MA Berencana Susun Perma tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Berita

MA Berencana Susun Perma tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Rencana tersebut masih bersifat inisiatif.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Edy Wibowo, Asisten Ketua Kamar Pembinaan MA. Foto NNP
Edy Wibowo, Asisten Ketua Kamar Pembinaan MA. Foto NNP

Mahkamah Agung (MA) berencana menyusun Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase. Latar belakang disusunnya Perma tersebut, salah satunya untuk mengisi kekosongan hukum dalam implementasi ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

 

Asisten Ketua Kamar Pembinaan MA, Edy Wibowo mengatakan, MA perlu menerbitkan suatu Perma yang mengatur terkait pelaksanaan sita jaminan yang ditetapkan oleh arbitrase dan pelaksanaan putusan akhir arbitrase. Hal tersebut dilatarbelakangi masih terdapatnya ruang pengaturan yang kosong terhadap tiga hal. Pertama, alasan pembatalan putusan arbitrase. Kedua, pelaksanaan sita jaminan yang dijatuhkan majelis arbitrase, dan ketiga pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase.

 

“Kami harap tahun 2018 aturan itu keluar,” kata Edy kepada Hukumonline di Jakarta, Rabu (13/12).

 

Edy menjelaskan, alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 bersifat limitatif, yakni terbatas tiga hal, antara lain surat palsu, novum (bukti baru), dan/atau adanya tipu muslihat dalam pemeriksaan perkara. Beberapa pasal dalam aturan yang sama juga pada pokoknya menggariskan bahwa apabila para pihak setuju menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, maka pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.

 

Pasal 60 UU Nomor 30 Tahun 1999 berikut Penjelasan, bahkan menegaskan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Itu berarti, kata Edy, substansi maupun pokok sengketa tidak terbuka kemungkinan bagi pengadilan untuk memberikan penilaian hukum dengan mempermasalahkan putusan arbitrase.

 

“Pasal 62 UU Nomor 30 Tahun 1999 memberi kewenangan kepada Ketua PN untuk menilai putusan arbitrase hanya dari perspektif terpenuhi atau tidaknya ketentuan Pasal 4 dan 5 serta bertentangan atau tidak dengan kesusilaan dan/atau ketertiban umum tetapi tidak boleh menilai, mempertimbangkan atau mempermasalahkan alasan-alasan pertimbangan putusan arbitrase,” kata Edy.

 

Dalam praktiknya, kata Edy, sejumlah putusan MA telah menegaskan alasan pembatalan putusan arbitrase adalah bersifat limitatif. Ambil contoh, Putusan MA Nomor 265B/Pdt.Sus-Arbt/2016 tanggal 18 Juli 2016 antara Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi Provinsi DKI Vs. PT Ifani Dewi dan BANI dan Putusan MA Nomor 311B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 18 April 2017 antara PT Prima Kencana Vs BANI dan PT Hutama Karya (Persero). Masing-masing putusan dalam pertimbangan hukumnya, menegaskan bahwa alasan pembatalan diatur secara limitatif di Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.

 

(Baca Juga: Ketua MA: Kami Dukung Arbitrase untuk Mengurangi Tumpukan Perkara)

 

Selain mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase, kekosongan hukum dalam praktik arbitrase adalah mengenai pelaksanaan sita jaminan. UU Nomor 30 Tahun 1999 sendiri tidak mengatur pelaksanaan sita jaminan oleh arbitrase. Hal ini berbeda dengan pelaksaan putusan akhir arbitrase yang justru sudah diatur dalam undang-undang. Pertanyaannya, apakah pengadilan berwenang melaksanakan sita jaminan atas penetapan arbitrase?

 

Edy menjelaskan, jika merujuk ketentuan Uncitral Arbitration Rules (Revisi 2010), Uncitral Model Law on International Arbitration 1985 dan International Court of Arbitration/ICC Rules of Arbitration, dan Pasal 32 UU Nomor 30 Tahun 1999 secara implisit memberikan amanat kepada pengadilan untuk melaksanakan sita jaminan yang telah dijatuhkan arbitrase atas permohonan para pihak. Selain itu, berdasarkan Pasal 2 ayat (4), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan sita jaminan dapat dimohonkan dilakukan oleh pengadilan negeri. 

 

(Baca Juga: Isu Klausula Arbitrase dalam Gugatan Terhadap Firma Hukum)

 

Untuk mendalami recana MA menyusun Perma tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase, Hukumonline melontarkan sejumlah pertanyaan kepada Edy yang merupakan lulusan sarjana hukum Universitas Pelita Harapan dan Magister Hukum dari Universitas Indonesia yang ditemui usai diskusi yang digelar di Financial Club CIMB Niaga Jakarta, Rabu (13/12). Berikut petikan wawancaranya:

 

Bisa diceritakan progress penyusunan Perma?

Kalau itu masih dalam tahap pengumpulan data atau bahan karena kalau untuk wujud atau bentuk drafnya belum ada. tetapi, masih dalam tahap pengumpulan data atau bahan untuk menuju penyusunan itu. Jadi, kalau ditanya drafnya belum ada.

 

Sejauh ini apa substansi yang akan diatur?

Yang akan dicakup mengenai kepastian alasan pembatalan arbitrase apakah semata-mata secara limitatif di Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999. Kedua, bagaimana pelaksanaan sita jaminan yang dijadikan oleh arbitrase, UU Nomor 30 Tahun 1999 hanya mengatur pelaksanaan putusan akhir dari arbitrase.

 

UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak mengatur kalau majelis arbitrase mengeluarkan penetapan sita jaminan, siapa yang melaksanakan? Di UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak mengatur dan juga tidak pula memerintahkan supaya pengadilan yang melaksanakan sita jaminan.  Rencana nanti di Perma itu kalau memang jadi, mungkin akan mengatur tentang itu. Berikutnya, terkait pelaksanaan putusan arbitrase.

 

Jadi ada tiga substansi yang diatur. Pertama, mengenai alasan pembatasan itu tegas atau limitatif, tidak boleh keluar dari Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 dengan pelaksanaan sita jaminan dan pelaksanaan eksekusi putusan akhir.

 

Terkait sita jaminan, apakah nanti akan dilakukan panitera dan jurusita?

Kalau misalnya pengadilan nanti dalam draf Perma dikatakan, pengadilan bisa melaksanakan, artinya menjadi seperti pengadilan melalui jurusita dan panitera kedapan. Karena lembaga arbitrase tidak punya sarana untuk itu dan tidak punya wewenang. Lembaga arbitrase kan hanya memutus, tapi pelaksanaan putusannya mereka ngga bisa sendiri, karena mereka lembaga swasta. Yang bisa melakukan itu hanya lembaga negara, yaitu pengadilan.

 

Terkait substansi pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase?

Karena putusan arbitrase itu bisa dilaksanakan sepanjang tidak melanggar Pasal 4, Pasal 5, yaitu ketertiban umum, kesusilaan, dan sebagainya. tafsir mengenai kesusilaan umum itu bagaimana? Itu masih berkembang dalam praktik. Apakah itu mungkin diatur dalam sebuah peraturan? Itu yang sedang kami gagas.

 

Ketika putusan arbitrase itu dijatuhkan, kan pelaksanaannya di pengadilan. Tapi, pengadilan bisa menolak melaksanakan kalau yang tadi itu, tidak memenuhi kesusilaan dan ketertiban umum. Nah, penilaian mengenai itu dalam undang-undang tidak diatur.

 

Lantas, pelaksanaan putusan arbitrase akan bagaimana?

Ini kami belum bisa menceritakan, karena kami masih mencari bahan-bahan dulu. Tapi kira-kira beberapa poin yang akan diatur kalau misalnya jadi dibuat Perma.

 

Kenapa hanya diatur dalam Perma, apakah cukup memadai?

Sebetulnya kalau ditanya, kita mendorong sebetulnya DPR dan Presiden, lebih dengan undang-undang dibandingkan dengan Perma. Akan lebih kuat kalau lewat undang-undang. sekarang ini keliatannya belum masuk Prolegnas.

 

Langkah selanjutnya ke depan terkait rencana pembahasan Perma ini apa?

Ini baru mencari bahan, draf belum ada. Menunggu bahan bahkan naskah akademisnya masih belum ada. kami masih mencari bahan-bahan dulu. Kita masih mencari dulu berbagai permasalahan apa terkait arbitrase dan hubungannya dengan pengadilan. Jadi, belum ada target [selesai dibahas], tapi arah ke sana sudah ada.

 

Tags:

Berita Terkait