Malpraktik Hukum Ukurannya Standar Profesi, Bukan Kerugian Klien
Kolom

Malpraktik Hukum Ukurannya Standar Profesi, Bukan Kerugian Klien

Di Amerika, seringkali tuduhan malpraktik dilayangkan oleh klien kepada pengacaranya hanya karena buruknya komunikasi di antara mereka.

Bacaan 2 Menit
Malpraktik Hukum Ukurannya Standar Profesi, Bukan Kerugian Klien
Hukumonline

Berita Utama Hukumonline tanggal 24 Oktober 2013 dengan judul “Dinilai Malpraktik, Firma Hukum Digugat ke Pengadilan” cukup menarik perhatian, karena gugatan semacam ini akan menimbulkan dampak yang serius bagi pelaksanaan profesi hukum. Dalam pemberitaan itu, suatu law firm besar dengan reputasi yang baik digugat oleh kliennya, karena dianggap telah melakukan malpraktik. 

Hal yang dianggap sebagai malpraktik menurut berita tersebut adalah law firm itu tidak melakukan pengecekan sehingga untuk objek jaminan yang sama terdapat sertifikat fidusia ganda, lalai melakukan pengecekan bank garansi yang diduga palsu, dan yang terakhir lawyer asing memberikan pendapat hukum mengenai hukum Indonesia.

Tulisan ini dibuat tanpa pretensi untuk terlibat dalam substansi perkara, namun semata-mata merupakan ungkapan keprihatinan akan “musibah” yang dialami oleh rekan sejawat pengemban profesi hukum. Orang awam sering menganggap bahwa malpraktik terjadi, jika akibat dari suatu nasihat hukum atau pelaksanaan pekerjaan seorang advokat, klien mengalami kerugian. Padahal, kerugian yang dialami klien mungkin saja timbul sebagai akibat dari kelalaian klien sendiri, ataupun karena iktikad buruk dari pihak lain.

Situs online dari US Legal Dictionary (uslegal.com) mendefinisikan legal malpractice sebagai “the failure of an attorney to follow the accepted standards of practice of his or her profession, resulting in harm to the client”. Jadi, malpraktik hukum itu hanya terjadi jika ada dua unsur yang dipenuhi. Unsur tersebut adalah adanya tingkah laku atau praktik yang sifatnya sub-standard (di bawah standar profesi), dan yang kedua akibat dari praktik hukum yang sub-standard itu klien menderita kerugian. Dari segi pembuktian mengenai kausalitas (causation), harus pula dibuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh klien adalah akibat langsung dari kelalaian Advokat, dan bukannya disebabkan oleh kelalaian klien sendiri atau iktikad buruk pihak ketiga.

Karena malpraktik hukum ukurannya standar profesi, maka dalam praktik di negara-negara maju, malpraktik hukum biasanya berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Advokat terhadap kode etik profesinya, selain masalah klasik yang berkaitan dengan professional negligence (kelalaian dalam menjalankan profesi). 

Di negara yang masyarakatnya memiliki kesadaran hukum tinggi seperti Amerika Serikat, seorang Advokat bisa dituduh malpraktik jika melanggar apa yang disebut Attorney-Client Privilege (Hubungan Istimewa Advokat-Klien), terutama dalam hal yang berkaitan dengan menjaga kerahasiaan informasi dan dokumen milik klien yang dipercayakan kepada Advokat. Jika diukur dengan standar Amerika mengenai Attorney-Client Privilege, seharusnya ada beberapa Advokat Indonesia yang bisa dituduh malpraktik ketika di media cetak maupun elektronik mengungkapkan informasi atau rahasia kliennya secara terbuka, padahal informasi itu bisa mencelakakan kliennya (self- incriminating). Kecenderungan Advokat membeberkan informasi mengenai kliennya di tayangan Infotaintment, menurut standar Amerika bisa pula dikategorikan sebagai malpraktik.

Kembali ke kasus yang diberitakan oleh Hukumonline, meskipun benar bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akan memainkan peran yang besar dalam menentukan standar profesi guna menentukan ada tidaknya malpraktik hukum, namun tidak ada kewajiban bagi klien untuk terlebih dahulu mengadu ke Dewan Kehormatan PERADI sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.

Terlepas dari hak klien untuk langsung mengajukan gugatan ke pengadilan, dari segi hukum pembuktian nampaknya akan lebih mudah jika sebelumnya sudah ada putusan Dewan Kehormatan PERADI yang menyatakan bahwa seorang Advokat telah lalai dalam menjalankan profesinya, sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut ganti kerugian. Masalah prosedural semacam ini tentu saja tergantung kepada klien untuk memutuskannya, mengingat masing-masing pilihan ada kelebihan dan kekurangannya.

Aspek lain yang menarik dari kasus malpraktik hukum yang diberitakan oleh Hukumonline ini adalah sejauh mana kewajiban seorang Advokat dalam melakukan pemeriksaan dokumen berkaitan dengan pemberian pendapat hukum. Apakah seorang Advokat memiliki kewajiban untuk memeriksa kebenaran formal dan material dari suatu dokumen, ataukah cukup memeriksa kebenaran formal belaka?

Misalnya saja, dalam suatu kegiatan legal audit (pemeriksaan hukum) guna mengakuisisi suatu perusahaan, pemilik lama perusahaan menyatakan bahwa perusahaan memiliki aset berupa tanah dan bangunan, dan ketika diperiksa dibuktikan adanya sertifikat tanah yang sesuai. Persoalannya, apakah ada kewajiban Advokat yang melakukan legal audit untuk memastikan bahwa sertifikat tanah itu adalah asli, atau apakah tanah itu sekarang secara de facto masih dikuasai oleh perusahaan yang akan diakuisisi?

Standar profesi yang sekarang berlaku adalah jika tidak secara tegas ditentukan lain dalam lingkup kerja (scope of work), maka tugas Advokat hanyalah memeriksan kebenaran formal dan tidak memeriksa kebenaran material.  Jadi, jika perusahaan yang akan diakuisisi menyatakan memiliki aset berupa tanah, dan dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah, maka perusahaan itu dianggap benar memiliki tanah sebagaimana yang diklaimnya.

Standar profesi yang timbul dalam praktik mengenai kewajiban Advokat memeriksa kebenaran formal dalam melakukan legal audit yang normal, dan beberapa hal lain seperti standar profesi dalam praktik litigasi, seharusnya dibakukan oleh PERADI sebagai standar profesi yang berlaku untuk Advokat anggota PERADI. Hal ini perlu untuk mencegah adanya klien yang tidak puas dengan layanan yang diberikan oleh Advokat dan kemudian menggugat Advokat dengan dalih melakukan malpraktik, meskipun Advokat tersebut sebenarnya tidak melakukan kelalaian yang dituduhkan.

Di Amerika, seringkali tuduhan malpraktik dilayangkan oleh klien kepada pengacaranya hanya karena buruknya komunikasi di antara mereka. Pengacara kadang karena kesibukannya lupa mengabarkan kasus yang sedang ditanganinya kepada kliennya, dan klien yang merasa kepentingannya tidak diurus ini seringkali mengadu ke Bar Association (Organisasi Advokat) dan menuduh pengacaranya telah melakukan malpraktik. Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara Advokat dan klien nampaknya juga perlu diperhatikan guna mencegah adanya gugatan malpraktik dari klien kepada pengacaranya.

Kembali kepada topik mengenai ukuran malpraktik hukum, kerugian yang diderita klien bukan merupakan faktor utama untuk bisa menyatakan seorang Advokat melakukan malpraktik, mengingat professional negligence hanya bisa ditentukan berdasarkan standar profesi yang berlaku untuk profesi tersebut. Kasusnya akan berbeda jika kelalaian yang dilakukan oleh Advokat sifatnya “res ipsa loquitur” (thing speaks for itself), sehingga tidak diperlukan lagi pembuktian yang rumit.

Misalnya saja, jika seorang Advokat lalai untuk mengajukan banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, atau lalai memasukkan memori kasasi sehingga kasasinya dinyatakan tidak dapat diterima, maka kelalaian semacam ini adalah kelalaian yang nyata sehingga tidak diperlukan lagi pembuktian lebih lanjut.

Dalam kasus yang diberitakan oleh Hukumonline ini, mengingat tuduhan melakukan malpraktik berkaitan dengan pekerjaan corporate lawyers, maka standar profesi yang diterapkan haruslah standar profesi yang berlaku di kalangan corporate lawyers dalam menentukan apakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh law firm yang dituduh malpraktik itu bersifat sub-standard ataukah sebetulnya sudah sesuai dengan standard dan/atau praktik yang berlaku di kalangan corporate lawyers.  Dalam hal ini, keterangan ahli dari seorang senior corporate lawyer  sangat diperlukan guna menentukan ada tidaknya malpraktik.

Jika corporate lawyer  lain dalam situasi yang sama akan melakukan hal-hal yang sama dengan yang dilakukan oleh corporate lawyer dari law firm yang dituduh malpraktik tersebut, maka dalam kasus ini tidak ada malpraktik hukum meskipun klien mengalami kerugian. Lagipula, kalau dapat dibuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh klien disebabkan oleh iktikad buruk mitra bisnisnya, maka meskipun diasumsikan ada kelalaian (faktanya tentu saja harus dibuktikan di pengadilan), law firm tersebut tetap tidak dapat dihukum membayar ganti kerugian mengingat tidak ada hubungan kausal antara kerugian yang diderita klien dengan kelalaian pengacaranya.

Sebagai penutup, dalam era keterbukaan informasi sekarang ini, sulit dicegah munculnya kecenderungan untuk orang menjadi semakin litigious (mudah menggugat). Namun demikian, kecenderungan untuk klien menggugat Advokat dengan dalil melakukan malpraktik dapat menimbulkan implikasi negatif berupa makin mahalnya biaya jasa hukum. Jika law firm merasa harus melindungi diri dengan membeli polis asuransi untuk menanggung professional liability, maka konsumen juga yang ujungnya akan dirugikan, karena biaya asuransi itu pasti akan dibebankan kepada legal fee yang harus dibayar oleh klien itu sendiri.

*Penulis adalah Advokat dan Managing Partner Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH). Tulisan ini sepenuhnya adalah pendapat pribadi penulis.

Tags:

Berita Terkait