MA: Hakim Diminta Pertebal Iman
Berita

MA: Hakim Diminta Pertebal Iman

Bagi KY, citra lembaga peradilan dan kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kapasitas, dan perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menimpa aparatur peradilan, khususnya hakim. KPK mengamankan tujuh orang, termasuk hakim, panitera pengganti, pengacara dan pihak swasta dalam OTT di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten, Senin (12/3/2018) kemarin. Belakangan diketahui, hakim tersebut bernama Wahyu Widya Nurfitri dan Panitera Pengganti bernama Tuti Atika terkait penanganan perkara perdata di PN Tangerang.  

 

Fenomena OTT KPK terhadap hakim ini nampaknya tidak membuat jera bagi aparatur peradilan yang terlibat jual beli perkara di pengadilan. Dalam beberapa bulan terakhir, sebelumnya beberapa hakim tertangkap tangan oleh KPK lantaran terlibat korupsi di peradilan ini.

 

Sebut saja, Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sulawesi Utara Sudiwardono pada Oktober 2017. KPK mengamankan lima orang, diduga termasuk anggota DPR dari Fraksi Golkar, Aditya Anugrah Moha. OTT ini diduga berkaitan dengan kasus korupsi yang menjerat mantan Bupati Bolaang Mongondow.  

 

Pada awal September 2017, KPK juga menangkap hakim tipikor pada Pengadilan Negeri Bengkulu Dewi Suryana. Dewi bersama-sama Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Bengkulu Hendra Kurniawan dan seorang pegawai negeri sipil (PNS) bernama Syuhadatul Islamy (SI) dari pihak Wilson ditangkap di dua lokasi berbeda, Bengkulu dan Bogor yang diduga menerima suap terkait putusan perkara korupsi.

 

OTT KPK terhadap Hakim PN Tanggerang itu menambah rentetan daftar panjang para hakim yang tersangkut kasus korupsi. Hal ini pun dikeluhkan Mahkamah Agung (MA) yang selama ini telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang pengawasan untuk mencegah terjadinya kasus korupsi yang dilakukan para hakim.

 

“Sepertinya para hakim ini sudah tidak ada rasa takut, imannya terlalu lemah, sehingga dapat (mudah) terpengaruh bujuk rayu, iming-iming tertentu oleh para pencari keadilan. Hakim yang memiliki integritas yang tinggi diharapkan memiliki iman yang kuat agar tidak mudah tergoda bujuk rayu uang suap,” kata Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi Hukumonline di Jakarta, Rabu (13/3/2018). (Baca Juga: Inovasi MA ‘Binasakan’ Hakim Korup)

 

Di sisi lain, MA pun meminta agar para pihak manapun untuk tidak menjanjikan sesuatu apapun atau merayu para hakim dengan uang  terkait penanganan perkara di pengadilan. “Saya mengharapkan para pencari keadilan pun jangan merayu pejabat peradilan. Jika minta keadilan bisa menunggu putusanya,” kata dia.

 

Suhadi mengingatkan MA telah banyak mengeluarkan kebijakan di bidang pembinaan dan pengawasan. Diantaranya, PERMA No. 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya. PERMA ini membuka ruang partisipasi bagi masyarakat, termasuk internal badan peradilan untuk mengadukan aparatur peradilan termasuk hakim yang melakukan tindakan tercela atau pelanggaran.  

 

Lalu, PERMA No.8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. PERMA ini untuk mengefektifkan pengawasan dan pembinaan atasan langsung guna mencegah sedini mungkin penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan pelanggaran perilaku aparat pengadilan. Dan, PERMA No. 7 tahun 2016 tentang Penegakkan Disiplin Kerja Hakim pada MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.

 

MA pun mengeluarkan Maklumat MA No. 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur MA, dan Badan Peradilan di Bawahnya. Dan, Surat Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH); SK KMA No. 122/KMA/SK/VII/2013 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Panitera dan Jurusita; dan Keputusan Sekretaris MA No. 008-A/SEK/SK/I/2012 tentang Aturan Perilaku Pegawai MA.

 

“Pasal 6 UU Tipikor pun mengatur mengenai hakim yang menerima suap. Sebenarnya kan sudah benyak rambu-rambu untuk para hakim agar tidak terjerat kasus korupsi. Jadi sebaiknya jangan lakukan (korupsi) dan pertebal iman,” pintanya.

 

Suhadi menjelaskan menurut informasi yang didapat dari Ketua PN Tanggerang, Hakim Wahyu Widya tertangkap tangan oleh KPK di bandara sepulangnya dari luar kota. Lalu, menuju PN Tangerang untuk mengambil beberapa berkas. Setelah itu dibawah ke KPK.

 

“Setelah hakim tersebut dinyatakan tersangka oleh KPK, MA akan segera mengambil tindakan untuk memberhentikan sementara hakim tersebut dari jabatannya. Sampai saat ini MA belum mengambil langkah itu. Setelah 1x24 jam KPK menetapkan mereka sebagai tersangka, MA akan mengambil tindakan sesuai peraturan berlaku,” katanya. (Baca juga: PN Tangerang Benarkan Hakim dan Panitera Terjaring OTT KPK)

 

Pukulan telak

OTT KPK yang kembali menimpa korps hakim pun mendapat tanggapan dari Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas eksternal perilaku hakim. Juru Bicara KY Farid Wajdi mengatakan praktif suap, gratifikasi dan jual beli perkara di pengadilan yang kembali terjadi sebuah pukulan telak untuk kesekian kalinya bagi dunia peradilan yang berlangsung kurun waktu dua tahun berturut-turut.

 

Dia mengatakan memang selama ini berbagai langkah pembinaan dan pengawasan yang dilakukan MA agar para hakim senantiasa terjaga integritasnya. Namun, KY sebagai pengawas eksternal berharap langkah “pembersihan” oleh MA itu dilakukan pula dengan menindaklanjuti rekomendasi sanksi yang selama diberikan KY.

 

Sepanjang tahun 2017, KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 orang hakim yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH. Namun, sebagai mitra, rekomendasi KY tersebut sayangnya seringkali diabaikan oleh MA dengan berbagai alasan. Khususnya dalih teknis  yudisial. Menurutnya, mengabaikan rekomendasi KY justru akan menimbulkan persepsi publik bila MA memegang teguh esprit de corps untuk menutupi, bahkan melindungi hakim yang melanggar kode etik.

 

“Sebuah itikad pembersihan dan pembenahan saja tidak cukup, masih diperlukan usaha kuat untuk meraih kembali kepercayaan publik dan memulihkan keagungan lembaga peradilan,” lanjutnya.

 

Baginya, citra lembaga peradilan dan kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kapasitas, dan perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya. “Integritas yang seharusnya menjadi harga mati bagi hakim justru tercoreng dengan terulangnya kembali OTT terhadap hakim. Keprihatinan ini sudah selayaknya disampaikan, tetapi paling penting langkah pembersihan, pembenahan, serta pembinaan ini tak kembali merusak citra dunia peradilan,” harapnya.

 

“KY paham, MA telah berupaya keras melakukan pembinaan dengan mengeluarkan Maklumat Ketua MA. Tetapi pembinaan itu juga perlu diimbangi dengan menampilkan kemuliaan profesi dari pimpinan pengadilan agar menjadi role model atau teladan bawahannya.”

 

Sebagai langkah pencegahan, lanjutnya, KY sendiri telah bersinergi dengan pimpinan pengadilan untuk berkomitmen bersama dalam memegang teguh KEPPH. KY terus mengajak pimpinan pengadilan untuk senantiasa mengingatkan para hakim untuk menjauhkan diri dari potensi pelanggaran KEPPH.

Tags:

Berita Terkait