Maklumat Kapolri Dinilai Batasi Hak Memperoleh Informasi yang Dilindungi Konstitusi
Utama

Maklumat Kapolri Dinilai Batasi Hak Memperoleh Informasi yang Dilindungi Konstitusi

Aliansi mengingatkan seharusnya setiap tindakan pembatasan hak semestinya tunduk dan mengacu pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Polri menegaskan Maklumat ini hanya untuk mencegah produksi konten, penyebarluasan informasi yang tak bertanggung jawab, dan bertentangan dengan konstitusi. Khusus pekerja jurnalistik tak terikat dengan Maklumat tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Simpatisan anggota FPI saat berunjuk rasa di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Simpatisan anggota FPI saat berunjuk rasa di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) telah mengeluarkan Maklumat Nomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) yang ditandatangani 1 Januari 2021. Polri beralasan, Maklumat ini untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan serta keselamatan masyarakat pasca dikeluarkan keputusan bersama tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan FPI.

Kegiatan FPI dilarang berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor: 220- 4780 Tahun 2020; M.HH 14.HH.05.05 Tahun 2020; 690 Tahun 2020; 264 Tahun 2020; KB/3/XII/2020; 320 Tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

Ada empat hal yang disampaikan dalam Maklumat ini, salah satunya dinilai tak sejalan dengan semangat demokrasi yang menghormati kebebasan memperoleh informasi dan bisa mengancam jurnalis dan media yang tugas utamanya mencari informasi dan menyebarluaskannya kepada publik. Hal ini tercantum dalam Maklumat Kapolri Pasal 2d yang menyatakan "Masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.”

Salah satu yang paling kontroversial perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial sebagaimana diatur poin 2d yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 Maklumat ini,” demikian siaran pers Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil yang diterima wartawan, Minggu (3/1/2021). (Baca Juga: Ragam Pandangan Hukum Soal Pelarangan Kegiatan FPI)

Aliansi terdiri dari Elsam, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Masyarakat, Kontras, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Imparsial, dan Safenet.

Ketua YLBHI Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menilai sejumlah poin dalam Maklumat itu justru membatasi hak asasi manusia (HAM) untuk memperoleh informasi. Baginya, hak memperoleh akses konten internet menjadi bagian dari hak atas informasi yang dilindungi konstitusi, khususnya Pasal 28F UUD 1945. Demikian pula Pasal 14 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dia mengingatkan setiap tindakan pembatasan hak semestinya tunduk dan mengacu pada kaidah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Menurut Aliansi, kata Isnur, pembatasan hak informasi yang notabene menjadi bagian dari kebebasan berekspresi pun tunduk terhadap mekanisme sebagaimana diatur Pasal 19 ayat (3) International Convenant on Civil and Political Right atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Apalagi KIHSP telah diadopsi atau diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang PengesahanInternational Convenant on Civil and Political Right.

Menurutnya, terdapat tiga syarat dalam memastikan legitimasi tindakan pembatasan hak yang dibolehkan. Pertama, threepart test (tiga uji elemen) yang mengharuskan setiap pembatasan. Pengaturan pembatasan diatur oleh hukum (prescribed by law). “Oleh sejumlah ahli ditafsirkan pembatasan mesti melalui UU atau putusan pengadilan,” kata Isnur.  

Kedua, dalam mencapai tujuan yang sah (legitimate aim) yakni keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain. Ketiga, pembatasan benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality). Prinsip ini sesungguhnya untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan,” ujarnya.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin melanjutkan merujuk Komentar Umum No. 34 Tahun 2011 tentang Kebebasan Berekspresi, intinya keseluruhan perlindungan hak yang dijamin ketentuan Pasal 19 KIHSP termasuk menjangkau konten media internet. Poin ini sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, pun melekat saat mereka online.

Menurutnya, perlindungan khususnya kebebasan berekspresi berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih. Apalagi diperkuat dengan terbitnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018. Intinya, mengingatkan betapa pentingnya penghormatan HAM dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. “Dengan pertimbangan di atas, pertanyaannya kemudian apakah Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 telah memenuhi persyaratan prescribed by lawlegitimate aim, dan necessity?

Bagi Ade, pijakan terbitnya Maklumat Kapolri yang materinya berisi perintah pembatasan yang hanya menyandarkan pada SKB 6 Menteri/Kepala Lembaga/Badan dinilai jauh dari memenuhi persyaratan sebagaimana diatur hukum. Sebuah SKB seharusya hanya suatu penetapan yang berbentuk keputusan (beschikking). Dengan begitu, materi muatan normanya bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai (einmalig).

Karena itu, Maklumat Kapolri tidak semestinya bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menenus (dauerhaftig). “Maklumat semestinya hanya ditujukan bagi internal anggota Polri yang memuat perintah dari Kapolri kepada jajarannya. Pasalnya wadah hukumnya (Maklumat, red) tak memungkinkan mengatur materi muatan yang memuat larangan, apalagi pembatasan hak-hak publik,” katanya.

Mencabut Pasal 2d Maklumat

Sementara Komunitas Pers mendesak Kapolri mencabut Pasal 2d Maklumat tersebut karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi, tak senafas dengan UUD 1945, dan bertentangan dengan Undang Undang Pers. Maklumat ini mengancam tugas jurnalis dan media, yang karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI.

Hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Pasal 4 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan, "(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi." Isi maklumat itu, akan memproses siapa saja (semua warga negara, red) yang menyebarkan informasi tentang FPI, juga bisa dikategorikan sebagai “pelarangan penyiaran”, yang itu bertentangan dengan Pasal 4 ayat 2 UU Pers.

“Menghimbau pers nasional untuk terus memberitakan pelbagai hal yang menyangkut kepentingan publik seperti yang sudah diamanatkan oleh UU Pers,” demikian bunyi keterangan pers Komunitas Pers, Sabtu (2/1/2021) kemarin.

Keterangan pers Komunitas Pers ini ditandatangani Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; Atal S. Depari, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat; Hendriana Yadi, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI); Hendra Eka, Sekjen Pewarta Foto Indonesia (PFI); Kemal E. Gani, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred); Wenseslaus Manggut, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Seperti dikutiop sejumlah media, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Argo Yuwono memastikan, Maklumat tentang pelarangan menyebarkan informasi terkait FPI tersebut tak diarahkan untuk menghalangi kebebasan pers. “Dalam maklumat tersebut, di poin 2D, tidak menyinggung media,” kata Argo dalam penjelasannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (3/12/20020).

Argo menerangkan, poin 2D Maklumat Kapolri, menargetkan sarana penyampaian informasi di luar bidang pers. Dia menegaskan Maklumat tersebut hanya untuk mencegah produksi konten, dan penyebarluasan informasi yang tak bertanggung jawab, dan bertentangan dengan konstitusi. Khusus pekerja jurnalistik, kata Argo, tak terikat dengan Maklumat tersebut.

“Sepanjang media memenuhi kode etik jurnalistik, media, dan penerbitan pers, tidak perlu risau. Karena, pers dan media, dilindungi UU Pers. Kebebasan berpendapat, tetap mendapat jaminan konstitusional,” terang Argo.

Akan tetapi, perkembangan platform digital, memberi ruang produksi konten, dan penyebaran informasi yang tak bertanggung jawab. Maklumat Kapolri tersebut mengantisipasi hal tersebut. “Dalam poin 2D tersebut, jika digunakan konten yang diproduksi dan disebarluaskan bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, dan ideologi bernegara Pancasila, mengancam NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, seperti adu domba, provokatif, perpecahan, dan SARA, maka negara harus hadir melakukan penindakan, dan pencegahan.”

Khusus pekerja jurnalistik, dikatakan Argo, tak ada kekhawatiran, karena produksi konten, dan penyebaran informasi yang dilakukan, mengacu pada konstitusi. “Selama konten yang diproduksi, dan penyebarannya tidak bertentangan dengan sendi-sendiri berbangsa, dan bernegara, itu dapat dibenarkan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait