Disayangkan, Nasib RUU Peradilan Militer Terkatung-Katung
Berita

Disayangkan, Nasib RUU Peradilan Militer Terkatung-Katung

Tidak termasuk dalam Prolegnas 2010. Anggota DPR: ganjalannya hanya satu dua pasal.

CR-7
Bacaan 2 Menit
Disayangkan, Nasib RUU Peradilan Militer Terkatung-Katung
Hukumonline

Ganda Leo Hasibuan harus hidup di balik jeruji besi. Pemuda kelahiran Februari 1978 itu telah menjalani masa-masa kelam di balik bui sejak 2005 silam, dan masih harus menjalani hal yang sama bertahun-tahun ke depan. Pengadilan Militer II-Jakarta telah menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap anggota Denma Kodam Bukit Barisan itu. Pengadilan Militer Tinggi menguatkan vonis tersebut. Permohonan kasasinya juga sudah ditolak Mahkamah Agung.

 

Ganda dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan “secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana”. Ganda memang tidak sendirian. Ia melakukan pembunuhan bersama warga sipil lain. Korbannya pun warga sipil biasa. Cuma, lantaran Ganda berstatus militer, ia diadili di Pengadilan Militer. Argumentasi Ganda bahwa seharusnya proses pemeriksaan dilakukan secara koneksitas ditepis majelis hakim.

 

Perkara Ganda adalah salah satu contoh tindak pidana umum yang dilakukan anggota militer. Apakah Ganda harus diadili di peradilan umum atau peradilan militer? Itulah yang terus menerus menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Peradilan Militer. Akibatnya, proses pembahasan kembali mentah.

 

Bahkan, RUU Peradilan Militer akhirnya hilang dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Inilah yang disayangkan Imparsial. Lembaga ini terus menerus melakukan pemantauan terhadap reformasi militer di Indonesia. Karena itu, Imparsial sangat menyayangkan berhentinya proses pembahasan RUU Peradilan Militer, sementara paket perundang-undangan bidang peradilan lainnya sudah lama rampung, bahkan sudah dua kali direvisi.

 

Direktur Program Imparsial, Al Araf melihat problemnya pada sikap Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan. Ada keengganan mengubah secara fundamental materi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer agar sesuai dengan jiwa reformasi. Ia melihat ada “penolakan terhadap upaya menyukseskan reformasi militer secara umum”.

 

Imparsial memang sudah lama mendesak agar UU Peradilan Militer segera diperbarui. Poengky Indarti, Direktur Hubungan eksternal Imparsial menyatakan bahwa peradilan militer selama ini menjadi sarang impunitas. Pengadilan militer mengadili aparat militer baik yang melakukan tindakan kriminal maupun yang melakukan kejahatan militer. “Konteks perlindungan yang luar biasa dari institusi itu sangat kentara,” jelasnya.

 

Proses hukum semua anggota militer di Pengadilan Militer tanpa melihat kejahatannya mengakibatkan proses peradilan cenderung melindungi terdakwa, dan menimbulkan impunitas. “Ini menjadi satu benteng kekuatan bagi militer untuk tetap mempertahankan impunitasnya,” ungkap Poengky.

 

“Prajurit-prujurit tadi, atau pimpinan-pimpinan militer (yang melakukan tindak pidana-red) tetap bisa melaju kariernya, naik pangkat tinggi, menjadi pimpinan dan kemudian mengulang lagi melakukan kejahatan di tempat lain,” imbuh Poengky.

 

Selain, Pengadilan Militer dinilai Poengky sangat tertutup. Sehingga, masyarakat tidak bisa mengakses hasil maupun proses peradilan tersebut. Misalnya saja, untuk kasus penculikan aktivis, yang seharusnya bisa dilakukan di peradilan umum, namun diadili di peradilan militer. “Dan tentunya sampai sekarang kita tidak pernah tahu keputusannya seperti apa,” terangnya.

 

Poengky menyesalkan, revisi UU Peradilan Militer tidak segera dilakukan. Revisi itu sudah dimulai pada periode pemerintahan lalu. Seharusnya, kata dia, RUU Peradilan Militer, sudah bisa digolkan pada periode lalu. Alih-alih disahkan, nasib RUU itu malah terkatung-katung karena tak menjadi prioritas. Praktis, sulit bagi anggota DPR untuk membahasnya pada 2010 ini.

 

Anggota Komisi I DPR, Effendy Choirie, ikut membahas RUU ini sejak awal. Meskipun tak diagendakan pada 2010, Gus Choi –begitu ia biasa disapa—berharap bisa dibahas kembali pada 2011 mendatang. Suatu RUU yang sudah dibahas dan hampir rampung seharusnya dibahas kembali pada periode berikutnya.

 

Menurut politisi PKB ini, revisi UU Peradilan Militer merupakan bagian dari reformasi di lingkungan Tentara Nasional indonesia (TNI) di dalam aspek hukum. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana umum, termasuk anggota militer, harus diadili di peradilan umum.

 

Di periode yang lalu, revisi ini sudah hampir selesai. “Tinggal dua pasal atau satu pasal yang terkait dengan prajurit yang melakukan tindak pidana umum,” terang Effendy. “Menurut keinginan tentara tetap diadili di pengadilan militer. Sementara menurut kita, itu diadili di peradilan umum,” lanjutnya.

 

Walaupun revisi UU peradilan Militer terhambat hanya karena satu permasalahan, Effendy mengaku tidak akan berkompromi. Dia menilai bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum, mutlak harus diadili di peradilan umum. “Kalau sesuai dengan reformasi hukum ya harus iya,” tegasnya.

 

Tags: