MA Bukan Penentu Keabsahan Pelantikan Ahok
Berita

MA Bukan Penentu Keabsahan Pelantikan Ahok

Fatwa MA ini tidak akan mengubah status hukum pelantikan Ahok.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA. Foto: Sgp
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA. Foto: Sgp
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan MA bukan satu-satunya lembaga yang menentukan keabsahan pelantikan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi gubernur. Masih ada lembaga lain yang lebih berwenang memberi status hukum menyangkut keabsahan pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta definitif.

“MA bukan satu-satunya lembaga yang memutuskan statusnya Ahok. Masih ada DPRD dan Mendagri sesuai kewenangannya masing-masing,” ujar Ridwan saat dihubungi di Batam, Jumat (07/11).

Ridwan mengatakan hingga saat ini pimpinan MA belum memberikan pendapat apapun terkait permohonan fatwa yang diajukan oleh DPRD DKI soal status hukum pelantikan Ahok menjadi gubernur yang dijadwalkan pada 18 November. MA membutuhkan waktu untuk menjawab permohonan atas fatwa tersebut. “Permohonan fatwa tersebut masih dalam proses pembahasan oleh pimpinan MA,” kata Ridwan.

Meski begitu, kalaupun MA telah memberikan fatwa terkait status hukum pelantikan Ahok sebagai gubernur tidak serta merta menjadi rujukan utama bagi keabsahan Ahok. Sebab, fatwa yang diberikan hanya sebatas pendapat, sehingga legalitas tetap berada pada DPRD dan Mendagri. “Ini semacam alternatif. Tidak bisa dijadikan pedoman atau acuan satu-satunya keabsahan Ahok menjadi gubernur,” kata dia.

Dia menegaskan fatwa MA ini juga tidak mengikat DPRD DKI Jakarta jika nantinya pelantikan dilaksanakan sebelum fatwa MA diberikan. Pelantikan tersebut tetap dianggap sah. “Intinya, fatwa ini juga tidak akan mengubah status hukum pelantikan Ahok atau tidak bergantung fatwa MA,” tegasnya.

Sebelumnya, DPRD DKI Jakarta meminta bantuan konsultasi kepada MA menyangkut pembahasan dan penetapan undang-undang yang digunakan untuk pengangkatan Ahok sebagai gubernur. Soalnya, dalam pembahasan pengangkatan Ahok, ada tiga undang-undang dijadikan acuan.

Ketiga aturan itu adalah Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota(Pilkada), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 173 ayat (1) Perppu Pilkada menyebut gubernur, bupati, walikota yang berhalangan tetap, tidak serta merta (otomatis) digantikan oleh wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota. Sedangkan, Pasal 174 ayat (4) Perppu Pilkada menyebutkan jika sisa masa jabatan gubernur yang berhenti lebih dari 18 bulan, maka pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD.

UU Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak mengatur mekanisme penggantian gubernur atau walikota ketika ada yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Tetapi, mekanisme penggantian kepala daerah dan wakil kepala daerah secara umum diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Misalnya, dalam Pasal 35 UU Pemda disebutkan apabila kepala daerah diberhentikan (berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap), maka wakil kepala daerah menggantikannya sebagai gubernur atau bupati/walikota. Namun, ada anggapan, kedua undang-undang tersebut tidak bisa dijadikan rujukan setelah terbitnya Perppu Pilkada.

Untuk diketahui, keterlibatan MA hanya menyangkut usulan/rekomendasi pemberhentian kepala daerah yang diajukan DPRD. MA berwenang memutuskan pendapat DPRD atas usul perberhentian kepala yang diduga melanggar sumpah janji atau tidak melaksanakan kewajibannya. Mekanisme kewenangan MA memutus rekomendasi pendapat DPRD terkait pemberhentian kepala daerah ini diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Pemda. Seperti, kasus rekomendasi pemakzulan mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang dikabulkan MA.
Tags:

Berita Terkait