Manfaat Kebebasan Informasi Bukan Hanya untuk Pers
Berita

Manfaat Kebebasan Informasi Bukan Hanya untuk Pers

Kebebasan informasi bagi publik merupakan salah satu elemen dari pemerintahan terbuka. Pemerintahan terbuka itu sendiri adalah syarat mutlak bagi terciptanya good governance di Indonesia. Namun, benarkah publik mendambakan kebebasan informasi? Benarkah kebebasan informasi hanya menguntungkan pers, bukan publik ?

Amr
Bacaan 2 Menit
Manfaat Kebebasan Informasi Bukan Hanya untuk Pers
Hukumonline

Suatu hal yang cukup mengejutkan bahwa ada pihak yang memandang era keterbukaan sebagai sesuatu yang tidak lebih dari suatu pemborosan. Banyaknya informasi yang beredar di berbagai media massa, baik itu cetak ataupun elektronik, dinilai  tidak banyak membawa manfaat bagi masyarakat itu sendiri.

Setidaknya, itulah perspektif dari salah satu anggota DPR dari F-PDKB Astrid Susanto mengenai perlu tidaknya kebebasan informasi menuju era keterbukaan di Indonesia. Astrid memandang, banyak informasi yang sebetulnya tidak banyak membantu rakyat yang hidup di pinggir jalan. "Nobody becomes poorer or richer with it," kata ahli sosiologi politik itu.

Secara lugas Astrid juga mengungkapkan bahwa yang dibuat kaya oleh informasi hanyalah media massa. Media massa, menurut Astrid, sangat memperjuangkan kebebasan informasi karena mereka menginginkan informasi gratis sebanyak-banyaknya dan kemudian mereka menjualnya ke publik. Astrid mengaku tahu banyak soal pers karena disertasinya pada 1964 adalah mengenai ombudsman pers.

Namun demikian, ia tetap mengatakan bahwa dirinya tidak menentang kebebasan informasi. Hanya saja dalam pandangannya, kebebasan informasi tidak lebih dari suatu pemborosan bagi negara. Pandangannya ini diungkapkannya dalam sebuah diskusi bertema 'RUU Rahasia Negara dalam Perspektif Kebebasan Informasi' dii Jakarta, (24/08).

Menuju open goverment

Dalam diskusi yang diadakan oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi ini, hadir pula  peneliti senior Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Mas Achmad Santosa. Mas Achmad menilai pendapat yang dikemukakan oleh Astrid sebagai suatu trauma keterbukaan informasi di era Presiden Gus Dur.

Padahal, ujar Mas Achmad, di era Gus Dur belum ada yang dinamakan dengan keterbukaan informasi. Ia mencontohkan, saat Rizal Ramli sebagai Menko Ekuin, sembilan Program Percepatan Pemulihan Ekonomi diberi judul 'strictly private and confidential'.

"Jadi, saya kira pemerintahan Gus Dur itu bukan karena keterbukaan beliau jadi jatuh atau kebablasan. Tetapi, saya kira soal gaya kepemimpinan, managerial skills dan ketidakkonsistenan," ungkapnya. Hal ini perlu diutarakan, mengingat fraksinya Astrid - F-PDKB - adalah satu-satunya fraksi non F-KB yang menolak pemecatan Presiden Gus Dur pada Sidang Istimewa beberapa waktu lalu.

Dalam pandangan Koalisi, kebebasan untuk memperoleh kebebasan informasi adalah salah satu aktualisasi dari suatu pemerintahan yang terbuka. Sedangkan, pemerintahan terbuka itu sendiri merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya pemerintahan yang sehat dan bebas dari KKN atau good governance.

Amanat Propenas

Hak atas informasi sesungguhnya telah diakui oleh konstitusi yaitu Pasal 28 F Amandemen Kedua UUD 1945 dan Pasal 20 dan Pasal 21 TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM. Sebelumnya, berbagai peraturan perundangan nasional telah mengakui hak publik atas informasi diantaranya, UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang dan UU No.41/1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sebagai puncak dari pengakuan normatif tentang perlunya hak publik atas informasi, Program Pembangunan Nasional (Propenas) telah memberikan mandat kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun Undang-undang tentang Kebebasan Mendapatkan Informasi dan Transparansi.

Koalisi memperjuangkan diundangkannya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik karena dinilai akan mengakselerasi terwujudnya pemerintahan yang terbuka. Menurut Koalisi, paling tidak ada tiga manfaat yang diberikan oleh pemerintahan yang terbuka.

Pertama, penyimpangan dan kecurangan dalam pengalokasian dana publik menjadii sangat sulit dilakukan. Kedua, keterbukaan akan mempercepat masyarakat menjadii cerdas dan kritis. Dan yang ketiga, kebijakan publik menjadi responsif dan aspiratif. Karena semuanya dibuka, masyarakat dimungkinkan untuk berpartisipasi dan mempengaruhi keputusan publik tersebut.

Manfaat-manfaat tersebut tentu saja tidak sekadar mengutungkan pers, seperti yang dikatakan Astrid, namun juga masyarakat secara keseluruhan. Memandang kebebasan informasi sebagai suatu pemborosan, juga bisa dianggap sebagai penilaian yang kurang tepat.

Pasalnya, UU tentang kebebasan untuk memperoleh informasi telah dikemangkan di berbagai negara, baik di Eropa, Amerika, Asia, maupun Afrika. Sebut saja, Freedom of Information Act milik Inggris (2000), The Freedom of Information Act di Amerika Serikat (1996), Official Information Act di Thailand (1997), serta di Afrika Selatan dengan Promotion of Acces to Information Act (2000).

Koalisi untuk Kebebasan Informasi merupakan aliansi sejumlah organisasi non pemerintah antara lain, ICEL, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Aliansi Jurnalis Independen, serta ISAI.

Tags: