Maju-mundur Bagasi Berbayar Maskapai Penerbangan
Berita

Maju-mundur Bagasi Berbayar Maskapai Penerbangan

Maskapai yang telah menerapkan bagasi berbayar diminta untuk menunda kebijakan tersebut hingga terbit aturan baru.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Langkah maskapai penerbangan menerapkan kebijakan bagasi berbayar menimbulkan polemik publik saat ini. Meski tidak melanggar dari sisi aturan, ternyata kebijakan maskapai penerbangan khususnya kategori penerbangan murah atau no frills tetap menimbulkan penolakan. Pasalnya, kebijakan ini dianggap memberatkan masyarakat karena semakin besarnya biaya penerbangan yang harus ditanggung usai kenaikan harga tiket pesawat baru-baru ini. 

 

Aturan mengenai bagasi berbayar ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Pasal 22 aturan tersebut menyatakan bagasi tercatat pada penerbangan no frills dapat dikenakan biaya. Sedangkan, bagasi tercatat kelompok full service paling banyak 20 kilogram dikenakan biaya dan kelompok medium service paling banyak 15 kilogram.

 

Kementerian Perhubungan menyatakan akan mengevaluasi penerapan bagasi berbayar ini. Kebijakan ini diambil setelah bertemu dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR yang mendesak menunda penerapan bagasi berbayar pada maskapai penerbangan. Salah satu maskapai yang diminta untuk menunda penerapan bagasi berbayar ini yaitu Citilink, maskapai penerbangan plat merah.

 

“Kami akan lakukan kajian atau evaluasi terhadap semua aturan mulai dari PM No.14 Tahun 2016 sampai PM 185/2015,” jelas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Polana B Pramesti, Selasa (29/1) dalam keterangan persnya. Evaluasi tersebut dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara konsumen dengan maskapai penerbangan sehingga tidak memberatkan salah satu pihak.

 

(Baca Juga: Dasar Hukum Pengenaan Biaya Bagasi oleh Maskapai Penerbangan)

 

Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Samadi menjelaskan pihanya akan mengatur kembali pemberlakuan bagasi berbayar bagi penerbangan berbiaya hemat. "Angkutan barang yang di maskapai, kami akan membuat PM-nya, tiga minggu akan kami selesaikan," kata Budi seperti dikutip dari Antara, Kamis (31/1).

 

Budi mengatakan dalam peraturan tersebut juga akan diatur mengenai tarif batas dan bawah bagasi. "Formulasinya seperti apa nanti akan kami tentukan. Harus harmonisasi termasuk dengan pelaku-pelaku usaha juga. Esensinya demikian (ada tarif batas atas)," ujarnya. 

 

(Baca Juga: 3 Rekomendasi YLKI Soal Gonjang-ganjing Harga Tiket Pesawat)

 

Namun, Budi mengaku tidak meminta maskapai lain seperti Lion Air dan Wings Air menunda kebijakan bagasi berbayar melainkan hanya memberikan potongan harga. "Kalau yang menunda Citilink, kalau Lion Air akan kami minta memberikan diskon," katanya. 

 

Ia menjelaskan pembuatan PM tersebut agar masyarakat tidak merasa terbebani dengan adanya pemberlakuan tarif bagasi penerbangan. "Itu adalah pembatasan-pembatasan yang mengakomodir, memikirkan masyarakat itu agar tidak berat," pungkasnya. 

 

Seperti diketahui, kebijakan bagasi berbayar ini merupakan salah satu cara dari maskapai penerbangan untuk mengurangi tekanan finansial akibat fluktuasi nilai tukar dan terus meningkatnya biaya operasional. Kebijakan bagasi berbayar ini pertama kali diumumkan Lion Air Group yang memiliki maskapai Lion Air dan Wings Air yang terhitung penerapannya sejak 8 Januari 2019.  Tarif bagasi tersebut juga disesuaikan dengan rute penerbangan.

 

Hukumonline.com

Sumber: twitter Ditjen Perhubungan Udara

 

Muncul Penolakan

Kehadiran bagasi berbayar ini tentunya memberatkan bagi publik yang selama ini mendapatkan fasilitas gratis selain bagasi kabin. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA), Asnawi Bahar menjelaskan kebijakan bagasi berbayar justru menimbulkan risiko bagi industri penerbangan domestik.

 

Dia mengkhawatirkan kebijakan ini akan berdampak terhadap turunnya jumlah penumpang maskapai dan wisatawan domestik. Selain itu, turunnya jumlah pelancong ini juga akan berdampak buruk terhadap industri kecil dan menengah di daerah-daerah wisata.

 

“Kebijakan bagasi berbayar ini akan berdampak luas karena menimbulkan cost sendiri bagi wisatawan. Kemudian, kebijakan ini juga membebani pelaku UMKM di daerah-daerah karena wisatawan tidak belanja karena harus membayar lagi kargo saat naik pesawat,” jelas Asnawi kepada hukumonline.

 

Tidak hanya itu, Asnawi juga mengkhawatirkan terjadinya kebijakan bagasi berbayar ini justru menguntungkan bagi negara-negara lain. Sebab, dia menjelaskan rute-rute internasional pada maskapai penerbangan kategori no-frills masih menerapkan kebijakan bagasi bebas biaya. Terlebih lagi, harga tiket rute-rute penerbangan internasional seperti Thailand dan Malaysia tidak jauh berbeda dengan tiket domestik.

 

“Wisatawan akan lari belanjanya ke luar negeri. Tiket ke luar negeri seperti Thailand dan Malaysia murah dan tidak menerapkan bagasi berbayar. Apalagi biaya hidup di sana murah. Ini akan berdampak besar kepada industri pariwisata,” jelas Asnawi.

 

Sebelumnya, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyatakan pengenaan bagasi berbayar adalah kenaikan tarif pesawat secara terselubung. Pengenaan bagasi berbayar berpotensi melanggar ketentuan batas atas atas tarif pesawat. Menurutnya, Kemenhub harus menunda pemberlakuan bagasi berbayar, tetapi juga mengatur besaran dan mengawasi pelaksanaan bagasi berbayar tersebut.

 

“Jika tak diatur diawasi, pengenaan bagasi berbayar adalah tindakan semena-mena maskapai, karena hal tersebut bisa menyundul tarif batas atas bahkan menyundul tarif maskapai yang selama ini menerapkan full services policy, seperti Garuda, dan Batik. Sementara service yang diberikan Lion Air, dan nantinya Citilink masih berbasis Low Cost Carrier. Ini jelas tindakan tidak adil bagi konsumen,” jelas Tulus. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait