Majelis Rakyat Papua ‘Gugat’ Perubahan UU Otsus Papua
Terbaru

Majelis Rakyat Papua ‘Gugat’ Perubahan UU Otsus Papua

Majelis Panel MK meminta pemohon memperjelas objek permohonannya dan memperbaiki kedudukan hukum pemohon sebagai MRP yang dinilainya belum dicantumkan dasar hukumnya dalam permohonan.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Belum lama disahkan pembentuk UU, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Seperti dikutip laman MK, sidang perdana permohonan ini digelar pada Rabu (22/9/2021). Para pemohon memohon pengujian beberapa pasal, seperti Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua yang dinilainya melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP). 

Para pemohon representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya; pemberdayaan perempuan; dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU ini.

Dalam persidangan yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP).

Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru yang diatur Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua terkait Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan DPR Kabupaten/Kota di Papua sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang penghapusan pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UU No.2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Timotius dalam persidangan secara daring. (Baca Juga: Melihat 7 Substansi RUU Otsus Papua yang Disahkan Jadi UU)

Timotius menyebutkan dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan perubahan beberapa pasal atas UU No.21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua.

“Oleh karenanya Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat tersebut telah melanggar konstitusi, UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar negara,” tegasnya.

Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2); Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2); Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4); Pasal 38 ayat (2); Pasal 59 ayat (3); dan Pasal 68A; dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No.2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua”.

“Menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam UU No.21 Tahun 2001. Berikutnya, menyatakan norma Pasal 7 UU No.21 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usulan perubahan undang-undang ini wajib diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP,” papar Stefanus Roy Rening selaku kuasa hukumnya.

Memperjelas objek permohonan

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Arief Hidayat meminta agar pemohon menyederhanakan dan meringkas permohonannya. Ia juga meminta agar pemohon memperjelas objek permohonannya.

“Ini objek permohonannya ada beberapa yang perlu disempurnakan atau diperbaiki. Dalam bacaan saya, dalam permohonan ini tidak konsisten menyebut dari awal sampai akhir bagian mana yang diujikan. Apakah itu pasal, apakah itu ayat, apakah itu frasa? Coba secara konsisten supaya tadi meskipun masih susah dimengerti, tapi Mahkamah kadang-kadang masih dapat dimengerti apa yang hakikatnya diinginkan oleh Pemohon. Tapi kalau sampai tidak bisa dimengerti, kemudian (Mahkamah) bisa berkesimpulan bahwa permohonan ini kabur,” kata Arief.

Sementara itu, Anggota Majelis Panel lain Enny Nurbaningsih menyarankan agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum yang dinilainya belum dicantumkan dasar hukumnya dalam permohonan. “Pertanyaan saya juga sama nanti untuk mempertegas, apa dasar hukumnya? Apa yang menguatkan mereka bisa mewakili keberadaan kelembagaan MRP tersebut untuk maju di depan forum pengadilan, di dalam dan luar pengadilan? Apa dasarnya yang menguatkan itu? Karena dalam undang-undang tidak ada (MRP, red), itu harus ada dasar yang kuat untuk menunjukkan itu,” kata Enny menyarankan.

Tags:

Berita Terkait