MA Terbitkan SK KMA Baru Tentang Majelis Kehormatan Hakim
Berita

MA Terbitkan SK KMA Baru Tentang Majelis Kehormatan Hakim

Penerbitan SK KMA harus ditindaklanjuti dengan pembuktian dari MA bahwa pengawasan internal berjalan efektif dan tidak diwarnai dengan esprit de corps.

Rzk
Bacaan 2 Menit
MA Terbitkan SK KMA Baru Tentang Majelis Kehormatan Hakim
Hukumonline

 

Setidaknya ada dua desakan agar keanggotaan MKH terbuka, tidak hanya dari kalangan hakim. Desakan pertama datangnya dari Komisi Yudisial (KY) melalui rancangan PERPU tentang Perubahan atas UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 23 ayat (4) rancangan PERPU menyatakan MKH terdiri dari KY, MA atau Mahkamah Konstitusi (MK), akademisi, praktisi dan unsur masyarakat yang ditetapkan oleh KY.

 

Desakan kedua berasal dari Lembaga Advokasi dan Pengacara Dominika (LAPD). Melalui perjuangan judicial review di MK, lembaga yang dipimpin Dominggus Maurits Luitnan ini mempersoalkan beberapa pasal dari UU No. 22/2004, salah satunya adalah soal komposisi MKH. LAPD beralasan komposisi MKH yang hanya diisi unsur hakim berpotensi melanggengkan esprit de corps (semangat membela sesama korps, red) yang selama ini ditudingkan masyarakat ke kalangan hakim.

 

Sayangnya, perjuangan KY dan LAPD bernasib sama. Rancangan PERPU KY ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan judicial review LAPD dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.

 

Pembuktian dari MA

Dihubungi via telepon (7/8), Ketua KY Busyro Muqoddas berpendapat MA sebagaimana halnya lembaga-lembaga negara lainnya seharusnya menghormati hak-hak publik yang selama era sebelum reformasi diabaikan. Caranya adalah dengan menanggalkan eksklusivitas masing-masing lembaga. Dalam konteks ini, MA seharusnya membuka kesempatan kalangan eksternal untuk terlibat dalam komposisi MKH.

 

Ini kan sebagai wujud prinsip emansipatoris dimana masyarakat harus diberikan peran-peran yang lebih, ujar Busyro, mengungkapkan latar belakang kenapa KY ‘ngotot' adanya kalangan eksternal dalam komposisi MKH. Dengan melibatkan kalangan eksternal, MA justru akan diuntungkan karena citra MA yang sebelumnya dikenal eksklusif akan terhapuskan.

 

Busyro menegaskan bahwa KY tidak akan menyerah dalam mendorong reformasi peradilan. Setelah rancangan PERPU ditolak pemerintah, KY akan mendorong revisi UU KY dan UU terkait lainnya. Mudah-mudahan ini (sikap MA, red.) bersifat sementara sampai revisi UU KY dan lainnya terwujud, tukasnya.  

 

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin berpendapat sikap MA yang bersikeras menerapkan komposisi MKH dari kalangan internal hakim, dapat dipandang sebagai bukti bahwa semangat membela korps di MA masing sangat kuat. Padahal, lanjutnya, aspirasi yang berkembang di masyarakat menginginkan agar kontrol terhadap hakim juga melibatkan kalangan eksternal hakim.

 

Namun, dugaan saya barangkali alasan SK ini muncul karena kontrol dari luar dianggap telah cukup melalui Komisi Yudisial sehingga dipandang tidak perlu lagi ada unsur eksternal dalam Majelis Kehormatan Hakim, kata Firmansyah, mencoba berpikir positif.

 

Menurut Firmansyah, penerbitan SK KMA harus ditindaklanjuti dengan pembuktian dari MA bahwa pengawasan internal berjalan efektif dan tidak diwarnai dengan esprit de corps. Apabila MA dapat membuktikan hal tersebut maka keraguan masyarakat akan efektivitas penindakan secara internal lambat-laun akan luntur. Tapi pada kenyataannya kan hal itu (esprit de corps, red) masih terus terjadi, sambungnya.

Mahkamah Agung (MA) kembali menunjukkan sikap tak mau kompromi. Bertolakbelakang dengan desakan sejumlah kalangan, MA bersikukuh  menetapkan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) hanya boleh diisi oleh ‘orang dalam' korps hakim. Sikap MA ini terlihat jelas dalam Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No. KMA/058/SK/VI/2006 tertanggal 06 Juni 2006 yang didapat hukumonline ketika akan didistribusikan kepada hakim-hakim pada sebuah pengadilan di Jakarta.

 

SK KMA itu mengenal dua jenis MKH, yakni MKH untuk hakim pengadilan tingkat pertama dan MKH untuk hakim pada pengadilan tingkat banding. Pembedaan ini sedikit berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1991 tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara serta Hak-hak Hakim Agung dan Hakim.

 

PP No. 26/1991 tidak membedakan MKH untuk hakim pada tingkat pertama maupun banding, karena hanya menggunakan dua istilah yakni hakim dan hakim agung. Pasal 1 butir 3 PP No. 26/1991 mendefinisikan hakim sebagai Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama. Alhasil, PP No. 26/1991 hanya mengenal Majelis Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung.

 

Komposisi MKH

Mengenai komposisi, Pasal 3 SK KMA menegaskan bahwa MKH hanya diisi oleh kalangan internal hakim. MKH untuk hakim pengadilan tingkat pertama terdiri dari unsur-unsur pengadilan tingkat banding, sedangkan MKH untuk hakim pengadilan tingkat banding terdiri dari unsur-unsur dari MA.

 

Pasal 3

(1)     Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) terdiri dari:

a.  Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding, atau hakim senior pada Pengadilan Tingkat Banding tersebut sebagai ketua merangkap anggota

b.  Dua orang hakim Pengadilan Tingkat Banding sebagai anggota majelis

c.   Seorang hakim Pengadilan Tingkat Banding sebagai sekretaris majelis

  

(2)     Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) terdiri dari:

a.  Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding, atau hakim senior pada Pengadilan Tingkat Banding tersebut sebagai ketua merangkap anggota

b.  Dua orang hakim Pengadilan Tingkat Banding sebagai anggota majelis

c.   Seorang hakim Pengadilan Tingkat Banding sebagai sekretaris majelis

 

Halaman Selanjutnya:
Tags: