MA Tinjau Ulang Batas Nilai Perkara Gugatan Sederhana
Berita

MA Tinjau Ulang Batas Nilai Perkara Gugatan Sederhana

Nilai perkara di atas Rp200 juta kemungkinan bisa masuk gugatan sederhana.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam seminar Sektor Hukum dan Peradilan untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, di Jakarta, Rabu (19/6). Foto: HMQ
Para pembicara dalam seminar Sektor Hukum dan Peradilan untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, di Jakarta, Rabu (19/6). Foto: HMQ

Satu kasus perdata diselesaikan oleh 9 hakim kerap kali dijumpai dalam berbagai penanganan sengketa di Pengadilan. Tiga hakim memeriksa di Pengadilan tingkat pertama, tiga hakim di tingkat banding dan tiga hakim lainnya di tingkat kasasi. Bahkan tak menutup kemungkinan dimohonkan juga pemeriksaan kepada tiga hakim lagi di tingkat Peninjauan Kembali. Padahal, dinamisnya pergerakan bisnis menghendaki adanya kecepatan pemberian kepastian hukum oleh Pengadilan.

 

Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA) telah diberikan fleksibilitas oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman untuk melakukan berbagai upaya dalam mengatasi segala hambatan yang berdampak pada terhalangnya proses peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan.

 

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU a quo dan kerap digunakan sebagai ‘pasal sapujagat’ untuk mendorong reformasi hukum di lingkungan Mahkamah Agung. Karena bila harus menunggu UU baru untuk melakukan reformasi, maka prosesnya akan sangat lama.

 

Sehingga tak heran bila banyak ditemukan Perma yang tak sejalan dengan Hukum Acara warisan Belanda yang masih berlaku hingga kini, yakni Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg).

 

“Misalnya Perma gugatan sederhana, itu banyak sekali yang tidak pas dengan HIR, tapi didukung oleh pencari keadilan. Kita bersyukur dalam UU itu kita diberikan fleksibilitas,” tukas Hakim Agung Syamsul Maarif.

 

Sebagai informasi, di antara perbedaan mencolok antara HIR dengan Perma No.2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yakni tak diperkenankannya untuk melakukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik atau kesimpulan dalam gugatan sederhana (dengan gugatan maksimal Rp 200 juta). Rentang masa sidang gugatan sederhana pun juga diatur secepat-cepatnya 25 hari sejak sidang hari pertama.

 

Selain itu, bila HIR hanya mengenal adanya hakim majelis dalam penanganan perkara pedata, maka Perma gugatan sederhana menerobosnya dengan pemeriksaan oleh hakim tunggal. Keterlibatan Majelis penuh dalam gugatan sederhana baru diperkenankan dalam tingkat pengadilan Banding.

 

Ketimbang menuai kontroversi lantaran bertentangan dengan HIR, katanya, upaya simplifikasi proses beracara untuk kasus-kasus perdata melalui gugatan sederhana justru mendulang dukungan dari para pencari keadilan. Soalnya, sebelum lahirnya Perma a quo ada banyak kasus perdata dengan nilai gugatan di bawah Rp 200 juta diselesaikan dalam 4 tingkatan pengadilan (Pengadilan tingkat I, banding, kasasi, PK). Nahasnya, biaya proses berperkara bisa-bisa jauh lebih besar ketimbang nilai gugatannya.

 

“Ibaratkan mau beli kambing dibayar dengan sapi,” ucapnya.

 

Kendati demikian, Ia mengakui batas nilai perkara masih perlu ditinjau ulang. Soalnya, pasca lahirnya Perma a quo pun, Ia mengaku masih saja menangani perkara kasasi dengan nilai sengketa Rp 30 juta. Kreditur mendalilkan debitur punya utang sekitar Rp230 juta, menurut debitur utangnya hanya Rp200 juta, jadi selisihnya hanya Rp30 juta sekalipun memang nilai gugatan di atas Rp200 juta. Akhirnya, sengketa Rp30 juta itu mesti diselesaikan oleh 9 hakim. Tiga hakim di tingkat pertama, 3 hakim di tingkat banding dan 3 hakim di tingkat kasasi.

 

(Baca: Siap-siap, Litigasi Lewat E-Court Dimulai Tahun Ini)

 

Lantaran masih dianggap belum sepenuhnya mampu mencerminkan adanya prinsip cepat, sederhana dan berbiaya ringan, Ia menyebut Perma Gugatan Sederhana sedang dalam masa pembahasan dan diharapkan dapat disahkan pada pertengahan tahun 2019.

 

“Saat ini Perma Gugatan Sederhana sedang dalam pembahasan dan diharapkan dapat disahkan pada pertengahan tahun 2019.” ungkapnya.

 

Sebagai bocoran, setidaknya ada 7 agenda perubahan terkait Perma Gugatan sederhana yang kita sedang dibahas MA, yakni meliputi batas nilai perkara, batas wilayah hukum/ domisili para pihak, ketentuan soal pelaksanaan putusan, definisi kuasa hukum, Penjadwalan persidangan, Biaya Perkara dan penerapan E-court.

 

Diakui oleh Wakil Ketua MA, Muhammad Syarifudin, banyak pengusaha yang menyampaikan keluhan kepada MA agar batasan nilai gugatan sederhana yang semulanya Rp 200 juta dinaikkan. Untuk itu Ia membenarkan bahwa pihaknya kini memang sedang melakukan kajian soal itu. Ia juga menyebut sudah banyak pencari keadilan yang merasakan perubahan positif dalam penyelesaian kasus perdata secara sederhana untuk kasus-kasus dibawah Rp200 juta.

 

Selama ini, katanya, banyak kasus-kasus mikro dengan nilai gugatan di bawah Rp200 juta yang enggan diselesaikan masyarakat akibat berfikir bahwa biaya proses berperkara akan lebih mahal ketimbang nilai gugatan yang diajukan. Buntutnya banyak sekali kasus-kasus mikro yang dibiarkan begitu saja tanpa diupayakan perolehan keadilannya.

 

“Sekarang sejak berlakunya gugatan sederhana itu akhirnya kasus mikro banyak yang masuk. Utang-utang mikro yang selama ini tidak pernah diselesaikan masyarakat akhirnya diselesaikan,” tukasnya.

 

Ia juga menyebut lahirnya gagasan untuk membentuk sistem gugatan sederhana ini tak terlepas dari masukan-masukan dan hasil kerjasama MA dengan Federal Court Australia yang telah terjalin semenjak 3 tahun lalu (2017). Untuk diketahui, kerjasama Indonesia dalam pembaharuan ini telah dilakukan sejak tahun 2004 dan telah beberapa kali diperbaharui, terakhir diperbaharui pada tahun 2017.

 

Dalam sambutannya, Deputy Head of Mission Australian Embassy, HE Allaster Cox mengaku setelah selama lebih dari 2 dekade berkolaborasi mendorong reformasi hukum dan keadilan dengan MA, Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik. Komparasi sistem peradilan antar Indonesia dan Australia juga dinilainya bukanlah merupakan bentuk duplikasi melainkan upaya untuk menemukan solusi terbaik.

 

Selain soal gugatan sederhana, Ia menyebut kemitraan Australia dengan MA juga meliputi banyak hal termasuk transparansi putusan, e-filing, reformasi kasus dan sebagainya. Reformasi peradilan yang baik, menurutnya harus dilakukan dengan pembentukan prosedur beracara baru yang lebih cepat dari sebelumnya. Sehingga juga dapat membantu peningkatan indeks kemudahan berusaha Indonesia.

 

“Kami merasa bangga bisa mendorong upaya reformasi hukum dan keadilan di Indonesia,” tukasnya.

 

Ketua Peradi kubu Fauzi, Fauzi Hasibuan yang kebetulan hadir dalam agenda yang sama juga menyampaikan support dan dorongannya kepada MA untuk melakukan reformasi kebijakan yang dapat mengisi kekosongan atau membuat suatu proses acara yang lebih sesuai dengan kondisi terbaru dunia peradilan (up to date) ketimbang HIR.

 

“Advokat jelas merupakan pihak yang terdampak, tapi selama itu positif tentu kita dukung,” tukasnya.

 

Tags:

Berita Terkait