MA: Putusan Kasasi Asian Agri adalah Terobosan
Utama

MA: Putusan Kasasi Asian Agri adalah Terobosan

Kemenkeu dan KY mengapresiasi keberanian MA.

AGUS SAHBANI/FNH/NOV
Bacaan 2 Menit

Awalnya, Suwir didakwa telah melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c jo Pasal 43 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU No 16 Tahun 2000 tentang Tata Cara Prosedur Pembayaran Pajak jo Pasal 64 KUHP untuk dakwaan primer. Atau melanggar Pasal 38 huruf b jo Pasal 43 ayat (1) UU No 16 Tahun 2000 jo Pasal 64 KUHP sebagai dakwaan subsider.   

Terdakwa didakwa telah memanipulasi Surat Pemberitahuan Laporan Pajak Tahun (SPT) Asian Agri Group dalam kurun waktu 2002-2005. Suwir diduga mengubah dokumen pada beberapa pendapatan anak perusahaan (fiktif). Dengan begitu, keuntungan Asian Agri berkurang, sehingga pembayaran pajak mereka pun menjadi ikut berkurang.

Akibatnya, pendapatan negara dirugikan sekitar Rp1,25 triliun. Rinciannya: tahun 2002 sebesar Rp301,4 miliar, 2003 sebesar Rp309,6 miliar, 2004 sebesar Rp358,7 miliar, dan tahun 2005 sebesar Rp280,4 miliar. Kasus ini juga telah menyeret tujuh orang direktur dan tiga orang staf Ditjen Pajak.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Martin Ponto Bidara justru membebaskan Suwir Laut pada 15 Maret 2012 lalu. Putusan itu dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 23 Juli 2012. Tak puas dengan vonis bebas itu, jaksa mengajukan kasasi.

Apresiasi Menkeu
Ditemui di kantornya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyambut baik putusan Ma terkait kasus Asian Agri. Menurut Agus, putusan ini membuktikan sesuatu yang konsisten dari dokumen pajak yang dimiliki oleh Ditjen Pajak.

“Saya akan membaca putusan itu lebih detail dan saya akan review putusan MA itu. Saya akan verifikasi,” katanya ketika ditemui usai menunaikan shalat Jumat di Kemenkeu, Jumat (28/12).

Agus berharap putusan MA ini dapat menjadi contoh yang baik dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pajak yang lain. Sebab, selama ini kasus antara wajib pajak dan negara mengandung unsur kesengajaan, sehingga dibawa ke forum yudikatif. Akibatnya, proses peradilan memakan waktu yang lama dan tentu saja memperlambat penerimaan negara.

Tags:

Berita Terkait