Manfaat, Risiko, dan Tantangan Disrupsi Teknologi dalam Kenotariatan
Terbaru

Manfaat, Risiko, dan Tantangan Disrupsi Teknologi dalam Kenotariatan

Disrupsi teknologi di bidang kenotariatan tidak harus menghilangkan peran notaris, tetapi malah bisa merevolusi cara kerja notaris dan membuka peluang baru. Dengan penyesuaian dan pelatihan yang tepat, notaris dapat tetap relevan dan menjadi aktor penting dalam ekosistem digital kenotariatan masa depan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Notaris Prita Miranti Suyudi. Foto: Tangkapan layar YouTube
Notaris Prita Miranti Suyudi. Foto: Tangkapan layar YouTube

Teknologi telah mengubah cara manusia bekerja dan melakukan berbagai aktivitas. Disrupsi teknologi merujuk pada perubahan besar yang mengganggu cara konvensional/tradisional melakukan sesuatu dan memperkenalkan metode baru yang lebih efisien dan efektif. Kenotariatan, yang memainkan peran penting dalam legalitas berbagai dokumen dan transaksi, tidak luput dari pengaruh teknologi ini.

Hal tersebut disampaikan oleh notaris Prita Miranti Suyudi dalam Seminar Online bertajuk “100 Pembicara Alumni Notariat UI, 100 Tahun Untuk Negeri,” Kamis (27/6). Menurut dia, disrupsi yang terjadi dalam sektor kenotariatan sudah sampai pada akta autentik, verifikasi, advis hukum, penyimpanan dokumen dan administrasi hukum.

Prita menyebut tiga bentuk disrupsi teknologi yang mempengaruhi cara kerja kenotariatan. Pertama, Digital Signature (Indonesia) dan e-Notarization. Tanda tangan digital adalah mekanisme kriptografi yang dapat digunakan untuk memverifikasi keaslian dan integritas dokumen elektronik. E notarization memungkinkan notaris untuk menyaksikan dan menandatangani dokumen secara elektronik, memberikan efisiensi waktu dan akses yang lebih mudah.

Baca Juga:

Kedua, blockchain. Blockchain adalah teknologi buku besar terdistribusi di mana data dicatat dalam rantai blok yang aman dan transparan.

“Dalam kenotariatan, blockchain dapat digunakan untuk menyimpan dan memverifikasi catatan dokumen, mengurangi risiko penipuan, mempercepat proses verifikasi, dan memberikan transparansi penuh,” katanya.

Ketiga, Artificial Intelligence (AI). AI dapat digunakan untuk otomatisasi analisis dokumen yang sebelumnya memakan waktu, seperti pengecekan legalitas dan integritas dokumen. Dengan AI, notaris dapat memusatkan perhatian pada tugas yang lebih kompleks dan strategis, sementara pekerjaan rutin dilakukan oleh mesin.

Prita mengakui keberadaan teknologi memberikan manfaat kepada notaris. Mulai dari efisiensi, di mana teknologi membuat proses lebih cepat dan meminimalisir kesalahan manusia. Kemudian aksesibilitas yang memudahkan akses layanan notaris dan juga keamanan karena adanya peningkatan keamanan data dan pengesahan dokumen melalui teknologi modern.

Namun di sisi lain, ada tantangan dan risiko tersendiri. Seperti dari sisi keamanan dan privasi, di mana adanya risiko terhadap keamanan data pribadi dan privasi. Lalu dari sisi regulasi yakni bagaimana regulasi dan hukum mengikuti perkembangan teknologi, dan juga adopsi teknologi yang menjadi tantangan dalam mengadopsi teknologi baru, baik dari sisi notaris maupun klien.

Melihat disrupsi teknologi di bidang kenotariatan maka Prita menilai diperlukan penyesuaian kurikulum dalam kenotariatan. Misalnya pengenalan teknologi digital dalam kenotariatan, blockchain dan smart contracts, kurikulum hukum teknologi dan data, praktikum dan simulasi teknologi, pengembangan keterampilan teknis dan digital, manajemen dan penerapan teknologi dalam Kenotariatan, kerjasama dengan industri teknologi, seminar dan workshop teknologi hukum, dan kewaspadaan terhadap etika dan integritas.

“Dengan perubahan dan penyesuaian kurikulum, program magister kenotariatan dapat menghasilkan lulusan yang tidak hanya memahami hukum kenotariatan tradisional, tetapi juga mampu mengintegrasikan dan memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan aksesibilitas layanan kenotariatan,” imbuhnya.

Lebih lanjut Prita menjelaskan bahwa perjalanan disrupsi teknologi di bidang kenotariatan akan melibatkan tahap-tahap progresif mulai dari adopsi teknologi dasar seperti tanda tangan digital, hingga potensi penggunaan penuh blockchain dan smart contracts. Regulasi yang adaptif, keamanan teknologi yang kuat, serta edukasi kepada stakeholder akan menjadi kunci sukses dalam transisi ini.

“Meski ada prediksi jangka waktu, perubahan ini bergantung pada seberapa cepat regulator, notaris, dan masyarakat dapat beradaptasi terhadap teknologi baru,” ucap Prita.

Menurutnya, disrupsi teknologi di bidang kenotariatan tidak harus menghilangkan peran notaris, tetapi malah bisa merevolusi cara kerja notaris dan membuka peluang baru. Dengan penyesuaian dan pelatihan yang tepat, notaris dapat tetap relevan dan menjadi aktor penting dalam ekosistem digital kenotariatan masa depan.

Notaris dapat menduduki peran sebagai pengawas digital, penasihat hukum, mediator sengketa, pengembang dan auditor kontrak pintar, kurator data digital, serta edukator dalam bidang hukum dan teknologi. Adaptasi ini bisa memperkuat posisi mereka dalam menjaga integritas dan keamanan transaksi hukum di era digital.

“Notaris masa depan perlu kompeten dalam teknologi digital, hukum teknologi, dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan dalam ekosistem legal-tech,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait