MA Beri ‘Sinyal’ Dukung Judicial Review IKAHI
Utama

MA Beri ‘Sinyal’ Dukung Judicial Review IKAHI

Ketentuan SPH menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan sengketa kewenangan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali. Foto: RES
Ketua MA M Hatta Ali. Foto: RES
Mahkamah Agung (MA) memahami kegundahan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang mempersoalkan keterlibatan KY dalam Seleksi Pengangkatan Hakim (SPH) melalui judicial review di MK. Pasalnya, sejak terbitnya tiga paket undang-undang bidang peradilan tahun 2009 yang mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH bersama MA hingga saat ini belum bisa dilaksanakan terkait pengadaan calon hakim di tiga lingkungan peradilan.   
 
“Mengacu ketiga undang-undang itu, kita sudah lima tahun tidak bisa merekrut calon hakim,” ujar Ketua MA M. Hatta Ali saat ditemui di Gedung MA Jakarta, Jum’at (10/4) kemarin.
 
Hatta mengakui sejak terbitnya UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), MA sendiri mengalami kesulitan untuk merekrut calon hakim baru. Karenanya, IKAHI tergerak untuk menguji ketiga undang-undang itu. Terlebih, IKAHI memandang dalam konstitusi tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH.
 
“Ternyata di konstitusi kewenangan KY kan sudah jelas (mengawasi hakim dan seleksi calon hakim agung). IKAHI yang lebih merasakan dampak tidak adanya penerimaan hakim selama bertahun-tahun. Seperti, kesulitan mutasi dan promosi hakim, hakim tidak bisa bergeser sebelum ada penerimaan hakim baru.”
  
Ditanya nasib draft Peraturan Bersama (Perba) tentang Mekanisme SPH yang tinggal menunggu penandatanganan kedua lembaga, Hatta Ali enggan mengomentari. “Kita menyerahkan sepenuhnya kepada IKAHI, karena ini kepentingan para hakim seluruh Indonesia,” tegasnya.           
 
Meski begitu, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk mengadili dan memutuskan uji materi ketiga undang-undang itu. “Kita bukan persoalan mendukung atau tidak mendukung, yang pasti kita serahkan sepenuhnya kepada lembaga yang mengadilinya,” katanya.
 
Ketua Umum IKAHI Imam Soebechi menegaskan pihaknya hanya ingin meluruskan kewenangan KY sesuai konstitusi yakni mengawasi hakim dan rekrutmen calon hakim agung, bukan seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. “Kenapa KY mau ikut-ikut terlibat SPH? Jadi, intinya permohonan kita hanya ingin meluruskan,” ujar Soebechi di tempat yang sama.
 
Dia mengungkapkan persidangan pemeriksaan pendahuluan permohonan ini telah dijadwalkan pada 15 April 2015. “Sidang perdana, Insya Allah akan digelar 15 April di MK,” kata dia.
 
Legal policy
Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menilai pengujian ketiga undang-undang peradilan ini menyangkut kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang alias open legal policy. Sebab, dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terdapat frasa “wewenang lain” dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
 
“Itu (wewenang lain) bisa saja, kewenangan KY ditambah melalui undang-undang,” ujar Arsil saat dihubungi hukumonline, Sabtu (11/4).
 
Meski begitu, menurutnya akar persoalan dalam ketentuan SPH ini tidak jelas pembagian kewenangan antara MA dan KY dalam hal rekrutmen hakim ini. Alhasil, ketidakjelasan ini menimbulkan konflik. “Bagaimana peran MA dan KY? Siapa yang menentukan formasi kebutuhan hakim, itu tidak jelas. Akibatnya, timbul tarik-menarik kewenangan,” ungkapnya.
 
“Yang pasti, frasa ‘diatur lebih lanjut oleh MA dan KY’ dalam undang-undang itu yang menjadi sumber masalahnya,” tambahnya.  
 
Dengan begitu, lanjutnya, persoalan ini bukan isu KY berwenang atau tidak dalam SPH bersama MA, tetapi lebih disebabkan ketentuan SPH menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan sengketa kewenangan antara MA dan KY. “Intinya, rumusan yang mendelegasikan aturan kepada dua institusi yang setara tanpa kewenangan yang jelas, itu ngawur. Kalaupun mau dibawa ke sengketa kewenangan juga percuma, karena undang-undang memang memberi kewenangan yang sama,” ujarnya  
       
Sebelumnya, PP IKAHI mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHI memohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA. Karenanya, pemohon  meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama”  dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu.

Tags:

Berita Terkait