​​​​​​​Mahasiswa dan Masalah Ability to Pay
Mahasiswa Bergerak

​​​​​​​Mahasiswa dan Masalah Ability to Pay

Seorang mahasiswa ikut mempersoalkan pajak bumi dan bangunan. Legal standingnya diakui. Mahasiswa lain mempersoalkan Biaya Kuliah Tunggal ke Mahkamah Agung.

Normand Edwin Elnizar/MYS/M-30
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Seorang mahasiswa, bersama seorang karyawan dan seorang pensiunan mencoba memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka ke Mahkamah Konstitusi. Jestin Justian adalah mahasiswa Universitas Tarumanegara Jakarta ketika bersama dua pemohon lain, Agus Prayogo dan Nur Hasan, mengajukan ‘gugatan’ terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Mereka berpandangan bahwa kewajiban subjek pajak seperti mereka membayar PBB bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

 

Cerita ini bermula dari pengalaman berbeda. Jestin, si mahasiswa, mendapatkan dana dari orang tuanya pada 2017, yang kemudian dipergunakan untuk membeli rumah di Dawuan Barat, Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Status tanahnya belum hak milik karena masih berbentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Jika hendak diubah menjadi Akta Jual Beli (AJB), Jestin harus lebih dahulu membayar pajak bumi dan bangunan. Sebagai mahasiswa yang belum punya pekerjaan, Jestin merasa tak sanggup membayar pajak dan bangunan yang timbul dari pembelian rumah di Karawang tadi.

 

Adapun Agus Prayogo tak mampu melunasi pajak bumi bangunan karena terhimpit kemiskinan; sedangkan Nur Hasan berdalih biaya pensiunannya tak mungkin mencukupi untuk biaya hidup dan membayar pajak. Kewajiban membayar PBB merugikan hak konstitusional mereka. Itu pula sebabnya Jestin dan kawan-kawan meminta ketentuan PBB dalam UU No. 12 Tahun 1994 dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

 

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangannya, memandang persoalan ini sebagai masalah ability to pay, kemampuan untuk membayar kewajiban. Status pemohon I sebagai mahasiswa ada hubungannya dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan uji, dan karena itu legal standing Jestin dan kedua temannya diakui. Tetapi dari sisi substansi, menurut Mahkamah, di negara manapun ada pungutan atas properti. Landasan filosofis pengenaan pajak atas bumi/tanah adalah adanya manfaat atau kenikmatan yang diperoleh dari bumi/tanah tersebut. Negara punya kewenangan memungut pajak dari rakyatnya. (Baca Serial Lengkap Mahasiswa Bergerak)

 

Namun, harus dibedakan antara kewenangan negara untuk memungut pajak dan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negara. Kewenangan negara memungut pajak, termasuk PBB, adalah kewenangan yang legitimate berdasarkan doktrin, tetapi juga punya landasan konstitusional, yakni Pasal 23A UUD 1945.

 

Memang, berdasarkan konsep ability to pay, tidak semua warga negara mampu membayar pajak. Itu adalah fakta sosial dan empirik. Tetapi, menurut Mahkamah, kondisi empiris itu tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan kewenangan negara memungut pajak tidak konstitusional. Tugas pemerintahlah mengatasi ketidakmampuan rakyat membayar pajak. Untuk itu, pemerintah sudah membuat aturannya, dan memiliki diskresi untuk memperlakukan khusus orang-orang yang tak mampu. Salah satunya lewat UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam UU ini telah disebutkan antara lain kewenangan kepala daerah untuk mengurangi ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak dan kondisi tertentu objek pajak.

 

Atas pertimbangan itu, majelis hakim dalam Putusan No. 3/PUU-XVI/2018 menyatakan  tidak menemukan adanya persoalan inkonsitusionalitas. Majelis berpendapat bahwa rumusan dan materi muatan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB konstitusional alias sejalan dengan Konstitusi. Walhasil, majelis hakim menyatakan permohonan tersebut ditolak.

 

Baca juga:

 

Biaya Kuliah dan Badan Hukum Pendidikan

Berlakunya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sebagai tindak lanjut Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dianggap telah merugikan banyak pihak. Tercatat tidak kurang dari lima permohonan judicial review yang masuk ke Mahkamah Konstitusi yang diputus bersama-sama pada Maret 2010. Sebagian pemohon pengujian ini masih berstatus mahasiswa, misalnya mahasiswa Universitas Indonesia Yurra Pratama Yudistira dan Senja Bagus Ananda; serta mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Aminuddin Ma’ruf dan Naufal Azizi.

 

Dalam permohonan No. 21/PUU-VII/2009, Yurra Pratama Yudistira mempersoalkan UU Badan Hukum Pendidikan karena dengan adanya Undang-Undang pemerintah semakin menghindari tanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan, sehingga beban biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa semakin berat. “Akses pemohon I (mahasiswa –red) untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas menjadi terhalangi,” demikian dalil yang disampaikan Yurra dalam permohonan.

 

Legal standing para mahasiswa yang mengajukan permohonan. Mahasiswa memiliki potensi kerugian konstitusional akibat berlakunya UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan. Demikian pula pemohon lain yang terdiri dari orang tua murid, pimpinan yayasan, dan dosen.

 

Dalam putusan yang digabung (putusan No. 11, No. 14, No. 21, No. 126 dan No. 136/PUU-VII/2009), Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Mahkamah membatalkan seluruh materi muatan UU No. 9 Tahun 2009. Dengan demikian permohonan para mahasiswa dan pemohon lain berhasil. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007, dan telah melanggar hak konstitusional para pemohon.

 

Hukumonline.com

 

HUM ke Mahkamah Agung

Ada juga upaya mahasiswa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Misalnya berkaitan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

 

Andri Setya Nugraha, Arvel Mulia Pratama, dan Ivan Azis Muhammad, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Universitas Andalas menguji materi ke Mahkamah Agung karena merasa dirugikan. Mereka menilai Permenristek Dikti itu bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

(Baca juga: 3 Mahasiswa Persoalan Aturan Uang Kuliah Tunggal Hingga ke MA, Bagaimana Hasilnya?)

 

Pasal 8 ayat (1) Permenristek Dikti dianggap membolehkan pungutan lain di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kepada mahasiswa yang masuk melalui seleksi jalur mandiri. Padahal, UU Pendidikan Tinggi menyatakan pembiayaan studi mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayai mahasiswa. Ini juga sejalan dengan asas ‘keterjangkauan’ yang disinggung dalam UU Pendidikan Tinggi. MA berpendapat bahwa alasan-alasan para pemohon tidak dapat dibenarkan karena sejumlah pertimbangan. Dalam amar putusan hakim menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Tags:

Berita Terkait