“Ayo sini masuk!” kata Maria Farida Indrati sembari tersenyum lebar saat menyambut Tim Hukumonline di depan pintu rumahnya, Selasa (17/1/2023). Ia melambaikan cepat kedua tangannya mengajak Tim Hukumonline masuk ruang tamu rumahnya pagi itu. Halaman rumahnya cukup luas memanjang dipenuhi tanaman hias dan ada kolam ikan. Suasananya teduh dan nyaman untuk bersantai di teras. Ruang tamu di dalamnya mungil bernuansa etnik. Ada lukisan di dinding dan tanaman bunga di meja. Lampu ruangan menyala temaram.
Ia menggunakan riasan wajah cerah dan baju batik bernuansa gelap hari itu. Tatapannya tajam seperti di foto-foto dirinya yang beredar saat menjabat hakim konstitusi. Wajar jika kesan awal yang muncul pada sosoknya adalah berwibawa dan ambisius.
Maria, perempuan pertama di kursi hakim konstitusi Republik Indonesia, lahir dan tumbuh besar di Solo. Semua capaian Maria dalam karier akademisi dan profesi hukum Indonesia diakuinya bukan karena keinginan kuat darinya. “Kecelakaan, betul,” kata Maria sambil tertawa. Nrimo ing pandum (menerima segala takdir) dan serviam (saya mau mengabdi) adalah dua “mantra” yang diakui Maria menjadi prinsip hidupnya.
Diakuinya, tidak pernah tertarik kuliah hukum, tidak pernah berencana menjadi dosen hingga profesor hukum, menolak jabatan Direktur Jenderal di Kementerian Hukum dan HAM, bahkan awalnya enggan menjadi hakim. Hakim terkenal bernama Bismar Siregar pernah menguji kemampuannya saat kuliah praktik menilai perkara. Maria ingat betul bagaimana Bismar menjatuhkan vonis padanya, “Kamu tidak cocok jadi hakim”.
Baca Juga:
- Cerita Maria Farida dalam Wisuda Sarjana Angkatan Pertama STHI Jentera
- Kekhawatiran Maria Farida Terkait Omnibus Law
- Menyelami Pemikiran ‘Bapak’ Ilmu Perundang-undangan Indonesia
- Maria Farida Indrati Pantang Berhenti Mengasah Ilmu
Sulung dari delapan bersaudara ini mengidap polio sejak usia 3,5 tahun. Ia mengaku sakit yang dialaminya itu pernah membuat dirinya tidak ingin bercita-cita muluk. “Saya sebenarnya tidak suka fakultas hukum, mau jadi guru piano saja,” kata dia. Kehidupannya sudah damai di Solo. Berbagai berita demonstrasi di Jakarta, bahkan membuat Maria tidak suka dengan kehidupan Jakarta. “Saya tidak suka Jakarta, isinya berita orang demo dan sibuk,” ujarnya.
Ayah Maria adalah jurnalis Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang bertugas di berbagai lokasi dalam dan luar negeri. Ibunya sepenuhnya berperan di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tidak ada trah sarjana hukum di keluarganya sama sekali. Maria pernah mendaftar ujian masuk kuliah piano di sebuah kampus di Yogyakarta. Guru pianonya di Solo juga sudah janjikan dukungan biaya belajar sampai ke Italia.