MA Akan Tentukan Empat PT yang Tangani Sengketa Pilkada
Berita

MA Akan Tentukan Empat PT yang Tangani Sengketa Pilkada

Sumber daya manusia di MA siap menerima pengalihan kewenangan mengadili sengketa pilkada ini.

Ali/M-22
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Gayus Lumbuun. Foto: Sgp
Hakim Agung Gayus Lumbuun. Foto: Sgp

Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan Mahkamah Agung (MA) akan segera menentukan empat pengadilan tinggi (PT) yang akan menangani sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia.

“Besok, tanggal 9 (hari ini,-red), kami akan pleno di Bandung bersama-sama dengan seluruh hakim di daerah dan hakim MA,” ujarnya usai acara diskusi di Komisi Hukum Nasional (KHN), di Jakarta, kemarin, Rabu (8/10). 

Gayus mengatakan MA akan memilah-milah PT mana saja yang akan menangani sengketa pilkada sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014. “MA akan menugaskan PT setempat karena lebih tahu persoalan, lebih tahu bukti dan saksi, sehingga bisa dengan tegas memutuskan keadilan,” ujarnya.

“Biasanya ditempatkan untuk wilayah yang besar. Seperti di Sumatera Utara, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Biasanya seperti itu,” tambahnya lagi.

Lebih lanjut, Gayus menuturkan bahwa untuk sementara, pengaturan hanya empat pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada dalam Perppu, tidak masalah. “Untuk selanjutnya harus dikembangkan di setiap provinsi, satu. Kami akan bicarakan di pleno,” ujarnya.

Gayus pun tidak khawatir dengan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki MA untuk menangani sengketa pilkada ini, terutama pada 2015 dimana pilkada serentak akan diselenggarakan di seluruh daerah di Indonesia. “Dulu pernah kami tangani. Ini (sengketa pilkada,-red) bukan hal yang baru. Sebelum kami limpahkan ke MK pada tahun 2000an, MA yang mengadili,” jelasnya.

Menurut Gayus, sengketa pilkada ini memang harus ditangani oleh hakim khusus atau hakim ad hoc. Itu untuk meyakinkan kepada masyarakat yang belum yakin dengan kapasitas hakim yang ada dalam menangani sengketa pilkada. “Hakimnya lebih tepat direkrut secara khusus untuk pilkada,” sambung mantan anggota Komisi III DPR ini.

Gayus mengungkapkan pasca peristiwa penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dirinya adalah orang yang paling keras berteriak pengembalian sengketa pilkada itu dari MK ke MA. “Saya yang paling banyak bersuara mengenai ini,” ujarnya.

Menurut Gayus, karakteristik MA dan MK secara teori memang berbeda. MA itu adalah court of justice, sedangkan MK adalah court of law yang bertugas menguji undang-undang. “Nah, sengketa pilkada itu kan bagian dari kewenangan court of justice,” ujarnya.  

Sebagai informasi, Perppu No.1 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang telah mengembalikan sengketa pilkada ke MA. Di Perppu itu, SBY menyatakan hanya ada empat pengadilan tinggi, yang akan ditunjuk MA, untuk mengadili sengketa pilkada di seluruh Indonesia. Hakim yang menangani perkara itu adalah hakim ad hoc.

Pengamat Peradilan, Arsil menilai bahwa aturan hakim ad hoc yang menangani sengketa pilkada ini tidak cukup jelas. “Nggak diatur hakim ad hoc itu apakah hakim yang bukan hakim, atau bisa termasuk hakim. Misalnya, kayak di Pengadilan Niaga, itu hakim diangkat sebagai hakim ad hoc bisa,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (6/10).

Lebih lanjut, Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini menilai persoalan yang muncul dari Perppu ini bukan hanya seputar hakim ad hoc, tetapi ada persoalan lain. “Itu baru ngomongin hakim. Perkara itu diputus tunggal atau majelis? Gimana MA mau jalanin itu kalau aturan-aturanya aja tidak jelas. Nanti akan jadi masalah pasti,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait