MA Terbitkan Pedoman Penanganan Tindak Pidana Perpajakan
Terbaru

MA Terbitkan Pedoman Penanganan Tindak Pidana Perpajakan

Diharapkan SEMA ini bisa menjadi panduan bagi hakim demi kepastian hukum dan kesatuan penerapan hukum di pengadilan.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Beleid yang diteken Ketua MA M. Syarifuddin pada 29 November 2021 ini memuat beberapa prinsip pengaturan terkait penanganan tindak pidana perpajakan yang menjadi pedoman atau panduan bagi hakim di pengadilan.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi mengatakan terbitnya SEMA No.4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan ini didasari untuk menjamin ketepatan, kepastian hukum, dan kesatuan penerapan hukum dalam penanganan tindak pidana perpajakan. Sebab, selama ini penerapan hukum penanganan belum seragam di pengadilan.

“SEMA ini ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia. Diharapkan SEMA ini bisa menjadi panduan bagi hakim demi kepastian hukum dan kesatuan penerapan hukum di pengadilan,” ujar Sobandi saat dihubungi Hukumonline, Selasa (7/12/2021).        

Sebagaimana tertuang dalam SEMA No.4 Tahun 2021, MA mengatur empat hal penting sebagai petunjuk/prinsip bagi pengadilan dalam penanganan tindak pidana di bidang perpajakan. Pertama, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Dalam poin ini diatur mengenai frasa “setiap orang” dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimaknai sebagai orang pribadi dan korporasi.

Tindak pidana di bidang perpajakan dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada orang pribadi dan korporasi. “Korporasi selain dijatuhkan pidana denda dapat dijatuhkan pidana tambahan lain sesuai peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi angka 1 huruf c SEMA No.4 Tahun 2021 ini.

Kedua, Pengadilan Negeri yang Berwenang Mengadili Praperadilan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Praperadilan terkait tindak pidana di bidang perpajakan diadili oleh Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat kedudukan penyidik atau kedudukan penuntut umum dalam hal permohonan pemberhentian penuntutan.

Ketiga, Tanggung Jawab Pidana Pengurus dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam hal Korporasi Pailit dan/atau Bubar. Pailit dan/atau bubarnya korporasi tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana pengurus dan/atau pihak lain atas tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukannya pada saat terjadinya tindak pidana.

Keempat, Pidana Percobaan. Pidana percobaan tidak dapat dijatuhkan kepada terdakwa tindak pidana di bidang perpajakan.              

Mengutip artikel Klinik Hukumonline berjudul “Modus Operandi Tindak Pidana Perpajakan” disebutkan modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan antara lain seperti: membuat faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya; melakukan pemungutan pajak tetapi tidak setor ke negara; wajib pajak tidak melaporkan harta kekayaannya di Surat Pemberitahuan (SPT) secara tidak benar; atau memalsukan faktur pajak, dan lain-lain.

Beberapa tindak pidana di bidang perpajakan bisa dijerat pasal-pasal dalam KUHP antara lain: tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah (Pasal 242 KUHP); tindak pidana pemalsuan meterai (Pasal 253 KUHP); tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP); tindak pidana membuka rahasia (Pasal 322 KUHP); tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP); tindak pidana melakukan tipu muslihat/perbuatan curang (Pasal 387 KUHP).

Penyelesaian tindak pidana di bidang perpajakan secara khusus juga diatur dalam UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Namun, norma tindak pidana di bidang perpajakan mencakup pula tindak pidana dalam KUHP. Hal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generalis yang bermakna aturan hukum khusus mengesampingkan aturan hukum umum.

Misalnya, Pasal 36A ayat (3) UU No.28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan: “Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”

Terdapat pula irisan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum pada Pasal 43A ayat (3) UU 28/2007 yang menyebutkan “Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.”

Adapun subjek yang dikenakan ancaman pidana di bidang perpajakan yakni meliputi perbuatan oleh wajib pajak, petugas pajak, atau pihak ketiga terkait yang dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan, sebagai perbuatan persiapan, mempermudah atau memperlancar, menyembunyikan atau mempertahankan hasil tindak pidana perpajakan.

Tags:

Berita Terkait