Majelis Kritisi Argumentasi Pemerintah-DPR dalam Uji UU MD3
Berita

Majelis Kritisi Argumentasi Pemerintah-DPR dalam Uji UU MD3

Mulai keterangan DPR yang berbeda dengan Pemerintah, Majelis mempertanyakan hubungan DPR dan Kepolisian, hingga pemerintah dinilai tidak tegas.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Permohonan ini diajukan empat pemohon yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK); Partai Solidaritas Indonesia (PSI); Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins; Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang.

 

Ketiga pasal tersebut mengatur hak DPR memanggil paksa dengan bantuan polisi; melaporkan semua elemen masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR; dan hak imunitas ketika ada dugaan tindak pidana di luar tugasnya sebagai anggota DPR yang “menghidupkan” kembali peran Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam UU MD3 itu.   Sidang kali ini mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.

 

Dalam keterangannya, keempat pemohon dianggap tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum). Misalnya, Pemohon FKHK belum pernah melakukan kajian konstitusi sesuai maksud didirikannya forum itu dan kemudian memberi masukan sebagai bentuk aspirasi atas perubahan UU MD3 itu

 

“Para Pemohon tidak dapat membuktikan telah dirugikan atas perubahan UU MD3. Sehingga tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan uji materi ini,” ujar Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (11/4/2018).

 

Ia menjelaskan Pemohon PSI tidak menjelaskan kerugian konstitusionalnya. Pemohon ini hanya menyampaikan kekhawatirannya terhadap berlakunya UU MD3 ini. Terlebih, pemohon sebagai partai politik belum dipilih oleh rakyat berarti belum dapat dikatakan mewakili rakyat.

 

Pemohon Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins adalah penulis, yang tidak ditemukan aspirasi melalui tulisan pemohon yang selama ini mengkritik DPR dalam websitenya. “Jadi, pemohon belum jelas terkait tulisan kritis yang dapat dirugikan oleh berlakunya UU MD3,” sebutnya.

 

Sementara Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang, meski selama ini PMII menulis beberapa pers rilis di website PMII Pusat ataupun PMII cabang daerah dan berbagai aksi menolak perubahan UU MD3, namun itu hanyalah rasa ketakutan saja. “Buktinya sampai saat ini PMII belum pernah diproses hukum oleh DPR,” kata dia. (Baca Juga: Giliran PB PMII Uji Revisi UU MD3)

 

Menurut dia, Pasal 73 UU MD3 disebutkan polisi diwajibkan memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun tidak datang. Dengan begitu, DPR bisa memanggil paksa pihak yang tidak mau datang saat dipanggil DPR. Pemanggilan paksa oleh penegak hukum hanya dilakukan dalam rangka penegakan hukum suatu tindak pidana.

 

Namun, pemanggilan paksa oleh DPR dilakukan dalam rangka melakukan fungsi konstitusional DPR. Fungsi konstitusional DPR yang disebutkan Arteria, yakni DPR sebagai wakil rakyat dan terkait dengan pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai representasi rakyat dalam menjalankan kedaulatan rakyat.

 

"DPR sebagai lembaga penyelenggara kedaulatan rakyat memiliki fungsi yang sangat penting dan besar berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945," kata dia.

 

Ada dalam UU sebelumnya

Berbeda dengan DPR, Pemerintah memiliki pandangan lain. Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Ninik Hariwanti mengatakan empat pasal tersebut mengatur pemanggilan paksa, penyanderaan, dan penambahan wewenang MKD. "Pasal yang diuji merupakan norma yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR sesuai Pasal 20 ayat (2) UUD 1945," kata Ninik.

 

Ninik mengingatkan berbagai pasal yang dipersoalkan tersebut telah ada dalam aturan (UU) sebelumnya. Misalnya, klausul “pemanggilan paksa dan penyanderaan” dalam Pasal 73 UU MD3 sebenarnya bukan hal baru. Ketentuan tersebut juga telah diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 72 UU Nomor 27 Tahun 2009, dan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

 

"Pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam UU a quo sama dengan ketentuan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam UU MD3 sebelumnya. Bedanya, UU a quo lebih luas mengatur mengenai mekanisme pemanggilan paksa," kata Ninik dalam persidangan.

 

Persoalan mengenai hak imunitas anggota DPR dalam UU MD3 pun sebenarnya telah ada dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Menurut Ninik, hak imunitas diperlukan karena pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR harus diimbangi dengan adanya perlindungan hukum yang memadai dan proporsional.

 

Selain itu, klausul perlunya pertimbangan MKD dan Presiden sebelum penegak hukum memeriksa anggota DPR sehubungan terjadinya tindak pidana juga telah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014. Hanya saja, melalui putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 terkait pengujian Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 yang telah diubah pemeriksaan anggota DPR oleh MKD yang diduga terlibat tindak pidana diganti “persetujuan presiden”. "Sudah diputus MK melalui putusan No. 76/PUU-XII/2014," kata Ninik. 

 

Meski telah sepakat, Ninik mengatakan berbagai pasal yang dipersoalkan bukan merupakan usulan pemerintah. Pemerintah, lanjut Ninik, hanya mengusulkan adanya penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, alat kelengkapan dewan di MKD, serta tugas badan legislasi. "Perlu dibentuk UU aquo guna meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat untuk mengembangkan kehidupan demokrasi," kata Ninik.

 

Majelis mempertanyakan

Menanggapi keterangan DPR dan pemerintah, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menilai UU MD3 ini bersifat organic. Artinya, hanya berfungsi bagi lembaga-lembaga yang diaturnya, seperti MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau lazim disebut UU organisatoris. Namun, UU MD3 ini juga mengatur lembaga eksternal dalam hal ini kepolisian dalam pasal 73 UU MD3.

 

Dalam pasal itu dijelaskan setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR, apabila tiga kali berturut-turut dipanggil tidak merespon maka pemanggilan paksa dilakukan dengan bantuan kepolisian yang ditujukan secara tertulis kepada Kapolri. “Disini apa hubungannya DPR yang memanggil paksa dengan lembaga kepolisian. Tolong ini jelaskan, padahal UU MD3 ini aturan yang bersifat organik,” kata Maria mempertanyakan.

 

“Ini UU-nya untuk siapa? Siapa yang subjek hukum yang dikenai UU ini. Agak Aneh disini, apa hubunganya DPR dengan kepolisian negara?

 

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai kalau keterangan Presiden disandingkan dengan pendapat DPR, ada perbedaan yang mendasar. Menurut Palguna, keterangan yang disampaikan pemerintah seolah-olah mengungkap bahwa awalnya pemerintah mengajukan revisi UU MD3 hanya untuk mengusulkan perluasan kepemimpinan di DPR dan MPR.  “Namun, dari pernyataan pemerintah pula terjadi perluasan usulan hingga merembet kemana-mana.”

 

Hakim Konstitusi lain, Saldi Isra menilai sikap pemerintah pun tidak tegas, tak seperti DPR. Saat menutup pernyataannya, pemerintah hanya meminta agar Mahkamah mengambil keputusan seadil-adilnya. "Pemerintah juga tidak tegas meminta menolak permohonan para pemohon, tidak eksplisit seperti biasanya," kritiknya.

 

Saldi justru menganggap penyataan pemerintah seperti ingin menyampaikan alasan sikap Presiden Jokowi yang menolak menandatangani UU MD3 dengan menyampaikan 10 poin dalam keterangannya. Namun, keterangan pemerintah itu juga dinilai tidak menjawab permohonan para pemohon. (Baca Juga: MK Jamin Independen dan Imparsial Adili Uji UU MD3)

Tags:

Berita Terkait