MA Diminta Fatwa Keabsahan RUU Pilkada
Utama

MA Diminta Fatwa Keabsahan RUU Pilkada

Permohonan fatwa ini akan dikaji terlebih dahulu dalam rapat pimpinan MA.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Penolakan terhadap UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD terus bergulir. Setelah beberapa elemen masyarakat mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), kini sejumlah organisasi buruh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Pilkada Langsung (Gerpala) meminta fatwa ke Mahkamah Agung (MA) untuk segera membatalkan UU Pilkada yang baru disahkan DPR itu.

“Kami menganggap sidang paripurna itu tidak sah karena melanggar  Tata Tertib DPR, dimana pengambilan keputusan kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR yang hadir, sehingga harus dibatalkan,” ujar Juru Bicara Gerpala Bambang Eka saat ditemui di Gedung MA, (3/10).

Gerpala terdiri dari Serikat Pekerja Nasional, Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo), Tani Merdeka, Ikatan Serikat Buruh Indonesia, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992, Serikat Pekerja Maritim Indonesia, dan Serikat Pekerja Otomotif Indonesia.

Bambang menegaskan proses pengesahan UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR pada Jum’at (26/9) lalu itu dinilai cacat hukum (formal) atau tidak sah karena tidak memenuhi jumlah kuorum pengambilan keputusan di DPR yakni setengah dari jumlah anggota DPR yang hadir. Hal itu dinilai melanggar Pasal 284 ayat (1) Tata Tertib DPR.

Dia mengutip Pasal 284 ayat (1) Tatib yang menyebutkan syarat minimal pengambilan keputusan dalam sidang dianggap sah apabila disetujui setengah dari total anggota yang hadir. Sementara Pasal 284 ayat (2) menyebut anggota yang meninggalkan sidang (walk out) tetap dianggap hadir, tidak mempengaruhi sahnya keputusan dan jumlah daftar yang hadir anggota saat rapat paripurna. “Meski saat itu fraksi Demokrat walkout tetap dihitung sebagai peserta paripurna,” katanya.

Atas dasar itu, Bambang menilai keputusan sidang paripurna yang mengesahkan RUU Pilkada itu sebagai keputusan yang cacat hukum. Sebab, proses pengesahan RUU Pilkada hanya disetujui 226 anggota DPR dari 496 anggota DPR yang hadir. Artinya, keputusan itu dianggap sah apabila disetujui 248 anggota DPR.

“Yang mengambil keputusan itu hanya 226 (anggota). Itu tidak kuorum. Di bawah 50 persen. Karena itu, hasil paripurna tentang pengesahan UU Pilkada batal, tidak sah. Ini mengundang reaksi di berbagai daerah,” beber Ketua Gaspermindo itu.

Dia mengakui sesuai Pasal 284 ayat (2) Tatib DPR itu, bila voting tidak bisa disahkan karena tidak kuorum, keputusan tetap bisa diambil dengan mekanisme musyawarah mufakat. Namun langkah musyawarah tidak tidak diambil oleh pimpinan sidang dan peserta sidang dalam rapat paripurna itu. “Ini sifatnya mendesak supaya MA mengeluarkan fatwa agar UU Pilkada tidak diberlakukan atau batal demi hukum. MA harus segera memberikan jawaban atas permintaan fatwa ini,” pinta Bambang.

Saat dikonfirmasi Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menilai permintaan fatwa itu lebih pada uji materi atas sebuah undang-undang yang merupakan kewenangan MK. Fatwa itu biasanya hanya berupa pengajuan pertanyaan atas permasalahan hukum yang dihadapi perseorangan atau kelompok, bukan materi kasus yang merupakan kewenangan hakim yang memutuskan.

“Kalau materi kebijakan peraturan di bawah undang-undang yang dipersoalkan masuk kewenangan MA dalam bentuk uji materil, tetapi kalau undang-undang yang dinilai tidak sesuai prosedur itu kewenangan MK yang membutuhkan pemeriksaan oleh hakim,” kata Ridwan di Gedung MA. “Fatwa itu hanya semacam konsultasi hukum”.

Meski begitu, permohonan fatwa ini nanti akan dikaji oleh pimpinan MA apakah masuk yurisdiksi MA. “Ini butuh waktu untuk dibahas oleh pimpinan MA, terlepas nantinya diterima atau tidak fatwa ini,” katanya.
Tags:

Berita Terkait