Lunturnya Asmara Klien kepada Advokatnya
Utama

Lunturnya Asmara Klien kepada Advokatnya

Perseteruan antara Jakarta Monorail dengan advokatnya berujung ke meja hijau. Dari gugatan berlanjut ke permohonan pailit. Apa sebab runyamnya hubungan klien-advokat ini?

Sut/Kml
Bacaan 2 Menit

 

Sukmawaty menambahkan, ada yang janggal dalam draf JVA amandemen. Tidak seperti JVA pertama yang ditandatangani oleh semua direksi dan komisaris JM, dalam JVA amandemen yang bertandatangan hanya direktur utama plus saksi. Saksinya sendiri tak lain adalah Gusnelia. Dia menambahkan, alasan Gusnelia waktu itu adalah waktu yang terlalu mepet. Sebab, katanya, pihak DIC sudah menunggu draf tersebut. Jika tidak ditandatangani sekarang, kata Nelia, maka perjanjian akan batal, sambung Sukmawaty.

 

Lalu kenapa dia tidak mencegahnya? Sukmawaty mengaku dirinya serta direksi dan jajaran komisaris lainnya tidak mengetahui isi JVA amandemen ini. Waktu itu, dia langsung ke Pak Ruslan (Ruslan Diwirjo, Dirut JM). Kepada Pak Ruslan dia mengatakan kalau jajaran direksi dan komisaris sudah setuju adanya amandemen ini, terangnya.

 

Itu semuanya dibalik dan difitnah, bantah Adi. Menurut versi Adi, saat itu, tidak ada direksi lain di kantor kecuali Ruslan. Sementara, hari berikutnya, JM sudah harus menyerahkan laporan ke Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengenai kelanjutan dari pembiayaan monorel oleh JM. Kalau nggak ada tanggapan dari kita, maka kontrak konsesi JM untuk proyek monorel akan diputuskan, ucapnya.

 

Karena terdesak, lanjut Adi, Ruslan sendiri yang memaksakan untuk menandatangani JVA amandemen tersebut. Sudahlah tandatangani, besok kita ditanya Sutiyoso, daripada nggak ada apa-apa, kata Adi menirukan ucapan Ruslan waktu itu.  

 

Bukannya tanpa alasan Ruslan mau menandatangani JVA amandemen tersebut. Sebab, kata Adi, di tahun 2005 advokat dari Pemda DKI Jakarta pernah berujar bahwa jika sampai tanggal itu JM tidak menunjukan bukti adanya finacial agrement, maka Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk konsensi JM bakal dicabut.

 

Posisi JM menjadi lemah

Mengenai isi dari JVA pertama maupun JVA amandemen sendiri, Otto Hasibuan menegaskan kalau isi dari kedua perjanjian itu sangat melemahkan posisi JM sebagai pemilik proyek. Buktinya, JVA amandemen tidak mengatur kewajiban GLR sebagai pihak arranger dan menghilangkan escape clause maupun termination clause (klausul pengakhiran perjanjian) yang sebelumnya ada di JVA pertama. Intinya, perubahan hak GLR tak lagi bergantung pada financial closing (kucuran dana) dari investor. Akibatnya, kata dia, GLR akan terus menuntut haknya tanpa ada kewajiban dari GLR yang harus dipenuhi kepada JM.

 

Perubahan susunan saham ini juga dipersoalkan oleh pemegang saham ITC dan JM. Pasalnya, penjualan saham secara bersyarat dari ITC di JM kepada GLR dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) ITC maupun JM. Ini sudah cacat hukum, tegas Otto.

Halaman Selanjutnya:
Tags: