Mahupiki, Wadah ‘Jago’ Hukum Pidana dan Kriminologi
Komunitas

Mahupiki, Wadah ‘Jago’ Hukum Pidana dan Kriminologi

Mahupiki, bukan hanya untuk dosen, tetapi juga terbuka untuk para praktisi hukum dan mahasiswa.

Ali
Bacaan 2 Menit
Salah satu seminar yang diselenggarakan oleh Mahupiki, Romli Atmasasmita (kiri Ketua Umum Mahupiki). Foto: SGP
Salah satu seminar yang diselenggarakan oleh Mahupiki, Romli Atmasasmita (kiri Ketua Umum Mahupiki). Foto: SGP

Apakah Anda berkecimpung di dunia hukum? Apa spesialisasi Anda berkaitan dengan hukum pidana? Bila Anda menjawab iya pertanyaan di atas, mungkin sudah selayaknya Anda bergabung dengan Komunitas Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, atau lebih dikenal dengan Mahupiki. Di sinilah tempatnya jago-jago hukum pidana dan kriminologi berkumpul.

 

Ketua Umum Mahupiki Prof Romli Atmasasmita menceritakan organisasi yang dipimpinnya sejak 2008 lalu ini. Ia menjelaskan awalnya komunitas ini hanya sebatas tempat berkumpulnya para pengajar hukum pidana dan kriminologi. “Tapi kita lihat ini tidak cukup,” ujarnya kepada hukumonline di sela-sela seminar nasional yang diselenggarakan Mahupiki di Jakarta, Kamis (8/12).

 

Romli menilai bila hanya asosiasi pengajar, ia khawatir bila komunitas ini berada di menara gading. Hanya berada di awang-awang, tanpa melihat praktek riil yang terjadi di masyarakat. Karenanya, pada 2008, Mahupiki resmi membuka peluang kepada praktisi hukum pidana dan kriminologi yang bukan pengajar untuk menjadi anggota.

 

“Di situ kami bisa berkolaborasi dan berinteraksi, jadi kami (para akademisi,-red) tahu persis dunia praktisi dan bagaimana praktisi mengetahui dunia teoritis. Dua pemikiran itu bertujuan agar kami bisa membangun hukum yang lebih baik,” jelasnya.

 

Lalu, kapan sebenarnya komunitas Mahupiki ini terbentuk? Romli sepertinya tak terlalu ingat. Ia mengatakan sekitar pada pertengahan 1970-an. “Kalau tak salah sekitar tahun 1973-1975,” ujarnya.

 

Romli mungkin agak lupa dengan berdirinya Mahupiki ini, tetapi hukumonline memiliki catatan sejarah proses berkembangnya komunitas hukum pidana dan kriminologi tertua di Indonesia ini. Kebetulan, hukumonline pernah meliput Kongres Mahupiki pada 2008 silam di Bandung, Jawa Barat.

 

Sebelum bernama Mahupiki, komunitas ini awalnya bernama Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Aspehupiki). Komunitas ini berdiri sejak 1989, lewat Kongres di Semarang. Sejak saat itu, komunitas ini dipimpin oleh Muladi selama 19 tahun. Romli menggantikan Muladi pada 2008 dalam Kongres yang akhirnya mengubah nama Aspehupiki menjadi Mahupiki.

 

Beberapa mahaguru di bidang hukum pidana dan kriminologi memang tercatat aktif dalam komunitas ini. Mereka, di antaranya, adalah Barda Nawawi (Universitas Diponegoro), Mardjono Reksodiputro (anggota Komisi Hukum Nasional, Guru Besar Universitas Indonesia), Andi Hamzah (Universitas Trisakti), dan kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala dan Roni Nitibaskara.

 

Dalam pidatonya, kala itu, Muladi sempat berkelakar bahwa yang menggantikannya memang harus seorang profesor. Ibaratnya, menurut Gubernur Lemhanas ini, doktor adalah kasta brahmana, master adalah kasta satria, dan sarjana adalah kasta sudra. “Jadi, yang sarjana cukup anggota biasa saja,” tuturnya disambut tawa 281 peserta kongres.

 

Namun, ini tentu hanya joke belaka. Romli menjelaskan bahwa setiap orang yang berkecimpung di dunia hukum pidana dan kriminologi boleh bergabung ke dalam komunitas ini, termasuk para mahasiswa. “Semua bisa. Mahasiswa, dosen terbuka semua, praktisi juga. Jumlah anggota sekarang mencapai seribu orang di seluruh dunia,” ujarnya.

 

Firman Wijaya, Anggota Mahupiki yang berasal dari praktisi hukum, mengatakan motivasinya bergabung ke dalam Mahupiki untuk berkontribusi kepada perbaikan hukum Indonesia, bukan hanya hukum pidana. Ia mengatakan Mahupiki tak hanya berbicara persoalan hukum pidana atau kriminologi seperti revisi KUHP atau KUHAP, tetapi juga reformasi hukum secara keseluruhan.

 

“Ada dua konsep pemahaman dan komitmen bersama. Saya sebagai praktisi melihat persoalan ini tak bisa diserahkan begitu saja kepada lembaga-lembaga struktural yang ada. Dengan berkumpul seperti ini akan lebih baik. Ini bisa menjadi sebuah gerakan,” jelas pria yang sehari-hari berprofesi sebagai advokat ini.

 

Dan Mahupiki membuktikan bahwa ia tak sekedar menjadi wadah kongko-kongko para akademisi, praktisi dan peminat hukum pidana dan kriminologi. Lewat beberapa seminar, diskusi dan forum ilmiah lain yang dibikin sendiri dan terkadang bekerjasama dengan lembaga lain, Mahupiki berusaha tetap menjaga tradisi menumbuhkembangkan ilmu hukum.

Tags: