MA Sambut Baik Sengketa Pilkada Balik ke MK
Berita

MA Sambut Baik Sengketa Pilkada Balik ke MK

Kewenangan mengadili sengketa pilkada oleh MK akan lebih efektif ketimbang MA.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA. Foto: Sgp
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA. Foto: Sgp
Mahkamah Agung (MA) menyambut baik keputusan DPR dan Pemerintah yang telah menyetujui bersama RUU tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (Pilkada). Pasalnya, beleid yang salah satunya mengamanatkan sengketa pilkada kembali ditangani MK dianggap sebagai kebijakan yang tepat.

"DPR telah mengambil keputusan yang tepat. Ini menampung apresiasi penegak hukum, yang sebelumnya wewenang sengketa pilkada ditangani MA," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur saat dihubungi hukumonline, Selasa (17/2) malam.

Sebelumnya, Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yang kemudian disetujui menjadi UU mengamanatkan empat Pengadilan Tinggi (PT) yang berwenang menangani sengketa pilkada seluruh Indonesia. Soalnya, sejak terbitnya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, MK tidak lagi berwenang menangani sengketa pemilukada. Alasannya, MK menilai sengketa pemilukada bukan bagian rezim pemilu, melainkan rezim pemda. Namun, sebelum ada regulasi baru yang mengaturnya MK tetap berwenang menangani sengketa pilkada.

Awalnya, sengketa pilkada pernah diitangani MA melalui pengadilan di bawahnya. Namun, sejak terbitnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) melalui Pasal 236 C, kewenangan sengketa pilkada dialihkan ke MK karena sengketa pilkada bagian dari rezim pemilu. Pengalihan kewenangan sengketa pilkada ini ditandai penandatangan nota kesepahaman antara MA dan MK pada 2008.

Setelah lima tahun lebih mengadili sengketa pilkada, melalui putusan bernomor 97/PUU-XI/2013, MK "melepas" kewenangan mengadili sengketa pemilukada itu yang disinyalir gara-gara merebaknya isu suap dalam penanganan sengketa pilkada di MK. Puncaknya, sejak mencuatnya kasus suap mantan ketua MK Akil Mochtar dalam penanganan sejumlah sengketa pilkada.

Ridwan menilai kewenangan mengadili sengketa pilkada oleh MK akan lebih efektif ketimbang MA. Pasalnya, MA dan pengadilan di bawahnya sudah cukup banyak mengadili dan memutus berbagai jenis perkara termasuk pelanggaran pemilu dan pilkada. "Pengadilan cukup mengadili pelanggaran pidana pilkada dan sengketa tata usaha negaranya yang diperkirakan akan lumayan banyak juga," kata Ridwan.

Selain itu, dari sisi keamanan proses persidangan sengketa pilkada di MK lebih aman dan kondusif daripada pengadilan di daerah. Sebab, MK hanya ada di ibukota yang pengerahan aparat keamanan lebih mudah, cepat dan kuat, serta mobilisasi massa pendukung pihak yang bersengketa tidak mudah ke ibukota.

Sebaliknya, pengalaman penanganan sengketa pilkada pengadilan di daerah akses demonstran massa pendukung lebih dekat dan mudah ke lokasi tempat persidangan. Kondisi seperti ini, kata Ridwan, rentan/riskan terjadi bentrokan antar pendukung pasangan calon kepala daerah yang sedang bersengketa. "Jaminan faktor keamanan dalam persidangan minim dan potensi ancaman pengrusakan aset gedung pengadilan cukup tinggi karena pengamanan terbatas," lanjutnya.

"Dulu, saya sendiri pernah mengadili sengketa hasil pilkada saat bertugas di pengadilan tingkat kabupaten. Kita terus-menerus didemo secara brutal, bahkan di teror. Soalnya, para pihak semua pengen menang. Jadi, saya pikir MK lebih tepat," tutupnya.
Tags:

Berita Terkait