Mahfud MD Kritik Masukan Yusril untuk SBY
RUU Pilkada

Mahfud MD Kritik Masukan Yusril untuk SBY

Hanya ada dua cara, judicial review atau legislative review.

Ali
Bacaan 2 Menit
Mahfud MD. Foto: RES
Mahfud MD. Foto: RES

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD mengkritik masukan pakar HTN Yusril Ihza Mahendra kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait RUU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Hal ini disampaikan oleh Mahfud melalui akun twitternya @mohmahfudmd, Senin (29/9). “Mengejutkan juga, Yusril sarankan Presiden tak tandatangani RUU Pilkada dan setelah dilantik Jokowi mengembalikan RUU itu ke DPR,” sebut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini. 

Mahfud menambahkan bila presiden tidak mau tandatangan RUU yang telah disetujui di DPR itu boleh saja, dan itu sesuai dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Konsekuensinya, RUU itu tetap berlaku sah sebagai undang-undang. “Tapi kalau Jokowi mengembalikan RUU itu ke DPR bisa jadi masalah serius,” jelasnya lagi.

Misalkan, lanjut Mahfud, DPR menolak pengembalian RUU Itu maka akan terjadi konflik tolak tarik. “Konflik itu bisa memancing sengketa kewenangan ke MK. DPR bisa berdalil presiden menggunakan kewenangan dengan melanggar hak konstitusional DPR,” sambungnya.

Nah, bila sengketa ini berujung ke MK, Mahfud menilai pasti ada yang menang dan kalah. Bila DPR yang menang, maka bisa dipakai alasan untuk proses impeachment (pelengseran) Jokowi karena pengkhianatan. “Negara bisa gaduh,” sebutnya.

“Tapi, kalau presiden yang menang, pada masa-masa berikutnya gantian DPR yang tidak mau megirim RUU yang sudah disepakati kepada presiden sehingga tidak bisa diundangkan,” tambahnya. 

Mahfud melanjutkan bisa jadi semua kebijakan yang perlu persetujuan DPR nanti diganjal di DPR sehingga pemerintahan menjadi “stuck”. “Situasi ini sungguh mengerikan,” tulisnya.

Oleh karena itu, Mahfud beranggapan bila SBY tidak mau tanda tangan RUU tidak apa dan Jokowi juga tidak harus tanda tangan. “Tapi Jokowi jangan beri umpan dengan mengembalikan RUU itu,” sebutnya.

Mahfud menyarankan bahwa sebaiknya perikaian politik ini segera diakhiri. Ia menambahkan semua harus bekerja untuk kemaslahatan bagi rakyat dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia menjelaskan untuk mengatasi kemelut RUU Pilkada kalau ingin memperjuangkan pilkada langsung ada jalur yang bisa ditempuh, yaitu judicial review dan legislative review.

“Judicial review ke MK bisa diajukan oleh warga negara dan kelompok-kelompok masyarakat seperti yang sekarang sudah mulau berjalan, misanya yang dimotori oleh (advokat) Asrun. Untuk legislative review bisa dimotori oleh PDIP dan koalisinya ditambah Partai Demokrat. Mereka bisa menggalang pengusulan RUU baru,” jelasnya.

Mahfud juga mengingatkan agar tidak ada partai politik (parpol) yang sudah punya kursi di DPR tidak mempunyai legal standing (kedudukan hukum) untuk judicial review. “MK selalu berpendirian begitu, terakhir kasus (putusan judicial review,-red) UU MD3,” tambahnya.

Namun, Mahfud menilai politik di Indonesia itu cukup lentur. Karenanya, lanjut Mahfud, bisa saja sikap politik dan peta dukungan berubah asal pendekatannya bagus dan kompensasi politiknya wajar. “Kelenturan politik di Indonesia menjadi modal yang baik untuk membangun kebersamaan agar negara bisa berjalan dengan baik. Jangan tersandera,” sebutnya.

“Dalam konteks kelenturan politik kita itulah, bisa jd pendapat dan saran Pak Yusril tetap bs dipertimbangkan. Semoga Indonesia selamat,” tukas Mahfud.

Sekadar mengingatkan, pakar HTN Yusril Ihza Mahendra – melalui akun twitternya @YusrilIhza_Mhd – menyarankan SBY untuk tidak menandatangani RUU Pilkada dan Jokowi untuk mengembalikan RUU Pilkada ke DPR. Ia mengacu kepada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.

Ketentuan itu berbunyi,“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,  rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

Yusril menjelaskan bahwa tenggang waktu 30 hari, menurut pasal itu, untuk RUU Pilkada adalah 23 Oktober. Saat itu jabatan SBY sebagai presiden sudah berakhir, karena dia akan digantikan oleh Jokowi pada 20 Oktober. “Saran saya SBY tidak usah tandatangani dan undangkan RUU tersebut sampai jabatannya habis,” sebutnya.

Sementara, lanjut Yusril, Presiden baru yang mulai menjabat 20 Oktober juga tidak perlu tandatangani dan undangkan RUU tersebut. “Sebab presiden baru tidak ikut membahas RUU tersebut. Dengan demikian, Presiden baru dapat mengembalikan RUU tersebut ke DPR untuk dibahas lagi,” jelasnya.

“Dengan demikian, maka UU Pemerintahan Daerah yang ada sekarang masih tetap sah berlaku. Maka pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait