MA Akui Kinerja Penyelesaian Perkara Turun
Utama

MA Akui Kinerja Penyelesaian Perkara Turun

Minimnya jumlah hakim agung dan penerapan sistem kamar dijadikan dalih.

AGUS SAHBANI/M-14
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali menyampaikan Laporan Kinerja Tahun 2012. Foto: Sgp
Ketua MA M Hatta Ali menyampaikan Laporan Kinerja Tahun 2012. Foto: Sgp

MA mengakui tahun 2012 merupakan tahun yang cukup berat. Pasalnya, sepanjang tahun tersebut MA harus kehilangan banyak hakim agung. Mereka menanggalkan jabatan hakim agung karena pensiun, mangkat, atau alasan lainnya. Kondisi ini mengakibatkan MA tidak bisa optimal dalam melaksanakan tugas. 

“Selama tahun 2012, MA telah kehilangan 11 hakim agungnya,” kata Ketua MA M Hatta Ali saat menyampaikan Laporan Tahunan MA 2012 di Ruang Kusumah Atmadja Gedung MA, Rabu (13/3).

Nama-nama hakim agung yang memasuki masa purna bhakti, yaitu Ketua MA Harifin A Tumpa (1 Maret 2012), Ketua Muda Perdata Atja Sondjaja (1 Mei), Hakim Agung Mieke Komar (1 April), Iman Haryadi dan Dirwoto (1 Mei), H. Mansyur Kertayasa (1 Agustus), Ahmad Sukardja (1 September), Rehngena Purba (1 Desember), Achmad Yamanie (Desember 2012), Muhammad Taufik (17 Desember), dan Ketua Muda Pidana Khusus Djoko Sarwoko (1 Januari 2013).

Hatta mengatakan berkurangnya jumlah hakim agung itu mengakibatkan kuantitas penyelesaian perkara menurun. Akhir 2012, MA hanya memiliki 44 hakim agung. Bandingkan dengan dengan tahun 2011, dimana MA memiliki 54 hakim agung dengan jumlah beban perkara yang relatif sebanding.

Tahun 2012, rasio penyelesaian perkara (clearance rate) berada di level 93,35 persen, jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Clearance rate adalah rasio penyelesaian perkara, yaitu perbandingan antara jumlah perkara masuk dan perkara keluar.

“Idealnya dalam waktu tertentu clearance rate harus berada di atas 100 persen. Hal ini disebabkan kurangnya jumlah hakim agung. Dari sisi produktivitas, rata-rata kinerja per hakim agung turun sebesar 0,03 persen,” ungkapnya.

Ditegaskan Hatta, MA dibayangi kontraksi produktivitas dibanding tahun sebelumnya.Tahun 2012, total perkara yang telah diputus mencapai 10.991 perkara. Jumlah ini turun 19,88 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berhasil memutus 13.719 perkara. Selain itu, rasio perkara putus dibandingkan dengan jumlah beban kerja di tahun 2012 berada di level 52,07 persen. Nilai rasio ini turun 11,99 persen dari tahun 2011 yang mencapai 64,07 persen.

“Namun, penurunan jumlah hakim, mengakibatkan melonjaknya beban kerja per hakim sebanyak 20,9 persen,” imbuh Hatta.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menambahkan lambannya kinerja penyelesaian perkara tidak hanya disebabkan kekurangan jumlah hakim agung, tetapi juga sistem kamar yang masih transisi. Soalnya, di kamar pidana dan perdata masih kekurangan hakim agung.

“Berkurangnya jumlah hakim agung sangat mempengaruhi produktivitas penyelesaian perkara. Makanya, MA telah meminta KY untuk segera memenuhi kebutuhan hakim agung,” kata Ridwan.

Pada tahun 2012, MA menerima 13.412 perkara. Jumlah itu naik 3,24 persen dari tahun 2011 yang menerima 12.990 perkara. Sementara perkara yang menjadi beban pemeriksaan MA pada tahun 2012 berjumlah 21.107 perkara atau turun 1,43 persen dibandingkan tahun lalu sebesar 21.414 perkara. Jumlah itu merupakan akumulasi jumlah sisa tahun lalu dan jumlah perkara tahun ini. 

Pengaduan Indisipliner
Terkait aspek pendisiplinan, sepanjang 2012 Bawas MA telah menerima 2.376 laporan pengaduan masyarakat terhadap aparat peradilan yang dinilai melakukan pelanggaran. Sejumlah 294 pengaduan dilayangkan atas nama institusi, sisanya dilayangkan secara online melalui website.

“Dari seluruh pengaduan itu, 780 (32,8%) masuk ke kategori tidak layak proses, 409 (17,21%) ditelaah, 95 (4%) dibentuk tim pemeriksa oleh Badan pengawasan, 354 (14,9%) dijawab dengan surat, 278 (11,7%) didelegasikan ke Pengadilan Tingkat Banding, 94 (3,96%) didelegasi ke Pengadilan tingkat pertama, 45 (1,89%) didelegasikan ke satuan kerja di MA, dan 321 (13,15%)masih  berada dalam tahap penyelesaian,” lanjut Hatta.

Hatta mengatakan tercatat 69 aparatur peradilan telah dikenakan hukuman disiplin berat, diikuti 16 aparat yang dijatuhi hukuman sedang, 75 aparat dikenakan hukuman disiplin ringan. Dari total 160 aparatur peradilan yang dikenakan sanksi, tercatat mayoritas 46 persendiantaranya adalah hakim, disusul oleh tenaga teknis (panitera dan juru sita) sebanyak 32 persen dan staf non teknis 22 persen.

“Jenis pelanggaran terbesar yang dilakukan aparat hukum itu indisipliner dengan jumlah 51,25 persen, perbuatan tercela mencapai 20 persen dan sisanya terbagi menjadi 14,38 persen unprofessional conduct serta 14,38 persen pelanggaran kode etik.”

Selain itu, selama tahun 2012, MA bersama KY telah menggelar sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sebanyak empat kali. Hasil MKH ini telah memutuskan hukuman berat berupa hakim non palu satu tahun kepada 1 orang hakim, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri kepada 1 hakim, pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri 1 hakim, dan 1 orang diberhentikan tidak dengan hormat.

Dimintai komentarnya, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Choky Ramadhan mengakui bahwa tahun lalu MA memang mengalami kekurangan hakim agung. Namun, menurut dia, minimnya jumlah hakim agung jangan dijadikan alasan di balik menurunnya kinerja penyelesaian perkara di MA.

Dikatakan Choky, penerapan sistem kamar seharusnya menjadi solusi. Sistem kamar, lanjut dia, memungkinkan proses penanganan perkara berjalan lebih cepat karena setiap perkara ditangani hakim agung yang sesuai keahliannya. Sayangnya, MA berdalih penerapan sistem kamar yang masih pada tahap transisi justru turut menjadi penyebab menurunnya kinerja penyelesaian perkara.

Minimnya jumlah hakim agung, kata Choky, juga terkait dengan ketidakmampuan KY memenuhi kebutuhan MA. KY seringkali memilih untuk mengabaikan aturan kuota 1:3, demi memprioritaskan faktor kualitas dari calon hakim agung. Sikap KY ini, menurut Choky, wajar seringkali calon hakim yang mengikuti seleksi kurang memenuhi kriteria.

“Kita (masyarakat) justru khawatir kalau KY memaksakan kuota padahal calon-calonnya tidak memenuhi kriteria. Usia pensiun hakim agung kan 70 tahun, kalau yang terpilih rata-rata usia 50, kita tidak berani selama 20 tahun dengan hakim agung yang tidak kompeten.”

Tags: