MA Diminta Batalkan Klausula ‘Perjanjian Kawin’
PP Hunian Orang Asing:

MA Diminta Batalkan Klausula ‘Perjanjian Kawin’

PerCa Indonesia berharap PP Hunian Orang Asing ini dibatalkan MA atau memerintahkan Pemerintah mencabut PP ini.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ike Farida (kiri) dan Juliani W Luthan (kanan) menyampaikan pernyataan tentang pendaftaran permohonan HUM atas PP Hunian Orang Asing, di Jakarta, Rabu (9/11). Foto: RES
Ike Farida (kiri) dan Juliani W Luthan (kanan) menyampaikan pernyataan tentang pendaftaran permohonan HUM atas PP Hunian Orang Asing, di Jakarta, Rabu (9/11). Foto: RES
Pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terkait perjanjian kawin, pengurus Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa Indonesia) akhirnya melayangkan uji materi PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Perca mengajukan uji materi Pasal 3 ayat (2) PP Hunian Orang Asing yang sudah didaftarkan ke Mahkamah Agung (MA).

Beleid itu dinilai masih mendiskriminasi warga negara Indonesia (WNI) pelaku kawin campur terkait kepemilikan rumah atau properti yang berstatus hak milik (HM) dan hak guna bangunan (HGB). Sebab, aturan ini masih menyaratkan adanya perjanjian pemisahan harta bagi pelaku kawin campur yang harus dibuat sebelum atau saat perkawinan berlangsung. Padahal, putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 sudah menggariskan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, saat, atau selama perkawinan berlangsung.

“Makanya, kita sepakat mengajukan uji materi Pasal 3 ayat (2) PP Hunian Orang Asing agar selaras dengan putusan MK,” ujar Ketua Pengurus Perca Indonesia, Juliani W Luthan dalam konperensi pers di Jakarta Rabu (09/11). (Baca juga: Terobosan Penting untuk Implementasi PP Hunian Orang Asing).

Pasal 3 ayat (1) PP Hunian Orang Asing menyebutkan “WNI yang melaksanakan perkawinan (campuran) dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya WNI lainnya”. Ayat (2)-nya disebutkan “Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri yang dibuat dengan akta notaris.”

Dalam putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, Mahkamah memaknai perjanjian perkawinan yang pembuatannya lebih fleksibel. Artinya, kini perjanjian perkawinan tidak harus dibuat sebelum atau saat perkawinan, tetapi juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan sesuai kebutuhan hukum masing-masing pasangan suami-istri. Meskipun demikian, MK menekankan asas nasionalitas dalam UUPA, dalam arti hanya WNI yang berhak memiliki tanah di Indonesia.

Juliani mengaku aturan yang sama juga pernah digugat oleh Ike Farida yang juga anggota PerCa Indonesia pada September 2016 lalu. Hanya saja, saat uji materi ini diajukan sebelum terbit putusan MK mengenai perjanjian perkawinan itu. “Permohonan ini diajukan lagi, karena ada putusan MK agar (dalilnya) lebih sempurna,” kata Juliani menegaskan.

Di tempat yang sama, Ike Farida mengatakan putusan MK sudah memberi penegasan perjanjian kawin dapat dibuat sebelum, saat ijab qabul, atau selama masa perkawinan. Sedangkan PP 103 ini yang seharusnya diperuntukkan orang asing, tetapi Pasal 3 ayat (2) justru merugikan WNI pelaku kawin campur karena kepemilikan hak atas tanah disyaratkan mengantongi perjanjian pemisahan harta yang dibuat dengan akta notaris.

“Setelah kita tanyakan ke Pemerintah, Pasal 3 ini merujuk Pasal 29 UU Perkawinan terkait perjanjian pernikahan yang disudah dimaknai bersyarat oleh MK. Jadi, harusnya Pasal 3 PP Hunian Orang Asing ini menyesuaikan dengan putusan MK melalui putusan MA,” kata Ike Farida berharap.

Dalam permohonannya, PP Hunian Orang Asing ini selain dinilai bertentangan dengan putusan MK, juga bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960  tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjamin hanya WNI yang boleh memiliki hak atas tanah. Selain itu, PP Hunian Orang Asing bertentangan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena tidak menyertakan UU Perkawinan sebagai dasar dan juga bertentangan dengan UU HAM.         

“Kita berharap PP Hunian Orang Asing ini dibatalkan MA atau memerintahkan Pemerintah mencabut PP ini. Atau minimal Pasal 3 ayat (2) dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum,” harapnya. (Baca juga: 3 Hal yang Harus Diperhatikan Notaris Terkait PP Hunian Orang Asing).

Dirinya juga mengakui pernah mengajukan judicial review pasal yang sama ke MA pada September 2016. Ini disebabkan gugatan Ike Farida ditolak Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Mei 2016. Dalam gugatannya, Ike Farida meminta pihak pengembang segera menyerahkan unit apartemen yang sudah dibayarnya pada 2012 berikut ganti rugi atas keterlambatan penyerahan.

“Tetapi, alasan Majelis menolak karena saya diharuskan memiliki perjanjian kawin sesuai PP No. 103 Tahun 2015. Bagaimana mungkin Majelis memakai dasar hukum PP 103 yang baru terbit Desember 2015, sementara peristiwa jual belinya pada 2012?”

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur enggan mengomentari subtansi permohonan uji materi PP Hunian Orang Asing ini. Hanya saja, pendaftaran permohonan ini tetap akan diperiksa majelis MA. “Pendaftaran biasa diterima bagian Direktorat Pratalak TUN MA. Lalu, diteruskan kepada pimpinan MA dan Ketua Kamar TUN. Nantinya, Ketua Kamar TUN akan menetapkan tim pemeriksa (majelis, red),” kata Ridwan.
Tags:

Berita Terkait