Mahkamah Agung Jemput Para Lulusan Terbaik Universitas
Rekrutmen Hakim

Mahkamah Agung Jemput Para Lulusan Terbaik Universitas

Metode ini diragukan akan menuai hasil, minat mahasiswa dan kejujuran para dekan menjadi tantangan yang harus dihadapi.

Rzk/Mys/Ali
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Agung Jemput Para Lulusan Terbaik Universitas
Hukumonline

 

Penggunaan metode ini, kata Rum, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengadilan, khususnya hakim. Makanya, MA dalam surat itu spesifik meminta para dekan untuk mengirim lulusan terbaik mereka. Berdasarkan salinan yang diperoleh hukumonline, di surat itu MA memberi tenggat waktu pengiriman nama lulusan terbaik paling lambat akhir Juli 2009.

 

Surat itu juga meminta para dekan berkoordinasi dengan pengadilan tinggi atau pengadilan tinggi agama di wilayah masing-masing. Bukan hanya negeri, tapi swasta juga termasuk, ujar Rum. Pada lampiran surat memang terpampang daftar panjang nama-nama universitas yang diundang untuk mengirimkan lulusan terbaik mereka.

 

Sebagai ditegaskan Rum, selain universitas negeri ternama seperti Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Andalas, dan Universitas Padjajaran, sejumlah universitas swasta terbaik di Indonesia juga diikutsertakan. Dalam daftar terdapat Universitas Yarsi, Universitas Pelita Harapan, Universitas Trisakti, dan sejumlah universitas Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Tidak hanya sarjana hukum, tetapi juga lulusan IT (informasi teknologi), dan ekonomi juga kami ajak, Rum menambahkan.

 

Diragukan berhasil

Sejumlah dekan yang dihubungi hukumonline, menyambut baik langkah MA. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Safri Nugraha antusias menyambut permintaan MA. Makanya, ia langsung melakukan sosialisasi melalui manajer kemahasiswaan dan para alumni. Namun, Safri mengingatkan bahwa langkah yang ditempuh MA belum tentu menuai hasil seperti yang diharapkan.

 

Belum tentu semua mahasiswa ranking 1–20 mau dan bersedia menjadi hakim, tukas Guru Besar Hukum Administrasi Negara. Menurutnya, terobosan MA ini perlu diimbangi dengan sejumlah insentif sehingga bisa menggugah minat para lulusan terbaik. Insentif dimaksud bisa berupa jenjang karir yang jelas, beasiswa untuk melanjutkan sekolah, atau bentuk kompensasi lain.

 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof Runtung Sitepu tidak kalah antusiasnya menyambut permintaan MA. Kini, FH USU sedang menginventarisir alumni-alumni yang peringkat 1 sampai 20, ungkapnya. Runtung mengatakan fakultasnya akan menerapkan kebijakan khusus, yakni lulusan terbaik yang akan direkomendasikan berasal dari lulusan tiga wisuda terakhir, periode 2008-2009, dengan minimum indeks prestasi kumulatif 3,5. Sejauh ini, yang berhasil diinventarisir di Fakultas Hukum berjumlah sekitar 200 lulusan.

 

Namun, seperti halnya Safri, Runtung mengingatkan MA bahwa minat para lulusan terbaik belum tentu ingin menjadi hakim. Bisa saja sulit diperoleh, katanya. Menurut Guru Besar Hukum Adat ini, selain karena enggan menjadi hakim, lulusan terbaik tersebut mungkin sudah bekerja di tempat lain yang lebih menjanjikan. Di luar itu, Runtung juga meminta mengawasi pelaksanaan rekrutmen ini agar tidak disusupi perilaku koruptif dari kalangan kampus. Kejujuran para Dekan FH sangat menentukan. Jangan sampai peluang ini dipermainkan, tandasnya.

 

Kekhawatiran dua dekan tersebut bisa jadi bukan isapan jempol. Budi –bukan nama sebenarnya- seorang mahasiswa yang pernah dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi, mengaku pernah menolak tawaran untuk menjadi hakim. Dengan metode rekrutmen yang sama, Budi berdalih tidak melihat masa depan karir yang jelas jika menjadi hakim. Selain itu, ia enggan bekerja di lembaga peradilan karena terlanjur mendapat penilaian miring di mata publik.

 

Faktor materi, kata Budi, bukan menjadi pertimbangan utama. Salah satu advokat muda di Jakarta ini justru mempertimbangkan faktor integritas. Sistem yang begitu korup, dikhawatirkan Budi akan mempengaruhi integritas pribadinya. Melihat senior-senior saya yang ketika mahasiswa terbaik tetapi ketika menjadi hakim justru memainkan perkara, saya takut seperti itu, tuturnya.

Sepuluh tahun lebih reformasi berjalan, lembaga peradilan tetap mendapat sorotan publik. Beberapa survei integritas ataupun barometer korupsi, seperti yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Transparency International Indonesia, masih menempatkan peradilan sebagai salah satu yang terburuk di negeri ini. Di luar itu, ‘hantu' mafia peradilan ditenggarai masih gentayangan dimana-mana.

 

Upaya perbaikan bukannya tidak dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) selaku pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Salah satu upaya itu adalah dengan memperbaiki sistem rekrutmen hakim. Selain menggunakan metode ‘konvensional' seperti lembaga negara pada umumnya, melalui pengumuman di media ataupun di pengadilan-pengadilan. MA mencoba cara yang ‘tidak biasa'.

 

Melalui surat nomor 309/Bua.2/Peng.01.2/V/2009, MA menyurati para Rektor cq Dekan Fakultas  Hukum dan Dekan Fakultas Ekonomi. Isi surat tertanggal 26 Mei 2009 itu adalah permintaan MA kepada para dekan tertuju untuk mengikutsertakan lulusan terbaik dalam proses rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan calon hakim (cakim) di lingkungan MA.

 

Supaya mahasiswa perguruan tinggi itu berminat menjadi cakim. Kita minta ranking satu sampai 20, Rum Nessa, Sekretaris MA, menjelaskan latarbelakang dilayangkannya surat yang ia tandatangani itu.

 

Menurut Rum, ini adalah kali pertama MA menggunakan metode rekrutmen seperti ini. Berdasarkan catatan hukumonline, metode rekrutmen seperti ini sebenarnya tidak sepenuhnya original ide MA. Beberapa tahun lalu, ketika pengadilan belum berada di satu atap MA, Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) juga menerapkan metode yang sama. Seperti halnya MA, Depkumham juga mengirimkan surat ke sejumlah universitas meminta dikirimkan lulusan terbaik mereka.

Halaman Selanjutnya:
Tags: