MA Luruskan Kekeliruan Persepsi Kasus Baiq Nuril
Utama

MA Luruskan Kekeliruan Persepsi Kasus Baiq Nuril

MA mempersilakan jika Baiq Nuril mengajukan amnesti atau grasi kepada Presiden Jokowi.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto : ASH
Gedung MA. Foto : ASH

Polemik kasus Baiq Nuril kembali bergulir pasca Majelis MA menolak permohonan peninjauan kembali (PK). Putusan PK bernomor 83 PK/Pid.Sus/2019 ini menyebutkan putusan kasasi MA yang dinilai mengandung kekhilafan/kekeliruan hakim yang nyata, tidak dapat dibenarkan.

 

Karenanya, putusan kasasi MA yang menghukum Baiq Nuril selama 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta tetap berlaku. Dalam putusan kasasi, Baiq terbukti menyebarkan konten yang mengandung kesusilaan sudah tepat dan benar seperti diatur Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

“Dalam pertimbangannya, putusan judex jurist tersebut dianggap sudah tepat dan benar,” ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat memberi keterangan pers di Gedung MA Jakarta, Senin (8/7/2019).

 

Dalam putusan kasasi, Baiq Nuril dinyatakan bersalah karena merekam pembicaraan via telepon seluler antara Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim dengan Baiq Nuril, ketika Muslim menelepon Nuril yang dianggapnya sebagai pelecehan seksual oleh atasannya itu. Rekaman tersebut kemudian disimpan Baiq Nuril dan diserahkan kepada Imam Mudawin selaku saksi dalam perkara ini.

 

Imam kemudian memindahkan bukti rekaman tersebut dan disimpan secara digital di laptop-nya hingga tersebar luas. “Terdakwa yang menyerahkan telepon seluler miliknya kepada orang lain, kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen elektronik yang berisi pembicaraan bermuatan kesusilaan yang tidak dapat dibenarkan. Atas alasan tersebut permohonan PK terdakwa ditolak," kata Andi.

 

Atas putusan PK itu, MA kembali dikritik oleh sebagian kalangan masyarakat. Bahkan, sejumlah pihak dan organisasi masyarakat sipil mendesak Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril ketimbang grasi. Sebab, syarat mendapatkan grasi sangat terbatas yakni bagi terdakwa yang divonis minimal dua tahun penjara, seumur hidup, dan hukuman mati. Sedangkan pidana yang dijatuhkan kepada Baiq hanya 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.

 

Meski begitu, MA mempersilakan Baiq mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi sebagai kepala negara sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) UUD Tahun 1945. Nantinya, Presiden sebelum memutuskan apakah grasi dikabulkan atau tidak, terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan atau pendapat MA. “Silakan saja ajukan grasi ke presiden, nanti MA juga akan mempertimbangkan,” kata Andi.  

 

Sementara itu, dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Tahun 1945 disebutkan permohonan amnesti dan abolisi juga menjadi kewenangan presiden RI selaku kepala negara. Namun sebelum presiden memutuskan apakah amnesti/abolisi diterima atau ditolak, terlebih dahulu mendengar pertimbangan atau pendapat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Ini (amnesti) bukan kewenangan MA,” lanjutnya. Baca Juga: MK Tolak PK Baiq Nuril, Presiden Didesak Berikan Amnesti

 

Andi juga meluruskan tudingan jika MA sendiri tidak melaksanakan Perma No. Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dia menerangkan dalam konteks kasus ini, Baiq Nuril sebagai terdakwa, bukan sebagai saksi atau korban.

 

Dalam Perma itu, yang dimaksud dengan perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik hukum sebagai saksi korban atau perempuan sebagai pihak. “Dalam perkara berproses ini, perempuan sebagai terdakwa, bukan sebagai korban. Kalau dia sebagai korban, ya tentunya ada jalur hukumnya, dia (Baiq) bisa melaporkan kepada penyidik polisi,” katanya.

 

Dua perkara berbeda

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah merasa telah terjadi kekeliruan dalam persepsi masyarakat ketika menanggapi perkara Baiq Nuril ini. “Ada beberapa kekeliruan yang viral, seperti tindak pidana yang diatur dalam UU ITE dan kasus pelecehan seksual yang dicampur aduk, itu adalah dua perkara berbeda yang seharusnya dipisah,'' ujar Abdullah dalam kesempatan yang sama.

 

Abdullah menegaskan perkara yang diadili dan telah diputus oleh MA (inkracht) terkait dengan UU ITE mengenai penyebaran konten berupa rekaman pembicaraan. Dalam kasus ini, Baiq Nuril merupakan terdakwa kasus pelanggaran UU ITE karena terbukti menyebarluaskan informasi yang dalam telepon selulernya terkait pihak lain dan dianggap merugikan.

 

”Mau diapakan rekaman itu, itulah tipu muslihatnya. Kenapa orang lain sampai tahu ada rekaman itu, itulah yang harus dipertanyakan karena berarti ada penyebaran informasi,'' kata Abdullah.

 

Terkait dengan perkara pelecehan seksual yang dipermasalahkan banyak pihak, menurut Abdullah, perkara itu memang sudah dilaporkan ke Polda Nusa Tenggara Barat, tetapi berkas perkara pelecehan seksual itu belum diserahkan kepada pengadilan. “Hingga saat ini masih dalam penyidikan, berkas bahkan belum diserahkan ke pengadilan,” ujarnya.

 

Dia enggan menanggapi kemungkinan adanya fakta baru yang diungkapkan dalam perkara pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril. “Saya tidak mau berandai-andai, apalagi itu adalah perkara yang berbeda, mengingat yang satu (perkara UU ITE) sudah diadili dan diputus hingga tingkat PK. Sementara yang banyak diperbincangkan publik adalah perkara pelecehan seksualnya. Ini hal yang berbeda dan kekeliruan ini yang menjadi viral,” katanya.

Tags:

Berita Terkait