MA Rancang Ulang Cetak Biru Pembaharuan
Utama

MA Rancang Ulang Cetak Biru Pembaharuan

Blueprint MA yang dibuat pada 2003 lalu akan diperbaharui lagi. Alasannya karena target telah tercapai dan ada beberapa permasalahan yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Fokusnya bukan lagi pada pembaharuan MA, tetapi juga pembaharuan di lembaga peradilan di bawahnya.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Di acara inilah diharapkan muncul ide-ide baru untuk menciptakan peradilan modern, ujarnya. Sehingga, harapnya, peradilan Indonesia dapat dihormati dan disegani oleh negara-negara lain.

 

Koordinator Tim Pembaharuan Paulus Effendy Lotulung menyatakan desain ulang cetak biru ini dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman. Rekomendasi yang dituangkan di dalam cetak biru Pembaruan 2003 sebagian telah dilaksanakan atau dicapai, sebagian lagi sedang dijalankan, sebagian lagi sudah tidak up to date, ujarnya.  

 

Paulus sempat mempresentasikan rekomendasi cetak biru 2003 yang telah tercapai. Salah satu capaian terbesar adalah dengan keluarnya Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No. 144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan. Dari SK KMA ini, keluarlah produk-produk yang mendukung transparansi seperti, website www.putusan.net, transparansi anggaran dan keuangan dengan sistem biaya perkara melalui bank, informasi perkara melalui sistem teknologi informasi dan sebagainya. 

 

Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara ini menjelaskan ada perbedaan fokus antara cetak biru Tahun 2003 dengan cetak biru yang akan segera dikeluarkan ini. Kami tak akan fokus pada MA saja, tapi juga pada lembaga peradilan dibawahnya, ujar Paulus. Ia memang menyadari cetak biru yang ada selama ini baru memfokuskan pembaruan di tingkat MA, belum di peradilan tingkat bawah.   

 

Kehadiran para pakar memang diharapkan dapat berbagi pengalaman untuk berbicara reformasi pengadilan. Bapak-bapak diundang untuk memberi masukan strategi perubahan jangka panjang, ujar Paulus. Target pencapaian cetak biru yang sedang dirancang ini memang tidak pendek. Ini sampai tahun 2030, tegas Harifin. Ia mengatakan program akan dimulai pada 2010. Kemudian, akan terus berlanjut secara bertahap. Setiap tahapan akan memakan waktu lima tahun. 

 

Tiga Masalah Utama

Para pakar yang dihadirkan secara bergantian menguraikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga peradilan. Sofyan Effendy menyoroti masalah anggaran. Ia menilai anggaran untuk lembaga peradilan sangat kecil, yakni hanya sekitar 0,3% dari APBN. Bahkan, untuk setiap pengadilan negeri hanya mendapat Rp25 juta per tahun. Bagaimana PN bisa membayar operator IT kalau anggarannya cuma Rp25 juta, ujar Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

 

Selain itu, Sofyan juga menyoroti Sunber Daya Manusia di lingkungan peradilan yang masih minim, baik pegawai maupun hakimnya. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu penyebabnya. Dari data yang didapatnya, ada 98% hakim lulusan S1 dan hanya ada 2% hakim yang lulus S2 maupun S3.

Tags: