MA Diminta Kaji ulang Perma Tipiring
Berita

MA Diminta Kaji ulang Perma Tipiring

Ketua MA M Hatta Ali merasa bingung melihat respons publik terhadap Perma No 2 Tahun 2012.

ash
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali merasa bingung lihat respons publik terhadap Perma No 2 Tahun 2012. Foto: SGP
Ketua MA M Hatta Ali merasa bingung lihat respons publik terhadap Perma No 2 Tahun 2012. Foto: SGP

Ada yang mendukung, ada yang mengkritik. Begitulah respons yang muncul terhadap langkah Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Perma No 2 Tahun 2012. Advokat senior Adnan Buyung Nasution masuk kalangan yang mengkritik.

Menurut Buyung, penerbitan Perma berjudul Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP itu terlalu terburu-buru. MA dinilai terlalu responsif terhadap kritikan masyarakat terkait penanganan kasus-kasus kecil yang kontroversial
, seperti kasus pencurian sandal jepit yang menghukum AAL (15) atau Mbok Minah yang mencuri kakao.

Padahal, Buyung memprediksi penerapan Perma ini akan menimbulkan persoalan baru. Sebab, kenaikan nilai denda atau kerugian dalam tindak pidana ringan (tipiring) maksimal sebesar Rp2,5 juta tak bisa disamakan antara satu daerah dengan daerah lainnya.


“Terbitnya Perma ini tak bisa diterapkan secara serta merta karena tingkat penghasilan setiap daerah berbeda-beda. Di Jakarta Rp2,5 juta mungkin tidak ada artinya, tetapi di daerah-daerah pelosok jumlah itu memiliki nilai yang besar,” kata Buyung saat ditemui di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (1/3).

Ia mencontohkan kalau ada sesorang yang mencuri jemuran, beras, ayam hingga kambing yang nilainya kurang dari Rp2,5 juta, apakah dia tidak perlu ditangkap, dan ditahan jika perbuatan itu dilakukan berulang-ulang?

“Ini kan akan menimbulkan keresahan dan kemarahan masyarakat jika dia ditangkap, terus dilepas lagi, terus mengulangi perbuatannya, efeknya masyarakat bisa main hakim sendiri, nanti kasihan polisi kita karena harus melepas orang gara-gara barang yang diambil nilainya kecil. Jadi kita harus melihat persoalan ini secara berimbang (masyarakat dan korban, red),” jelas Buyung.

Karena itu, menurutnya, Perma ini perlu dikaji ulang terkait besaran nilai denda atau nilai kerugian dari tipiring yang ditetapkan maksimal Rp2,5 juta. Penahanan bagi pelaku tipiring sebenarnya masih diperlukan untuk melindungi si pelaku juga dari tindakan penghakiman dari masyarakat.

“Di daerah-daerah masih banyak orang yang penghasilannya hanya Rp500-600, ini akan menimbulkan persoalan yang besar dan dampak negatif karena orang yang mencuri/menggelapkan barang yang nilainya bawah Rp2,5 juta akan seenaknya lantaran tak ditahan, ini bisa membuat masyarakat bertindak main hakim sendiri, seperti yang terjadi di Medan pelaku dibakar hidup-hidup,” ujarnya mencontohkan.   

Meski demikian, ia memahami bahwa nilai filosofis terbitnya Perma ini didasarkan rasa keadilan dari sisi si pelaku tipiring. “Saya bisa memahami maksud MA baik untuk melindungi rasa keadilan masyarakat, tetapi respons terbitnya kebijakan Perma MA ini terburu-buru karena belum mencerminkan pemerataan, seharusnya dipikir-pikir terlebih dulu,” kritiknya.

Seperti diketahui, MA baru saja menerbitkan Perma No 2 Tahun 2012 yang mengatur kenaikan nilai uang denda atau nilai kerugian, khususnya kenaikan nilai denda yang tercantum dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penipuan ringan), 379 (penggelapan ringan), 384, 407, dan 482 KUHP yakni sebesar Rp250 menjadi Rp2,5 juta atau mengalami kenaikan sebesar 10.000 kali lipat.

Perma ini untuk menghindari digunakannya pasal pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) terhadap tindak pidana yang diatur pasal 364 KUHP atau pasal sejenis, sehingga tidak perlu ditahan penahanan dan diajukan upaya hukum kasasi. Pemeriksaannya pun dilakukan dengan acara cepat.

B
uah Simalakama
Terpisah, Ketua MA M Hatta Ali mengaku bingung dengan respons masyarakat terkait keluarnya Perma No. 2 Tahun 2012 ini. Sebab, ketika hakim menghukum terdakwa kasus pencurian sandal dan kakao, masyarakat tak ada yang mendukung putusan itu. 

“Mana ada masyarakat yang mendukung putusan itu, hampir semua masyarakat mengkritik meski putusannya sudah berdasarkan fakta. Sekarang kita keluarkan Perma malah terbalik lagi komentarnya, kenapa dulu tak memikirkan korban yang dipikirkan hanya terdakwa agar bebas. Jadi maunya masyarakat ini apa? Ini seperti makan buah simalakama, nanti yang bingung kita semua,” kata pria yang baru saja dilantik sebagai Ketua MA ini.

Ditegaskannya, dikeluarkannya Perma No 2 tahun 2012 ini untuk lebih mengedepankan nilai silaturahimnya terutama antara pelaku dan korban agar terpenuhinya restorative justice (pemulihan keadilan). 

“Karena nilainya (denda atau kerugian) terlalu kecil, lebih bagus ditonjolkan silahturahminya, yang penting pelaku sudah meminta maaf, korban sudah memaafkan, dan ada kemungkinan kerugian korban sudah dibayar atau barang yang sudah diambil sudah dikembalikan,” jelasnya.

Hatta menjelaskan penerapan prinsip restorative justice ini agar keseimbangan dalam masyarakat tidak terganggu, sehingga gangguan kepentingan pelapor, korban, dan masyarakat itu terpenuhi.

“Ini justru merupakan terobosan yang sangat baik jika diterapkan. Desertasi saya juga menyangkut restorative justice yang mengutamakan hubungan silahturahmi agar tetap terjaga dengan baik,” katanya.


Menurutnya, adanya prinsip restorative justice dalam Perma itu agar tidak timbul lagi  seperti kasus sendal jepit, kakao randu, curi piring hingga harus sampai ke tingkat kasasi. “Kasihan hakim agung yang seharusnya menangani perkara besar, harus menangani kasus kecil yang cukup menyita konsentrasi,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa materi Perma Tipiring ini memang belum masuk dalam KUHP dan KUHAP. “Maka dalam desertasi saya menyarankan agar prinsip restorative justice dimasukkan dalam KUHAP dan KUHP supaya punya landasan agar tidak ribut-ribut terus. Ya sebaiknya Perma ini dijalankan saja dulu,” harapnya.   

Tags:

Berita Terkait