan. Ketentuan ini diperjelas juga dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang mengatur bahwa hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. Maka atas dasar itu, ditambah dengan pengaturan teknis lewat PP No. 24/2022, kekayaan intelektual yang dijamin oleh hak cipta sebagai benda tidak berwujud sudah layak sebagai jaminan fidusia.

Hingga hari ini, lembaga pembiayaan pada umumnya belum mempunyai instrumen untuk memberikan kredit atau pinjaman kepada pemilik kekayaan intelektual. Mereka masih memakai prosedur konvensional bersama pihak jasa penilai yakni jika ada yang ingin mengajukan pinjaman maka jaminannya adalah sesuatu yang berwujud seperti tanah, bangunan, mobil dan lain sebagainya.

Bercermin dari Praktik di Negara Lain

Problematika yang disebutkan di atas masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam penerapan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual menjadi objek jaminan fidusia. Pemerintah sebagai regulator memang belum menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai, namun kita tidak bisa hanya membebankan pada satu pihak saja. Infrastruktur tersebut harus dapat dijalankan nantinya oleh lembaga pembiayaan perbankan dan non-perbankan. Mereka tentu tidak mau menyalurkan dananya tanpa kejelasan dan kepastian dari kebijakan tersebut.

Negara-negara lain di dunia, praktik di atas bukan merupakan barang baru dan sudah lama berlangsung dalam industri kreatif mereka. Contoh negara yang sangat populer dalam memanfaatkan sektor kekayaan intelektual adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan negara dengan penerimaan atas hak kekayaan intelektual terbesar di dunia. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Amerika Serikat pada tahun 2015 mencatat penerimaan dari hak atas kekayaan intelektual senilai AS$126,2 miliar mengalahkan Belanda yang berada di posisi kedua dengan nilai AS$42,8 miliar serta Jepang di tempat ketiga dengan nilai AS$36,6 miliar.

Contoh lainnya, pencipta lagu asal Inggris, David Bowie yang berhasil melakukan sekuritisasi hak cipta dengan menerbitkan obligasi senilai AS$55 miliar pada 1997. Instrumen pembiayaan itu kemudian dikenal sebagai Bowie Bonds. Surat utang ini ditawarkan Bowie ke investor dengan tingkat bunga 7,9% dengan tenor 10 tahun.

Selanjutnya ada pula salah satu bank swasta Merrill Lynch di Amerika Serikat pada tahun 2005 silam. Merrill Lynch pernah mengucurkan dana kredit senilai AS$525 juta atau Rp8,2 triliun kepada Marvel Studios selama 7 tahun. Rumah produksi film itu menawarkan karakter Thor dan Captain America sebagai jaminan untuk mendapatkan uang modal bisnis membuat film-film selanjutnya. Padahal, karakter Thor dan Captain America bukan sesuatu berwujud bisa dipegang seperti bangunan atau tanah. Tetapi, Merrill Lynch mau memberikan dana ke Marvel Studio dengan risiko jika gagal membayar maka kedua karakter itu menjadi milik Merrill Lynch.

Bagi kami, jika pemerintah ingin memberlakukan PP No. 24/2022 maka sebaiknya ada skema uji coba untuk melihat persoalan praktis dari PP No. 24/2022 tersebut. Pertama, pemerintah menunjuk bank atau lembaga pembiayaan terlebih dahulu untuk menjadi percontohan dalam menerapkan PP No. 24/2022. Kedua, pemerintah dapat membentuk, menunjuk atau membuka lelang terbuka terkait tim profesional yang menjadi tim jasa penilai kekayaan intelektual sebagai pijakan dasar bank dan lembaga keuangan mau memberikan pinjaman bagi pemilik kekayaan intelektual. Ketiga, pemerintah dapat mempromosikan dan mengundang para pelaku ekonomi kreatif untuk dapat berbondong-bondong menggunakan karya nya sebagai jaminan dengan aturan main yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalam penentuan jasa penilai kekayaan intelektual tersebut juga tidak bisa sembarangan dilakukan. Seperti tertuang di PP No. 24/2022, si penilai haruslah berizin dan terdaftar kementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang Ekonomi Kreatif sehingga individu atau badan hukum yang bersangkutan harus memiliki kompetensi penilaian kekayaan intelektual. Terkait jasa penilai, saya memandang pemerintah harus juga membuat aturan mengenai jasa penilai kekayaan intelektual sebagai dasar lembaga keuangan mau memberikan pinjaman bagi pelaku ekonomi kreatif. (Vide Pasal 12 ayat (3) PP No. 24/2022)

PP No. 24/2022 akan berlaku per Juli 2023 ini, sampai dengan kolom ini dibuat, belum ada informasi dari pihak-pihak perbankan bagaimana mereka nanti menerapkan kebijakan PP 24/2022 tersebut. Besar harapannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang dalam hal ini berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat pula mengkaji terkait konkretisasi dan kelayakan kekayaan intelektual sebagai aset dalam menjadi jaminan kredit tersebut agar dapat memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi kreatif, lembaga pembiayaan dan masyarakat pada umumnya demi memajukan industri ekonomi kreatif di Indonesia.

Segala pekerjaan rumah yang muncul memang bukan tugas yang mudah tetapi tidak ada yang mustahil apabila dilakukan secara bersama-sama. Pondasi telah tertanam, hanya kita sendiri yang dapat memutuskan apakah akan menilik peluang ini lebih jauh atau hanya puas dengan sistem yang biasa ada. Semua hal ini dilakukan pastinya dengan harapan, adanya kemudahan memperoleh jaminan kredit, tentu pelaku ekonomi kreatif yang juga sebagai pemilik kekayaan intelektual dapat membuka lapangan pekerjaan lebih banyak dan berkontribusi lebih luas lagi terhadap pendapatan negara dari sektor ekonomi kreatif. Semoga!!!

*)Ardhiyasa, S.H., adalah Advokat di Jakarta, Pengurus dan Kurator AKPI dan Konsultan Kekayaan Intelektual AKHKI. Kelvin Aditya Pratama, S.H., adalah Advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait