MA Gagas Sita Jaminan untuk Perkara Korupsi
Utama

MA Gagas Sita Jaminan untuk Perkara Korupsi

Pakar Hukum Acara Pidana menilai langkah ini tidak tepat.

ALI/M-14
Bacaan 2 Menit

Sita Jaminan

Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan atau dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut.

Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan (conerveer) oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon atau tergugat.

Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang disita tersebut adalah tidak sah dan dapat dikenakan pidana Pasal 231 dan Pasal 232 KUHP.

Sumber: www.hukumpedia.com


Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Kebijakan Hukum Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menyambut baik wacana ini. Salah satu keuntungan dari konsep ini adalah untuk menghindari kongkalikong antara jaksa dan terpidana di akhir tahanan.

“Kalau sudah disita dari awal (bisa sejak penyidikan atau penuntutan), maka jaksa nggak bisa kongkalikong lagi dengan mengatakan bahwa aset terpidana sudah tidak ada. Padahal, sebenarnya masih ada,” ujarnya.

Meski sita jaminan dikenal dalam konsep hukum acara perdata, tetapi menurutnya tetap relevan untuk diterapkan dalam kasus korupsi.

Pakar Beda Pendapat
Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir tak sependapat dengan upaya memasukkan konsep sita jaminan ke penanganan perkara korupsi. Ia menilai sita jaminan itu berada di ranah perdata, bukan di ranah pidana.

Lebih lanjut, Mudzakkir menjelaskan penanganan perkara pidana harus tunduk kepada prinsip-prinsip hukum pidana. Dia menjelaskan bila seseorang memilih untuk menjalani pidana subsider dibanding membayar uang pengganti, itu harus dihargai.

“Maksud saya harus dihargai itu, itu kan pilihan. Hak untuk merampas kemerdekaan orang lain (memenjarakan,-red) itu kan luar biasa,” ujarnya kepada hukumonline.

Lebih lanjut, Mudzakkir menilai negara tak boleh menghukum seseorang hanya karena emosi atau kebencian. Penghukuman harus berdasarkan dasar hukum dengan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan hukum pidana. “Jadi tidak dengan emosi. Koruptor itu memang salah dan melanggar, tapi tegakkan hukum secara tenang,” tuturnya.

Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhmad Budi Cahyono berpendapat tak masalah bila menggunakan konsep sita jaminan dalam perkara pidana. Karena pada prinsipnya, sita jaminan digunakan untuk menjamin pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan prestasi.

“Intinya kalau sita jaminan itu untuk menjamin pelaksanaan kewajiban. Jadi, secara umum sih bisa diterapkan di pidana juga untuk menjamin kewajiban-kewajiban. Kalau di perdata kan, kewajiban debitur untuk melaksanakan prestasi. Nah, kalau di pidana kan kaitannya dengan korupsi kewajiban terpidana untuk membayar uang pengganti,” pungkasnya lewat sambungan telepon.

Tags:

Berita Terkait