Majelis Kritik Materi Pengujian UU Sisdiknas
Berita

Majelis Kritik Materi Pengujian UU Sisdiknas

Majelis meminta pemohon memperjelas dan menggali akar persoalan dalam pengujian UU ini.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon didampingi kuasanya dalam sidang perdana Pengujian UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Selasa (7/10). Foto Humas MK
Pemohon didampingi kuasanya dalam sidang perdana Pengujian UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Selasa (7/10). Foto Humas MK
Majelis Panel MK menggelar sidang perdana pengujian Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait program wajib belajar (Wajar) berusia 7-15 tahun atau Wajar 9 tahun. Permohonan ini diajukan 17 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (NEW Indonesia) diantaranya PP Muslimat NU, LP3S, Yayasan Aulia, YAPARI, Asppuk, PGRI, Cerdas Bangsa.

Salah satu kuasa hukum para pemohon, Benny Dikti Sinaga mengatakan para pemohon meminta agar program Wajar usia 7-15 tahun atau 9 tahun dinaikkan menjadi program Wajar 12 tahun. Sebab, program Wajar 9 tahun telah menghalangi hak konstitusional rakyat Indonesia memperoleh hak pendidikan layak seperti dijamin Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

“Pasal 6 UU ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang frasa  ‘yangberusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’ inkonstiusional dengan UUD 1945 apabila tidak diartikan ‘setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan 12 tahun’,” ujar Benny saat sidang pendahuluan yang dipimpin Maria Farida Indrati di ruang sidang MK, Selasa (07/10).

Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas berbunyi, “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”

Menanggapi materi permohonan, majelis panel mengkritik sejumlah materi permohonan terutama format penulisan petitum (tuntutan) permohonan yang meminta program Wajar menjadi 12 tahun. Maria menyarankan agar redaksional bagian petitum diubah dengan menyatakan kata “inkonstitusional” diubah menjadi “bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai…

“Seharusnya petitum selanjutnya, ‘Pasal 6 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai…’ dan pemuatan putusan ini dalam berita negara. Ini yang kurang dan harus diperbaiki dalam permohonan,” pinta Maria.

Anggota Panel, Wahiduddin Adams meminta pemohon lebih jeli membangun argumentasi permohonan. Dia menyangsikan para pemohon tidak benar-benar mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal tersebut. “Coba nanti dipastikan betul apa pendidikan pemohon hanya pendidikan dasar. Saya lihat sarjana semua. Apa iya semua mengalami kerugian? Ini perlu dipertajam bagian mana yang merasa dirugikan,” kritiknya.

Wahiduddin juga meminta pemohon memperjelas dan menggali akar persoalan pengujian UU ini. Dalil pemohon belum menggambarkan persoalan konstitusional berlakunya pasal dimaksud. “Pernyataan pendidikan dasar menimbulkan persoalan, apa saja masalahnya? Sebab, Pasal 17 ayat (3) UU Sisdiknas sudah jelas definisinya, pendidikan dasar itu ya SD dan SMP,” kritiknya.

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon lainnya, Ridwan Darmawan mengungkapkan program Wajar 9 tahun dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini terutama kebutuhan kualitas SDM Indonesia. Hal ini mempertimbangkan adanya kebutuhan pasar tenaga kerja yang mensyaratkan pendidikan minimal adalah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Selain itu,program Wajar bagi 7-15 tahun bersifat diskriminatif karena anak usia 16-18 tahun sesuai UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mendapatkan haknya. Karenanya, dibutuhkan payung hukum (melalui putusan MK) untuk mengubah standar Wajar menjadi 12 tahun.
Tags:

Berita Terkait