MA Dukung Badan Khusus Tangani Sengketa Pilkada
Utama

MA Dukung Badan Khusus Tangani Sengketa Pilkada

Badan khusus sengketa pilkada butuh kajian serius dan mendalam.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

MA kembali menyatakan keberatanya apabila sengketa pemilihan kepala daerah kembali ditangani pengadilan di bawah MA. Sebab, saat ini beban tugas pengadilan sudah cukup berat dengan berbagai jenis perkara. Karena itu, MA sepakat dan mendukung apabila penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) ditangani sebuah badan khusus.

“Saya kira itu (sengketa pilkada) tidak harus semuanya ke pengadilan karena tugas dan pekerjaan pengadilan sudah luar biasa banyak. Jadi kita dukung kalau wacana badan khusus yang bisa menangani sengketa pilkada,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Manyur di Gedung MA, Jum’at (19/6). 

Ridwan menegaskan selain perkara lain, pengadilan sudah banyak dibebani penyelesaian tindak pidana pemilu legislatif dan sengketa TUN terkait pelaksanaan pemilu dan pilkada. Terlebih, MA barus saja menerbitkan Perma No. 3 Tahun 2014 tentang Penunjukan Hakim Khusus Perkara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Jadi selain menangani pidana pemilu legislatif, pengadilan juga menangani pidana pilpres dengan hakim khusus di tingkat negeri dan pengadilan tingkat banding. 

Menurut dia, kalau nantinya kewenangan sengketa pilkada menjadi kewenangan MA lagi akan sangat menyulitkan posisi pengadilan di daerah. Apalagi, potensi konflik antar pendukung yang saling bersengketa sangat besar. Di sisi lain, dari infranstruktur pengadilan yang kecil dan sistem keamanan belum memadai, seperti MK.

“Pengadilan pun belum punya UU Contempt of Court terkait batasan massa pendukung yang demo seperti apa? Apakah massa pendukung boleh masuk ke ruang pengadilan? itu tidak ada aturannya. Ini akan menjadi potensi gangguan atau ancaman hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara itu,” dalihnya.

Karena itu, kata Ridwan, adanya badan khusus penyelesaian sengketa pilkada yang bersifat ad hoc (tidak permanen) bisa menjadi solusi terbaik. Hakim-hakimnya memeriksa sengketa pilkada pun bersifat ad hoc, tidak harus direkrut sepanjang tahun. Terlebih, pelaksanaan pilkada akan digelar secara serentak mulai dimulai 2020. Misalnya, bisa meniru model Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

“Badan khusus ini sifatnya sesaat bisa di bawah Kemendagri atau badan lain yang terkait dengan pemilu. Buktinya, Bawaslu bisa menyelesaikan perselisihan yang terjadi,” katanya. “Sehingga ini harus dipikirkan secara matang.”   

Untuk diketahui, melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU Pemda dan UU Kekuasaan Kehakiman mengenai kewenangan sengketa pilkada. MK menyatakan bahwa dirinya tak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada. Lalu, menyerahkan persoalan ini kepada DPR untuk menentukan lembaga yang tepat menangani sengketa ini. Alhasil, dalam RUU Pilkada yang tengah dibahas pemerintah dan DPR, menyebut adanya pengalihan sengketa pilkada dari MK ke MA melalui pengadilan tinggi. 

Sebelumnya, mantan Ketua MA Bagir Manan juga berpendapat senada terkait perlunya sebuah badan khusus yang menangani sengketa pilkada ini. “Saya termasuk yang menganjurkan lebih baik dibuat lembaga khusus saja. Jadi lembaga itu menyelesaikan secara khusus sengketa pilkada. Sebab, pilkada kan ada unsur politik dan macam-macamnya. Sama saja nanti kalau dibawa ke MA lagi, ada ‘penyakit’ lagi,” kata Bagir.

Awalnya penangangan sengketa pilkada ditangani oleh MA dan peradilan di bawahnya. Sebab, MK hanya diamanatkan menangani sengketa pemilihan umum (legislatif dan presiden) seperti diatur Pasal 24C UUD 1945. Sementara sengketa pilkada tidak disebut dalam UUD 1945, sehingga dianggap tidak masuk dalam rezim pemilu, tetapi rezim pemerintahan daerah.

Namun, dalam perkembangannya, tafsir ini berubah. DPR dan Pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 2008 yang menyerahkan kewenangan itu kepada MK, sehingga sengketa pilkada masuk rezim pemilu. Uniknya, setelah 6 tahun menangani sengketa pilkada, MK justru berbalik yang memutuskan dirinya tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada karena tidak masuk rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945.  

Tetap MK
Terpisah, Deputi Direktur Perludem Veri Junaidi sebenarnya berharap kewenangan sengketa pilkada tetap ditangani MK. Tetapi, MK sendiri yang membatalkan ketentuan yang mengatur kewenangan itu, tentunya perlu dipikirkan lagi bagaimana desain dan mekanisme penyelesaian yang dilakukan badan khusus itu.

“Tidak mungkin jika kewenanagan itu diserahkan begitu saja ke MA dengan penumpukan perkara dan penataan yang sedang dijalankan,” kata Veri.

Karena itu, lanjutnya, desain badan khusus penyelesaian sengketa pilkada harus sejalan dengan desain penegakan hukumnya. Lembaga khusus ini, nantinya khusus menangani kepemiluan termasuk sengketa pilkada di dalamnnya. “Lembaga khusus ini mirip dengan pengadilan Tipikor. Tetapi, ini memang butuh kajian serius dan mendalam,” katanya.

Tags: