Mahkamah Agung vs Komisi Yudisial
Rifqi S. Assegaf(*)

Mahkamah Agung vs Komisi Yudisial

Ketegangan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) kian nampak. Kritik terbuka atas sikap masing-masing institusi menghiasi media-media massa.

Bacaan 2 Menit

 

Lalu mengapa hanya MA yang boleh ‘mengintervensi' hakim? (walau MA bisa pula menjawab bahwa mereka yang lebih berwenang karena memiliki otoritas hukum dan keilmuan untuk menilai materi putusan).   

 

Di luar perdebatan kedua institusi tersebut, yang pasti publik menginginkan agar pihak yang berwenang berani mengambil sikap untuk menghukum hakim yang melakukan perbuatan tercela, yang sebagian termanifestasikan dalam putusan yang tidak adil dan bertentangan dengan hukum. Siapa yang akan akan menegakkannya tidak penting. Dan MA selama ini gagal untuk menegakkan ketentuan tersebut. Tidak ada seorang hakim pun yang pernah diberhentikan karena alasan ketidakcakapan. Di sisi lain, KY berani memainkan peran yang selama ini diharapkan publik, walau mereka sadar tugas-tugas lain masih menanti dan terhutang. Jika MA menganggap merekalah yang lebih berwenang, maka MA harus merebut kepercayaan publik dengan membuktikan mereka serius melakukan fungsi tersebut.

 

Cara yang elegan

 

Kewenangan penting, namun cara pelaksanaannya juga penting. Bukan mustahil KY menganggap cara mereka--misalnya untuk memanggil dan memeriksa hakim--telah sesuai dengan UU, yakni tetap menghargai harkat dan martabat hakim serta telah merahasiakan informasi hasil pemeriksaan (Pasal 22 UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial).

 

Di sisi lain, MA mungkin berpandangan sebaliknya. Perlu dilakukan penyamaan ‘frekuensi' penafsiran. Misalnya, tidak boleh membuat pernyataan ke publik yang seakan-akan telah memvonis suatu fakta yang masih dalam tahap pemeriksaan. Pemanggilan hakim seyogyianya dilakukan di akhir masa pengumpulan bukti. Dan hanya jika ada bukti awal yang kuat saja seorang hakim akan dipanggil. Tidak perlu ada publikasi nama hakim yang akan atau tengah diperiksa (kecuali jika kasusnya sudah diketahui publik). Publikasi (demi akuntabilitas dan transparansi) dilakukan jika sudah ada rekomendasi sanksi ke MA.

 

Kedudukan dan martabat masing-masing institusi harus dijaga. Model pemanggilan (pengundangan) hakim agung perlu dibedakan dari hakim biasa, mengingat kedudukannya. Dalam hal seorang hakim agung akan diminta keterangannya sebagai saksi, sebaiknya dilakukan di MA atau tempat yang netral. Namun jika hakim agung tersebut akan diminta keterangan sebagai terlapor (jika ada bukti yang cukup kuat), maka yang bersangkutan harus datang ke KY sebagai bentuk penegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum.

 

Pendek kata, harus diupayakan agar tidak perlu ada kesan bahwa seorang hakim dianggap bersalah (terutama oleh publik) dan kehilangan muka karena hanya proses pemeriksaannya, bukan karena buah perbuatannya. Jangan pula kewibawaan, legitimasi dan upaya meraih kepercayaan publik yang tengah dilakukan oleh KY dikurangi dengan memberi kesan bahwa pengadilan adalah institusi lebih kedudukannya tinggi dari KY.

 

Dalam konteks cara, faktor komunikasi memegang peran yang penting. Masing-masing pihak harus lebih dewasa dalam memilah-milah hal mana yang perlu diungkapkan ke publik (dan dengan cara dan pilihan kata apa) dan mana yang tidak. Perbedaan cara pandang tidak perlu diributkan di media massa. Sudah terlalu banyak pernyataan-pernyataan yang dibuat para pimpinan institusi hukum kita yang semakin membuat blunder suatu masalah hukum dan menerbitkan ketegangan-ketegangan yang tidak perlu. Mengapa tidak duduk bersama dan buat kesepakatan?

Halaman Selanjutnya:
Tags: