MA Menilai Aturan Pidana Korporasi Belum Jelas
Utama

MA Menilai Aturan Pidana Korporasi Belum Jelas

Beberapa hakim MA mengeluhkan masih sedikitnya aturan hukum, baik secara materil dan acara, yang mengatur secara jelas pidana terhadap korporasi.

ALI SALMANDE/FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Hakim MA mengeluhkan minimnya aturan hukum tentang pidana korporasi. Foto: SGP
Hakim MA mengeluhkan minimnya aturan hukum tentang pidana korporasi. Foto: SGP

Para hakim Mahkamah Agung (MA) sepakat atas penerapan aturan pemidanaan terhadap korporasi. Namun, aturan yang berlaku saat ini dinilai masih belum jelas. Demikian kesimpulan para hakim kamar pidana dalam pertemuan di Gedung MA, Selasa (30/7).

Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar mengatakan selama ini masih sering menjadi pertanyaan di kalangan para hakim bahwa aturan peraturan perundang-undangan memang memungkinkan korporasi dipidana dalam kasus korupsi, tetapi aturan itu masih belum jelas.

“Ada kelemahan dalam hukum acara kita. Bila pidana penjara, siapa yang bertanggung jawab, Dirut-nya atau siapa? Bagaimana bila person-nya begitu banyak?” ujar Artidjo menyebut beberapa pertanyaan yang belum terjawab.

Dalam pertemuan kamar, Hakim Agung Surya Jaya yang memaparkan Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meski begitu, ketentuan pidana korporasi ini masih belum cukup jelas bagi para hakim sehingga jarang sekali ketentuan ini digunakan.

“Pengaturan sanksi pidana bagi korporasi dalam beberapa undang-undang harus disempurnakan (masuk ke dalam KUHP),” ujarnya.

Selain itu, Surya berpendapat pemidanaan terhadap korporasi ini harus lebih difokuskan kepada pidana denda, dibanding pidana penjara. “Untuk mengefektifkan denda tidak harus digantungkan pada pidana subsidair, melainkan upaya aparat hukum melakukan penyitaan harta kekayaan terdakwa,” jelasnya.

UU No.31 Tahun 1999
Pasal 20

(1)   Dalam hak tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2)   Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan para hakim harus bisa melakukan terobosan bila peraturan perundang-undangan belum memadai untuk memidanakan korporasi. Meski begitu, ia mengakui bila jaksa maupun KPK masih jarang mendakwa korporasi dalam kasus korupsi. Ia berjanji KPK akan mulai menerapkan ini.

“Soal pidana korporasi ini bukan hanya sekedar diskusi lagi, tetapi sedang tahap uji coba. Kami akan sempurnakan gagasan yang berkembang,” ujarnya.

Dakwaan
Surya Jaya mengatakan untuk menjerat korporasi secara pidana sebaiknya jaksa penuntut umum menggunakan satu berkas perkara. “Jadi dibuat, terdakwa I direkturnya, dan terdakwa II korporasinya. Bila berkas dibuat secara terpisah, dikhawatirkan akan ada disparitas (perbedaan) putusan,” ujarnya.

Hakim Ad Hoc Tipikor di MA Leopold Hutagalung mengatakan bila jaksa ingin menuntut korporasi maka dakwaan harus jelas. Layaknya subjek hukum yang lain (seperti manusia) maka identitas korporasi harus jelas. “Jangan samar. Harus cermat supaya dakwaan tak gagal (tidak dapat diterima oleh hakim,-red),” jelasnya.

Hakim Ad Hoc Tipikor di MA Krisna Harahap mengatakan hakim hanya bisa memidanakan korporasi bila jaksa memasukannya ke dalam surat dakwaan. Ia mencontohkan perkara BillY Sindoro yang bisa saja menjerat pidana korporasi, tetapi jaksa tidak mendakwa korporasi yang terlibat.

“Kalau tak dididakwakan, sulit juga bagi kami untuk mengada-ada. Misalnya perkara Billy Sindoro. Jaksa Penuntut Umum harus terampil. Jangan terlalu harapkan hakim selalu menerobos. Kalau terlalu sering menerobos undang-undang, kepala nanti bisa terbentur,” selorohnya.

Krisna mengaku bahwa ada harapan agar hakim sebagai penemu hukum melakukan terobosan dalam putusannya. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan bila memang tak ada peraturannya sama sekali. Dalam konteks pidana korporasi ini, peraturannya ada tetapi ada benturan dengan aturan yang lain.

“Harus ada konsistensi dan landasan yang solid dari hukum untuk mempidanakan korporasi. Hukum kita saat ini masih seperti rimba. Betul-betul harus dibenahi agar hakim bisa menangani secara baik pula,” ujarnya.

Beberapa hakim dalam pertemuan ini mengeluhkan masih sedikitnya aturan hukum, baik secara materil dan acara, yang mengatur secara jelas pidana terhadap korporasi. Aturan yang tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) hingga ayat (7) UU Tipikor masih dianggap belum jelas.

“Ya, nanti kami akan membuat petunjuk dalam bentuk SEMA (Surat Edaran MA) atau Perma (Peraturan MA),” pungkas Artidjo.

Tags: