MA Diminta Ubah Perma 3/2019 Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja, Ini Alasannya
Utama

MA Diminta Ubah Perma 3/2019 Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja, Ini Alasannya

Dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan PP 44/2021, Perma 3/2019 kehilangan dasar hukum sehingga harus segera direvisi.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Webinar Hukumonline bertema Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja, Rabu (30/6). Foto: RES
Webinar Hukumonline bertema Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja, Rabu (30/6). Foto: RES

Pemerintah lewat UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan melakukan beberapa perubahan terkait proses penegakan hukum di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Salah satunya adalah pengajuan keberatan, yang dalam rezim UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dimohonkan ke Pengadilan Negeri.

Sementara rezim UU Ciptaker mengatur keberatan dimohonkan ke Pengadilan Niaga yang secara detail diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun  2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP 44/2021).

Dalam webinar publik Hukumonline dengan tema “Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja”, Rabu (30/6), sejumlah ahli hukum menyampaikan masukan salah satunya adalah perubahan terhadap Peraturan Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi PengawasPersaingan Usaha (Perma 3/2019).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Ningrum Natasya Sirait, mengatakan bahwa perubahan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 pasca UU Cipta Kerja menimbulkan beberapa  perubahan terkait hukum acara upaya keberatan di Pengadilan Niaga. Atas dasar itu, diperlukan adanya perubahan terhadap Perma 3/2019 agar memberikan kepastian hukum bagi para stakeholder.

Menurut Ningrum, banyak hal yang harus menjadi perhatian bagi KPPU maupun MA ketika proses keberatan dilimpahkan ke Pengadilan Niaga. Selain menyoal jumlah dan kompetensi hakim, Pengadilan Niaga juga tidak memiliki Panitera dan jumlah terbatasnya ketersediaan Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia.

Jika proses keberatan dipindahkan ke Pengadilan Niaga, muncul persoalan lain yakni bagaimana bila pelaku usaha berdomisili tidak dalam yurisdiksi pengadilan niaga. (Baca: KPPU Diingatkan Due Process of Law dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha)

“Pengadilan Niaga itu tidak punya panitera, lucu saya membayangkan Pengadilan Niaga kirim berkas ke KPN, kirim ke diri sendiri. Semua hal hal ini perlu diatur dan di harmonisasikan mulai dari lembaga KPPU apakah melalui Peraturan Komisi/Pedoman KPPU. Demikian juga dengan perubahan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA),” kata Ningrum.

Atas dasar itu pula Ningrum menilai perlunya Pedoman/Petunjuk Pelaksanaan bagi Kepaniteraan dalam menjalankan administrasi Keberatan terhadap Putusan KPPU, serta perubahan Perma 3/2019 sebagai pedoman pelaksanaan bagi kepaniteraan di Pengadilan Niaga.

Kemudian terkait Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa. Ningrum menegaskan bahwa PK sebenarnya sudah inheren menjadi hak dalam rangka mencari keadilan, oleh karena itu tidak tepat  apabila terdapat larangan pengajuan PK dalam perkara persaingan usaha. Apalagi sebelumnya sudah terdapat banyak putusan Mahkamah Agung yang menerima pengajuan PK dalam perkara persaingan  usaha.

Selain hal di atas, Ningrum juga menekankan adanya pembayaran denda administratif termasuk  pemberian jaminan bank jangan dipandang sebagai pengajuan atas kesalahan, melainkan sebagai  iktikad baik terlapor dalam menghormati proses perkara apalagi bila selanjutnya sudah tidak  tersedianya upaya hukum lain yang seharusnya tetap bisa dilakukan sebagaimana dijamin Undang-Undang.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Hakim Agung, Susanti Adi Nugroho, menjelaskan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan terhadap aspek formil maupun materiil. Oleh karena itu, baik  Terlapor maupun KPPU perlu diberikan kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti tambahan dalam  mendukung dalil-dalil yang disampaikan oleh para pihak di tingkat Pengadilan Niaga.

Susanti menambahkan bahwa persyaratan untuk menyerahkan jaminan bank maksimal sebesar 20% dari  nilai denda untuk mengajukan upaya hukum keberatan tidak dapat dianggap sebagai pengakuan atas  kesalahan dari pelaku usaha terhadap Putusan KPPU, melainkan sebagai pemenuhan persyaratan pelaku  usaha yang ingin mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU.

Susanti mencermati bahwa sering timbul pertanyaan apakah upaya hukum kasasi sebagai upaya hukum  terakhir pada perkara persaingan usaha dalam peraturan mahakamah agung sebelumnya. Susanti menanggapi bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam undang-undang yang melarang pengajuan PK.

Oleh karena itu, dalam perubahan Peraturan Mahkamah Agung yang baru, perlu ada jaminan pelaku  usaha dapat mengajukan PK dalam perkara persaingan usaha sepanjang memenuhi persyaratan yang  ditentukan.

“KPPU diharapkan konsisten dalam menerapkan UU No 5/1999, yaitu ketentuan yang dilanggar dan sanksinya harus konsisten. Maksimalkan sosialisasi kepda pelaku usaha dan masyarakat luas. Dan tentang sanksi denda dan hukuman, agar dikaji kembali, agar lebih mencerminkan keadilan,” ujarnya.

Hal senada juga diutarakan Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 Suparman Marzuki. Menurutnya dengan perubahan UU Ciptaker dan PP 44/2021, Perma 2/2019 kehilangan dasar hukum. Apalagi ketentuan dalam Perma 3/2019 juga bertentangan dengan PP 44/2019.

Menurutnya hukum acara perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seharusnya diatur dalam UU tidak dengan Perma, tetapi untuk mengatasi kekosongan hukum dimungkinkan dengan Perma dengan beberapa catatan yakni tidak mengabaikan due process of law, tidak membuat norma yang menyimpang dari UU, dan tidak membuat norma substantif yang menganulir hak-hak upaya hukum.

Selain itu Suparman menilai adanya potensi konflik kepentingan antara Komisioner KPPU dengan semua temuan investigator yang  disebabkan oleh adanya multi peran yang dijalankan oleh KPPU.

Hal ini terlihat dari investigator yang ditugaskan melakukan kegiatan penyelidikan dan penuntutan pada proses pemeriksaan, merupakan subordinat yang bekerja atas perintah dari Komisioner KPPU. Kondisi tersebut bertentangan prinsip-prinsip  due process of law serta berpotensi menimbulkan proses persidangan yang sesat di tingkat KPPU.

Kondisi ini yang meyakinkan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini bahwa  upaya keberatan memiliki peran penting dalam memberikan keadilan pada semua pihak, baik KPPU  maupun para terlapor. Tujuannya tidak lain agar Pengadilan Niaga perlu memberikan kesempatan yang  luas kepada pelaku usaha yang hendak menguji Putusan KPPU di Pengadilan Niaga.

Pentingnya due process of law dalam perkara persaingan menurut Suparman menjadi penting karena  ketentuan UU Cipta Kerja sangat berpotensi menghasilkan potensi denda yang besar  mempertimbangkan tidak adanya batasan pengenaan denda maksimum oleh KPPU. Oleh karena itu,  setelah berlakunya UU Cipta Kerja dan PP 44/2021, sudah seharusnya Mahkamah Agung meninjau  kembali Perma No. 3/2019 karena sudah tidak relevan lagi.

Tags:

Berita Terkait